Ilustrasi: Ignatius Darmawan
Nukil Cinta di Kajoetangan
: di Kajoetangan
di kedalaman paras langit
masih ada senja yang bercengkerama
menyusup mimpi perempuanku,
dan bergegas merias jalan
aku melihat kobaran api
di matamu, yang senantiasa sembab
seperti fragmen sunyi mengalirkan sebongkah gelisah
menggelincir deras dari kidung cinta
serpihan cahaya turun, seakan mengeja peperangan batin
dan di pangkal penantian
tak henti-hentinya menulis aksara kematian
bukankah tidak ada kemenangan;
hanyalah menyisakan dada-dada terluka
hingga kelopak mata burung elang pun terkesima
di punggung ritual, sepasang kuda berlari kencang
serupa jagal kehilangan keberanian
tinggalkan para rahib, pemanggul salib
sementara jalanmu, penuh kerikil menancap di tubuh sajakku
aku menanti pertemuan musim, yang menjelma butiran doa
menyelimuti diri dengan lantunan zikir
di kejauhan pandang, adakah kicauan burung
merapal bunyi-bunyian merdu
seperti seruling dan kecapi mengiringi perjalanan tradisi
: yang kita baca dalam kekalahan
tinggalkan sengatan matahari, di ubun-ubun kepala kita yang rapuh
dan di ujung matahari, rerumputan bergegas
menari dalam tarian angin
seakan menatap keresahan kita
sajak-sajak yang tertulis; tertunduk dan terkulai
meranggas di pelaminan musim
tatkala seorang gadis berbaring di ranjang kematian
menakwilkan bukit hantu dalam keterasingannya
catatan sudut-sudut Kajoetangan meringkas pertempuran asmara
pada gubuk kayu, sajakku membaca –nukilan cinta–
Malang, 2024
Membaca Jalan Kekal
: untuk sahabatku, Andry Dewanto Ahmad
aku tidak mengerti
kenapa harus kita baringkan segenap penat
bukankah lantunan zikir terus berkumandang
berkelindan di sisa jejak musim
yang belum kita tuliskan di hari-hari kerinduan kita
hari berganti hari
ingatanku terus mengembara
mengudar garis-garis cahaya
seakan bayanganmu lekat pada suluk-suluk kitab
yang tak mampu kulukis dalam aroma mimpi
di penghentian angin,
aku mencoba mengeja sederet abjad
dari sudut-sudut kota, tempat di mana engkau tinggalkan bekas sujud
masih adakah aksara bersih
untuk menakwilkan isyarat segala ketabahan
tatkala doa kita terhadang rasa sesal
bukankah pusara hanya tempat pembaringan raga
yang menadah segala cemas dan air mata
di mana aku tak mampu menerka doa
dingin dan menggigil kuyup
hanya menatap ribuan senja rebah di pangkuan cakrawala
sahabatku, Andry Dewanto Ahmad
tiga tahun kepergianmu, bagai titian di ringkih waktu
biarkan kukalungkan sajak di atas pusaramu
hingga waktuku akan tiba
membaca: kullu nafsin dzaiqatul maut
angin mendera, malam kian rapuh
hanyalah sunyi dan sepi menguji ketabahan tidur kita
adakah cara lebih bijak
selain membaringkan segala cemas kita ke pangkuan Ilahi
itu jalan terindah
Airmata pun sirna
di mana rindu, sunyi dan kematian
menyempurnakan aksara kekal
malam ini, sajakku berbalut doa
untuk membasuh dahaga kemarau
memayungi matahari – yang
sinarnya meruncing tajam
dan memohon kepada Ilahi Rabb
berikanlah keteduhan di kitab ajal untuk kami
sebelum peziarah bergegas tinggalkan potret bisu
Singosari, 2024
Mata Air
matahari terkapar
berkeping-keping dan porak-poranda
sampan-sampan mengusungnya,
menyusuri sungai, yang kehilangan mata air
kata-kata jadi riak
entah kemana, muara menjajakan makna
tanah-tanah kehilangan pijakan
kita tak mampu lagi menimba peristiwa
sumur-sumur kering
untuk menyimpan sejarah kata-kata
Malang, 2024
BIODATA
Vito Prasetyo dilahirkan di Makassar, 24 Februari 1964. Bergiat di penulisan sastra sejak 1983. Tulisan-tulisannya dimuat di Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Republika, Solopos, Bali Politika, dll. Tahun 2022, ia meraih Juara 3 Lomba Cipta Puisi yang digelar Yayasan Hari Puisi Indonesia.
Ignatius Darmawan adalah lulusan Antropologi, Fakultas Sastra (kini FIB), Universitas Udayana, Bali. Sejak mahasiswa ia rajin menulis artikel dan mengadakan riset kecil-kecilan. Selain itu, ia gemar melukis dengan medium cat air. FB: Darmo Aja.