Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

Puisi-Puisi Dody Kristianto

Ilustrasi: Gede Gunada

 

Sebelum Urut Badan
– Tukang Pijatnya Aksan Taqwin Embe

Baiklah. Dan tetap katakan semua baik-baik saja.
Semua yang terhampar atau yang menyiapkan
urat-urat terbaiknya. Urat-urat yang dilicinkan
oleh sesawur minyak. Sila kau pilih minyak

yang akan dituang bersama doa-doa ini. Jangan
salah memilah. Lebih-lebih doa yang bakal diujar.
Berkaca dulu dari kitab mana kesembuhan ini akan
tiba. Sebab sekian mahluk-mahluk tak tampak,

renik-renik bahaya akan selalu menunggu celah
terbuka. Celah yang tepat saat jemari ditaruh
di sekujur badan. Badan yang disarati sawan dan
segala kisaran yang lalu lalang. Lalu lalang seolah

mereka penghuni tetap yang bersarang. Tak mau
ditekuk. Tak mau dibekuk. Terutama enggan takluk
dari rupa-rupa pengobatan yang kau upayakan.
Maka dengan upaya ini, permulaan bismilah ini,

rebahkan badanmu sebagaimana pesakitan ditaklukkan.
Berserahlah serupa badan akan dipendam. Rasakan
nikmatnya sebab gelanggang ini rada pelan sekaligus
sedikit berat di badan.

Tentu saja semua pasti baik-baik saja.

(2022)

 

Papar
– membaca Tapak Liman Ferdi Afrar

Katakan siapa wujudmu. Nyatakan dengan kalimat
paling terang. Tak beranak pinak. Tak terpisah
jurang paragraf. Utarakan dengan gamblang biar
niat ini benar-benar sampai di tujuan. Paparkan

dari mana rahasia kesembuhan ini bermula. Tapi
rupanya kau tak mudah berkata-kata. Kau diam.
Lantas berpulang pada semua yang gaib. Tuntun
saja. Tuntun pada jalan yang tepat, bimbing ke lajur

benar dari mana kesembuhan berasal. Maka segala
pustaka jelas aku kupak. Aku daras dengan lamat.
Rasa pahitnya. Aroma anyirnya. Aroma percampuran
rapal-rapal pengobatan. Rapal-rapal orang direbahkan.

Lantas ditenggaki rupa sari penyelaras tubuh. Biar
tak rubuh ingatan ke dalam amsal-amsal. Amsal
yang penuh kata hikayat. Amsal orang lama yang musti
dikuar dalam bahasa yang lebih sederhana. Katakan.

Dengan apa aku menyusup ke dalam lubang
mahakecil ini. Lubang yang menyimpan segala
kenangan di mana langit, awan, hujan, sekaligus
mentari diaduk-aduk sebagai awal cipta. Dan saripati

awal itu dituntun turun ke dalam lubang buangan.
Katakan dengan tenang. Tanpa merujuk pada pilihan
berkelindan, menghindar, sekaligus bersiasat lepas
dari jalan panjang tafsir yang tak mudah ini. Segera

katakan dari mana asal
segala yang sembuh dan
yang lepas berawal.

(2022)

 

Siasat Catur
– tentang bercatur dengan Mardi

Sampaikan salamku pada cinta yang bolong.
Cinta yang geser, miring, dan agak condong
keluar bidang. Cinta yang bisa susut dalam
sekali sambit. Satu kali sergahan oleh si miring,

dengan geraknya yang samping. Si miring yang
paling mudah ditebak sebenarnya, paling gampang
diteroka ke mana arah melajunya. Pun yang dengan
langkah menyampingnya itu tak lebih berharga

dari si kuda. Penganut aturan ngawur yang
tak kenal pola. Lagi tak bisa diterka. Ihwalnya.
Langgam geraknya. Serta selintutnya. Kuda
yang sudah lupa lekuk ladam di kaki hingga ia

