Ilustrasi: Handy Saputra
KERTAS DI PINTU KULKAS
kurekatkan suaramu pada kertas-kertas yang kutempel
pada pintu kulkas. pada pagi biasa aku mencari toples kopi
yang kuletak di atasnya. dan kau tak pernah luput menyapa
dengan kata-kata manis pada carik-cariknya.
pagi ini suaramu mencatatkan pesan pada kertas itu
sebuah teguran, untuk tidak lagi mengulang kesalahan besar
seperti kemarin, saat kopi yang kubuat terlalu manis
dan seharian rindu kubiarkan kian memahit.
aku menulis permintaan maaf pada kertas itu, berjanji
akan kuseduh lagi kopi yang lain, tanpa pemanis sama sekali
namun suaramu langsung membalasnya, menuliskan
bahwa janjiku sudah membuat kopi ini menjadi manis
lebih cepat dari saat aku menepatinya.
maka pagi ini kubuat kopi dalam bentuk puisi
yang pahit-manisnya bergantung pada rindu masing-masing
namun suaramu tak pernah menulis apapun lagi
pada kertas-kertas yang kutempel di pintu kulkas
lalu membiarkan pagiku hanya tentang menyeduh kopi
dan menyusun riwayat-riwayat hening yang lebih sepi
dari hampa kertas di pintu kulkasku.
24 JAM YANG ADA
Kuharap
tersedia
waktu khusus
di luar
dua puluh empat jam
yang ada
hanya untuk
membiarkan
aku
dan kau
saling bicara
sebentar saja
setelah itu waktu kembali sebagaimana biasa
menyisakan kita yang telah menghabiskan
banyak percakapan
kemudian kita diam, melembutkan tatapan mata
saling menyimak detak jantung
pada senyum masing-masing
SAJAK PADA ELEMEN TUBUH YANG LUNAK
i. Mata
Adakah yang pernah mendengar
percakapan antara mata kanan dan
mata kiri?
Sementara kita tak pernah bisa
saling memahami
ii. Hati
Hantamlah tinju ke sudut-sudut
yang paling mungkin lebamkan
tubuh yang rapuh. Namun
tak jua sampai hati, hanya
tiba di ulu tempat perasaan
tersenyum angkuh.
iii. Otak
Berapa banyak kenangan
menumpuk di sela pikiran yang
menggumpal dan mengawang
seperti awan di langit bimbang?
Sementara pertanyaan-pertanyaan
membuatnya semakin bodoh.
iv. Yang Tak Bisa Dimengerti
Barangkali begitulah mata kanan
memihak hati dan mata kiri memilih
rayu otak yang buat keduanya
tak pernah menyatu, sekalipun langit
telah mampu mengirimkan hujan
untuk menyantuni ilalang. Namun tak
ada perihal yang mampu dekatkan
keduanya.
Pun airmata hanya turun bersama
tanpa saling mengacuh. Air yang
mengucur setelah terkelabui
diam-diam oleh pilihan
masing-masing.
CORETAN DI PINTU KAMAR
coretan di pintu kamar. di matamu
anggur-anggur rindu tengah menjalar.
sempat kujenguk puisi yang kusembunyikan
di balik bantal. saat diam-diam aku
menantimu kembali ke beranda tempat kau
duduk dan mengantuk. dongeng-dongeng tua,
sekisah drama pengucur air mata, terlafal
di tidurmu yang kutitipkan pada sebuah
ketukan selamat malam.
coretan di pintu kamar. di matamu
seorang anak kecil merapatkan jemarinya
di hening misa.
tersebutlah harapan lugu di bola mata
yang betapa lucu. Bundar buah jambu, bening
langit biru. tiba-tiba aku mengingatmu,
mengingat langit yang pernah bertumpuk
di telapak tanganmu.
coretan di pintu kamar. di tanganmu
langit menjadi tempat baru untukku menanti
dan meraba degup santun oleh
telapakmu yang sesungguh-sungguh dewi.
TAHU-TAHU AKU MERASA CEMBURU
Tahu-tahu aku merasa cemburu
serupa capung yang mengapung
di antara rumput dan awan
yang saling memandang.
Jika hati memiliki jendela,
tolong pecahkan kacanya untukku
membantu lari dari berangus api
yang asapnya mengepul
menjadi mendung,
menjadi hujan paling sempurna
yang pernah menghuni ekor mata.
Tahu-tahu aku merasa cemburu
serupa sunyi dengan gemuruh
yang ditabuh diam-diam.
Jikalah cemburu ialah jeruji
yang kau pancang di ruang mataku
untuk memenjarai senyummu
maka biarkan aku bersimpuh di sana
selama mungkin.
Tahu-tahu aku merasa cemburu
tanpa pernah jentik matamu tahu.
Maka anggaplah cemburuku
tak pernah mengenalmu
agar aku bisa menyingkap
relungmu diam-diam
sebagai hitam.
BIODATA
Andi Wirambara, lahir 24 September di Ambon dan berdomisili di Malang. Praktisi hukum yang menyenangi sastra. Karya-karyanya telah dimuat di sejumlah media nasional dan lokal baik cetak maupun daring. Karyanya juga terhimpun pada sejumlah buku antologi bersama. Buku tunggalnya yang telah terbit: kumpulan puisi Harmonika Lelaki Sepi (2010), kumpulan cerpen Sekeping Tanda (2011), kumpulan puisi Lengkung (2012), dan kumpulan cerpen Tentang Pertemuan (2014).
Handy Saputra lahir di Denpasar, 21 Februari 1963. Pameran tunggal pertamanya bertajuk The Audacity of Silent Brushes di Rumah Sanur, Denpasar (2020). Pameran bersama yang pernah diikutinya, antara lain Di Bawah Langit Kita Bersaudara, Wuhan Jiayou! di Sudakara Artspace, Sanur (2020), Move On di Bidadari Artspace, Ubud (2020), Argya Citra di Gourmet Garage (2021). Instagram: @handybali.