AKU MENGENALNYA dengan nama Aming, tunawicara yang selalu melemparkan senyuman setiap pagi. Hanya senyuman. Ah tidak, dia juga selalu mengangguk pelan saja. Aku melihat dari sorot matanya kalau dia ingin bercerita banyak tentang kehidupannya, tentang masa lalunya, atau mungkin tentang masa depannya. Namun, semua itu tergambar hanya dengan anggukan lemah dan senyuman tipis saja. Tidak lebih.
Pagi hari, seperti biasa, Aming akan selalu berjalan di depan rumah, menundukkan kepala sambil mencari barang-barang bekas yang terbuat dari plastik, mengumpulkannya satu demi satu dengan keresek hitam besar yang selalu dia bawa ke mana pun. Aming selalu membawa keresek hitam besar itu, keduanya seperti tidak bisa dipisahkan. Memang itulah pekerjaannya setelah konon dia ditinggalkan istri dan anaknya yang pergi entah ke mana. Aming jadi menggelandang di kota ini. Dia hidup sebatang kara di usia senjanya. Ah, aku miris melihatnya. Setiap pagi aku memperhatikan tingkah laku Aming dari depan pintu. Dia hanya akan melihatku dengan senyuman dan anggukan kecil kemudian berlalu dengan beberapa bekas plastik air mineral di dalam keresek hitam besar itu yang kemungkinan botol-botol itu akan dijualnya pada sore hari.
Setiap pagi, aku melakukan aktivitas seperti biasanya, bersiap-siap menuju kantor penerbitan yang terletak di Jalan Seroja, tempatku bekerja. Aku bekerja di sana sebagai office boy, hahaha… terdengar keren. Orang-orang di kampungku menganggap aku kerja kantoran, padahal aku kerja di sana sebagai pesuruh yang selalu siap membantu keperluan para pegawai di penerbitan. Mulai dari menyuguhkan air kopi, teh manis, mengisi air galon, bahkan tidak sering Pak Aji, editor kawakan di penerbitan tersebut menyuruhku sekadar untuk membeli nasi bungkus di seberang jalan. “Bosan, makan bekal dari rumah terus.” katanya kepadaku seraya tersenyum sambil menggenggamkan uang lima puluh ribuan di tanganku sambil mengatakan “menu biasa saja lah, angsulana candak weh”.
Kalau sudah begitu aku akan senang sekali karena pasti aku akan mendapatkan uang tambahan dari Pak Aji. Lumayan untuk nambahan uang jajan Buyung, anak semata wayangku yang kini duduk di sekolah dasar kelas 2. Buyung memang tinggal denganku di kota ini setelah ibunya meninggal tiga tahun yang lalu. Ah, kalau begini aku teringat dengan keadaan Aming, dia hidup sebatang kara tanpa ada keluarga yang dikenalnya di kota ini. Aku bisa dikatakan lebih beruntung, masih punya Buyung, nenek Buyung, dan tentu saja pekerjaan. Kalau Aming, dia hidup dengan keresek hitam yang menemaninya untuk mengumpulkan barang-barang bekas, kemudian dijual kepada para pengepul yang aku terka pasti penghasilan dia tidak seberapa. Aku pernah dengar kalau dia hanya mendapatkan upah sembilan ribu sekali dia menukarkan barang-barang bekasnya pada para pengepul. Itu pun tidak setiap hari.
Dia akan mengumpulkan barang-barang tersebut dua sampai tiga hari, baru dijual pada para pengepul dengan harga yang sangat rendah. Dua ribu per kilo. Aku tidak tahu para pengepul akan menjual barang bekas tersebut ke mana, yang jelas aku tahu para pengepul di kota ini sukses. Ya, jika dibandingkan dengan OB seperti aku. Mereka lebih mapan dan lebih bahagia.
Pak Aji mengagetkanku “Sedang melamunkan apa? Ayo, pulang sudah sore ini,” “Sebentar lagi, Pak. Saya belum ngepel ruang Pak Direktur, beliau masih ada tamu,” memang akhir-akhir ini kantor sering didatangi tamu, sepertinya akan ada proyek besar atau kata beberapa karyawan katanya akan ada rasionalisasi pegawai. Ah, aku tidak tahu apa maksud rasionalisasi itu. Dalam pikiranku yang penting aku dapat uang untuk biaya hidup aku dan Buyung dan tentu saja dapat membayar biaya sekolah Buyung yang terkesan tidak ada habis-habisnya. Mulai dari uang untuk membeli buku, iuran untuk praktik berenang, piknik, dan entah apa lagi. Ah, aku tidak memikirkan itu, yang jelas dan pasti Buyung harus sekolah tinggi agar tidak seperti ayahnya yang hanya sebagai pesuruh.
“Baik, kalau begitu saya pulang duluan ya,” ujar Pak Aji. “Iya Pak, hati-hati.” jawabku kemudian.
Selepas Pak Aji pulang, aku mendengar Pak Rahmat memaki-maki tamu yang baru saja ke luar dari ruangannya. “Sudahlah, bilang kepada dia aku tidak sudi ketemu dengannya. Saya sudah anggap dia sudah mati,”. kata-kata Pak Rahmat begitu nyaring diiringi dengan suara pintu yang dibanting dengan begitu keras. Sepertinya ada hal genting atau mungkin ada masalah antara keduanya. Saya mengenal Pak Rahmat sebagai pribadi yang baik. Dia tidak pernah terlihat begitu marah sampai memaki orang. Aku baru melihatnya begitu marah. Suasana mendadak hening karena satpam yang sedari tadi hendak masuk ruangan berdiri mematung saja.
