Bulan Kabiraan dan Tuhan yang Purnama
pohon-pohon merogoh langit. menjolok bulan dan bintang.
bulan di Kabiraan terasa dekat, mendekap bayi-bayi kelaparan dalam pengungsian,
berpeluh dalam ayunan dan purnama jingga mengusap rambutnya basah air mata ibu.
bulan di Kabiraan memanggul malam, menuruni lereng Tandeallo,
kaki kami berdarah diseret duka lara, anak-anak bermata merah,
berlarian ke dalam selokan dan parit-parit, diremas ketakutan. Tak seperti biasanya,
tarian alam, lambaian pohonan, adalah sahabat duka lara di belantara jiwa.
bulan di Kabiraan, mengingatkan aku pada ibuku, petuah dan dongeng bergelantungan
jelang tidur, adakah mimpi seluas cakrawala dan savana dalam tidur kami yang hampa?
bulan di Kabiraan, menyaksikan tanah-tanah terbelah, rumah kami sujud ke tanah,
burung malam dan ayam jantan hutan berkokok ragu, adakah rindu terbayar
dalam desah resah para pengungsi.
Tuhan, aku melihatmu purnama di pohon-pohon dan gunung-gunung menjulang,
aku melihatmu dalam rekah tanah, aku melihatmu pada bukit dan longsoran gunung biru,
aku melihatmu dalam kabut dan dingin hujan, aku melihatmu menatap kami
dalam tidur yang gamang, aku melihatmu mengusap wajah anak-anak kami
yang menjadi yatim piatu tersebab malam prahara itu, aku melihatmu
di kedalaman jiwa kami yang runyam.
Tuhan, jangan catatkan kehadiranku di sini. sebab yang kubisa
adalah ketiadaanku dan yang kupunya hanya sujudku abadi.
/Kabiraan-Majene, 21.24.
Kepada Ifa
: 02122020
aku telah berjalan jauh dan panjang,
menggambar peta buta dalam diri di langit di bumi,
menerka dan merabamu di antara bintang-bintang,
di selah bulan dan matahari.
malam-malam, aku duduk di bawah jendela,
keriangan bintang di langit kelam, menyaksikan kita termangu di savana rindu.
sulaman tahun dan abad-abad purba berlumut resah dilumur penantian,
tak sabar menunggu waktu, di lengkung langit mana
dan di lipatan peradaban apa kelak kita dipertemukan.
aku telah dirundung duka dan kemalangan, dikunyah zaman yang ganjil,
gunung batu tempatku menyeret langkah dan merayap, luka memelukku
siang dan malam, menahan perihnya waktu setandas cadas menantimu.
dan akhirnya aku menemukanmu di tepi danau yang damai,
daun, hamparan rerumputan hijau menepi ke langit,
bunga-bunga bermekaran di wajahmu.
ketika itu langit penuh luka, tanganku hangus dipanggang matahari kota,
berkarat telapak kakiku, kuseret di jalan dan pantai, mencarimu di peta buta.
tak ada rindu cakrawala berpaut, aku terkapar mengeram lumut
dari gempuran masa silam yang suram dan rebah di rerumputan basah.
ketika itu langit cerah dan senja merah saga,
kau berjalan ke arahku mengulum rindu tak berkesudahan.
perlahan tanganmu sedingin salju, kau letakkan di dada kiriku,
air langit seketika tumpah ke bumi. langit meneteskan air matanya,
menumbuhkan rerumputan, lukaku kau rawat karena rindu bekarat,
kau menjelma danau dan kebeningan telaga, kau dirikan dangau penantian panjang
tempatku istirah dari lelah rindu zaman yang melenggang menuju pagi,
serupa kuda jantan menembus fajar qizib.
aku menyerah dilumur takdir di tanganmu, gunung batu, lautan teduh,
sungai jiwa dan hutan rindu yang berderet manis di pingggang
dan di hamparan jenjang leher pepasirmu, aku menambatkan perahu rindu
bertahun-tahun karam dipukul ombak dan dilemparkanya
ke pantai, ke pulau masa hadapan tak berujung.
di sana, di antara nyanyian pasir, di debur pecah ombak,
di gemercik kali waktu, di tepi danau rindu, di hamparan sawah menguning
lalu di bukit hijau kasihmu, kita dirikan gubuk rindu serupa nirwana,
di bawah dan di kaki bukitnya mengalir sungai kasih sayang
dan keberkahan mahabbah rindu maha kekasih.
/Jogja-Mandar, 11.11.20.23.