sekadar melayang di atas papan. Dan pamer
muslihat menghindar serta main belakang.
Mungkin cinta bisa bertukar nyawa dengan
benteng. Pada tembok paling kukuh itu cinta

bersandar. Bersandar pada persegi tegak pendek
itu. Serta bersabar di halaman belakang pertempuran.
Tapi cinta pantang menzigzagkan langkah. Langkah
ketika semua pion masih jangkap. Pion yang punya

satu langkah ke depan. Langkah paling sederhana.
Langkah yang tak paham mengapa ia hanya ke sana.
Tak mundur. Tak nyamping. Tapi ke arah binasa atau
dikorbankan. Tapi bukankah tinggal cinta seorang.

Seorang belaka. Yang ditinggal mati kawan-kawan.
Sebab sang penyentuh yang semalam lupa membuka
kitab. Kitab kiat-kiat menerka peruntungan. Atau menguak
yang sembunyi pada papan putih hitam ini. Maka, dengan apa

kau musti tumpas.
Dengan langkah apa.

(2022)

 

Niatan Memancing
– Buat Ferdi Afrar

Adakah langkah itu salah. Menjadikan ia sebagai seteru.
Seteru yang tak tidur serta menyembunyikan kantuknya

dalam kelana paling panjang. Sepanjang kau ulur rentang
benang di hadapan pedendang sunyi tambak. Kau pun

bersiap dengan tawaran paling aneh. Seaneh kau bercerita
tentang bulan yang mengelupaskan kulitnya. Bulan yang

kau acuhkan dari palagan hingga hanya bintang-bintang
yang kau sebut memiliki awalan. Langkah gerak yang

anggun. Seanggun gerakmu melempar joran. Dan dengan
sabar memulai hitungan ketenangan. Ketahuilah pula. Ia

cergas menghidu segala keanehan: rupa-rupa tanah yang
dioplos, riak pelan di permukaan, bau sigaret sebagai teman

seperjuangan. Sungguh sayang, bila ia hanya kau buru.
Lalu kau nyatakan sebagai seteru. Sebagai yang akhirnya

mesti terpuruk dan terkutuk di penggorengan.

(2022)

 

Pencerita
– Kaki Delapannya Mardi

Kudamu kuda berkaki delapan. Empat menempel
di badan. Empat lagi menempel di entah. Entah

di batang odong-odong. Entah di atas papan catur
cepat empat langkah pasti mati. Entah menyaru

sebagai kuda paling gemar beling, silet, paku, dan
segala ihwal tak masuk akal yang dikremus oleh

si penunggang. Yang semalam menerima semburan.
Semburan dari mimpi tentang si kuda yang berlalu

lalang. Berlepas tangkap. Berloncat-loncat di atas
atap. Si kuda yang sedari awal selalu minta diturunkan.

Tapi tidak di padang-padang luas. Pada kudamu pula
kau menitip isyarat. Tentang orang yang pasti selamat

dari pertempuran. Orang yang tiba pada penghabisan.
Dan bertanya di mana sebenarnya pertempuran dimulakan.

Lalu pada pertempuran mana si kuda harus ditaklukkan.
Serta diriwayatkan sekadar sebagai tunggangan. Aih,

si orang selamat yang sebenarnya sudah bertukar tempat.
Bertukar di atas si kuda pendek. Si bintang katai yang

pulang ketika orang ramai berhikayat tentang kuda-kuda
mereka. Kuda-kuda yang selamat. Kuda yang satu per satu

ladam mereka tanggal. Dan kaki-kaki mereka jadi sederhana.
Seperti makin sederhananya kuda kaki delapan melangkahi
hikayatmu.

(2022)

 

 

BIODATA

Dody Kristianto, lahir di Surabaya. Saat ini ia tinggal dan bekarja di Serang, Banten.

Gede Gunada lahir di Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali, Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!