Masih terbayang beberapa tahun yang lalu, Pak Rahmat mengajakku kerja di kantornya sebagai OB karena katanya dia butuh pesuruh laki-laki yang dapat mengerjakan segala macam. Semacam kerja borongan yang jelas tidak ada jobdesknya. “Sudah Din, kamu kerja di sini saja, kalau untuk lulusan SD seperti kamu cukuplah bantu-bantu di kantor saja, menyapu, mengepel, membuatkan kopi, membeli sarapan, dan sebagainya. Pokoknya kamu ikut saya saja,” begitu ujar Pak Rahmat. Aku pun jelas tidak bisa menolak ajakan dia lagian lulusan SD mau kerja apa di kota ini. “Ya, Pak Rahmat orang baik,” gumamku.
Dia perantau dari jauh. Orang luar pulau kata Pak Aji yang sempat bercerita padaku. “Pak Rahmat itu orang luar pulau, kampung halamannya ada di tengah-tengah danau yang seperti lautan. Konon Pak Rahmat orang sakti, di bisa berjalan di atas air karena berguru pada seorang pengembara.” cerita Pak Aji berapi-api. Kami para pegawai hanya manggut-manggut saja. Ada yang percaya, tetapi banyak juga yang mencibir cerita Pak Aji. “Mana ada orang bisa berjalan di atas air, ngaco!” ujar karyawan yang lain.
“Din, kamu pulang saja. Ruangan saya jangan dibereskan. Biarkan saja!” kata Pak Rahmat sambil berlalu ke luar ruangan sejurus kemudian ke luar pintu utama dan hilang dalam pandangan. Hanya suara mobilnya yang masih terdengar meninggalkan halaman kantor. Aku hanya diam dan mengangguk perlahan saja. Ya, diam dan mengangguk, seperti Aming. Ya, aku jadi teringat Aming. Apakah dia masih mencari botol bekas dengan keresek hitam itu.
Sepulang dari kantor, aku menjemput Buyung di rumah neneknya. Setiap hari aku akan menitipkan Buyung di rumah neneknya karena dia belum bisa mandiri. Pergi dan balik sekolah harus diantar sehingga semenjak ibunya meninggal, Buyung lebih sering diasuh oleh neneknya daripaada oleh aku. Sesampainya di rumah, aku dikagetkan dengan keresek hitam besar yang tergantung di pagar rumah. “Ini kan punya Aming, ke mana dia!” aku kebingungan karena tidak biasanya kereseknya ditinggalkan begitu saja. Ke mana dia ya? Buyung menunjuk ke ujung jalan. “Itu Yah, itu Yah,” Buyung menunjuk ke arah orang yang berjalan agak cepat ke ujung jalan yang menembus jalan raya Melati. Saya melihat sepertinya itu Aming. Tapi, apa yang membuatnya begitu tergesa sehingga meninggalkan keresek hitam besar yang setengahnya sudah diisi oleh botol bekas air mineral. Aku hendak mengejarnya, tapi Aming sudah hilang ditelan suara deru mobil yang datang dari dua lajur jalan Melati. Ya, Aming pergi. Entah ke mana.
Keresek hitam besar itu aku amati, banyak botol bekas air mineral dari berbagai merk. Ah, kasian Aming kalau botol-botol bekas ini tidak sampai terjual. Dia pasti akan kesulitan untuk makan. Aku telisik isi keresek hitam itu. selain botol, aku terperangah ada amplop coklat dengan kop surat kantorku, memang agak lusuh amplop itu. Aku pikir apakah isinya uang. Apakah Aming mencuri uang dalam amplop itu dan karena ketakutan dia menyimpannya di pagar rumahku. Ah, jangan-jangan Aming memang telah mencurinya. Lalu, dia sengaja menyimpan di pagar rumahku agar aku yang dituduh mencurinya. Atau mungkin, dia menemukan amplop itu ketika dia mulung, kemudian dia tahu aku bekerja di PT itu akhirnya dia minta aku untuk mengembalikannya. Atau apa? Pikiranku berkecamuk tidak karuan.
Setelah aku buka pintu dan masuk ke rumah, Buyung langsung mencari mainannya. Aku masih penasaran dengan amplop coklat dengan kop kantor. Aku beranikan diri membuka amplop itu. Tidak ada uang. Hanya selembar foto dan tulisan di belakangnya. Fotonya tidak begitu jelas. Hanya ada yang tidak asing dengan foto itu. Aku kembali mencermati foto itu dengan saksama. Dan, aku sangat yakin. itu kan foto Pak Rahmat dan Aming. Aku baca tulisan di sebalik lembar foto itu. “Rahmat, jadilah anak yang sukses. Ayah akan selalu mendoakanmu.”
Bandung, 17 September 2024
BIODATA
HERI ISNAINI lahir di Subang, Jawa Barat, pada tanggal 17 Juni. Pernah mengikuti acara “Temu Penyair Asia Tenggara 2018” di Padang Panjang, Sumatera Barat, mengikuti Festival Seni Multatuli 6-9 September 2018 di Rangkasbitung, Lebak, Banten. Puisi-puisinya juga pernah dimuat pada Jurnal Aksara, Deakin University, Australia. Cerpennya pernah dimuat pada koran Radar Banyuwangi, Radar Kediri, dan Harian Rakyat Sultra. Kegiatan sehari-harinya adalah Dosen Sastra IKIP Siliwangi Cimahi.