Teluk Pare
: umi vr
renyah percakapan kita di Teluk Pare.
teluk dan samudra menyuapi kita cinta dan kasih sayang,
menuangkan kopi rindu dari dingin Toraja
dan renyah percakapan di cafe pagi dirimbun liar udara perkotaan.
ada pulau berbisik dari teluk, membincang percintaan kita
menjadi purba di bukit kota, hangus dipanggang matahari.
di teluk, kapal-kapal berlayar ke dalam diri melempar sauh,
menambatkan kepenatan berlabuh di senja kala hari samudra.
ada kicau burung mengirim salam ke Selat Makassar,
membisikkan pada nelayan dan Kapal Pinisi,
kelak kemana rindu kan dilayarkan.
sementara percintaan dan merdu suaramu terus memanggil-manggil
tak ada lagi luka hari, derita dan sungsang kehidupan telah kubuang
jauh ke tengah samudra, tak ada lagi percakapan di kampung tua
menikam ke dalam diri yang letih dilumur fitnah dan keresahan
berlumut di gua garba, disayat sembilu derita.
teluk mulai sepi, kota berdandan menyepuh malam,
lampu-lampu dan keriangan bocah di surau-surau
menanti berkah anregurutta, mewaris pada tanah tempat berlabuh.
di sini kita berjanji pada garis tangan sendiri,
terhadap para kekasih, takkan ada luka di nirwana.
/Pare, 08.12.20.23.
Angin Besoangin
: uwai randang
telah lumur senja dikumur waktu, hari-hari kusam berdebu,
lumut rindu dan cinta menua di gua penantian panjang sekarat.
telapak kakimu waktu berkarat, kau seret di jalan-jalan,
di tepi sungai dan di lembah-lembah dan ngarai, namun cinta tak jua berpihak.
sumur-sumur tua mengering, gunung-gunung pertapaan berkalung kabut,
berkejaran rindu ke sawah ladang, hinggga rawa, payau.
engkau menyusur pematang hari menatap langit,
menggulung harapan dan kabut menebal, sambil memicingkan mata yang basah
karena takdir dikunyah harapan dan kehampaan.
doa-doa membubung langit, hujan berguguran dari mendung langit kelam,
kalindaqdaq dan pipatudzu, mengalir deras dari mulut mawar handai taulan,
para guru dan ondongguru, membasuh doa bermandikan melati,
dilumuri harapan, menanggung rindu dan kasih sayang ammak dan puaq.
tahun-tahun memeram kesepian, matahari tetap terbit dari timur
lalu pulang ke palung laut di senja hari. kau berdiri di ujung jalan,
di tepi tebing curam, serupa pohon ranggas kehilangan dedaunan,
memeluk badan sendiri diremas kesepian, wajahmu menantang langit,
mencari gerangan, di pantai mana kelak perahu rindumu berlabuh.
di Mandar air tak pernah mengalir ke hulu. namun sungai jiwa
yang mengalir dari Ulu Salu, mengalirkan sungai Mandar dari derit bambu,
dari keriangan burung pipit, mengantarkannya hingga ke Baqba Binanga.
rindu menderu di bukit-bukit, padi menguning bersolek memintal waktu,
angin pegunungan Besoangin berhembus jauh, mengabarkan rindu,
ada cinta yang memanggilmu di Besoangin.
kini Rahim Selat Makassar menampung segala keluh kesah Sungai Mandar,
perahu rindu menampung doa-doa, sampan harapan
dilabuhkan di pulau-pulau, mengawinkanmu ke dalam musim,
cuaca menjadi temaram, masukilah rumah kesepian tahun-tahun
yang dulu melumatmu dalam abad rindu menipu.
dan akhirnya berlabuhlah keluh kesah rindu berkarat,
dirimu adalah sampan yang mengayuh ke samudra kasih purba
rumah-rumah nirwana mengamini di tepian dan di muara keabadian.
/Majene. 20.11.20.23.
Kepadamu
kita hanyalah bayang-bayang
berdiri tak bersentuhan di pagi hari,
tegak berhimpitan siang hari,
lindap membias dikunyah senja dan hilang direguk mega-mega.
kita hanyalah pelangi sore, membias usai runcing hujan,
menikam di lembah, di antara bukit
kita mandi cahaya di telaga sunyi.
saat itu, kita berdiri berseberangan menatap telaga sunyi nan biru,
aku berpegangan pada tubuhku yang rapuh
dan kau memeluk badanmu sendiri.
hampa tubuhku dipahat senja, sore mencekam
mengukir kenang rindu di lidahku, tak ada rindu cakrawala bertaut,
gelap memangut angkasa, melepaskannya ke semesta samudra.
apalah yang kubisa, aku hanyalah mendung
yang tak mungkin menjadi hujan, sebelum akhirnya ke tiada.
/Jkt-Jogja, Des 2023
BIODATA
Bustan Basir Maras, membina komunitas budaya di Yogyakarta dan Mandar-Sulbar, membuatnya secara berkala tinggal bergantian di dua kota ini. Kumpulan cerpennya Ziarah Mandar dan buku puisinya Vova Sanggayu (101 Puisi Etnografis). Meraih Anugrah Kebudayaan dari Pemkab Majene. Pendidikan terakhirnya ia selesaikan di Pascasarjana, Jurusan Antropologi, UGM. IG. bustanbasir.