Ilustrasi: Gede Gunada
LULLABY HOTEL: DI MANA PINTU DIKETUK
/1/
di pinggiran ruang , orang-orang bergegas
berseliweran hilir mudik mencari bayang
bayang yang hilang. apakah masih ada pesawat
yang akan terbang kembali membawa suara
suara ayat yang datang dari kegelisahan
aku hanya duduk dalam diam yang tabah
ada yang memanggil lewat mikrofon, – kota-kota
yang akan dituju, ke mana akan tiba? jam masih
basah di dekat jendela kaca
mungkin kau lupa berbisik lirih
atau tak mengingat lagi sebuah masa silam
yang dicatat dalam buku lusuh, dibawa
dalam tubuh yang capai dan lunglai
tak ada yang menyapa, hanya menoleh
kemudian mempercepat langkah diam-diam
“matamu jadi senyap, membayang geriap.”
/2/
“apakah kau masih menunggu?” seseorang bertanya
sambil berlalu, tergesa mengejar waktu
jam terbang pesawat masih bergantian menyala
ada nama kota-kota yang dituju
kita berada di bandara, pusat kehidupan yang sibuk
kursi bangku yang berderet, cuaca musim
yang berat. menggigit tubuh yang ringkih, dan sesak
ruang tunggu seperti spiral berputar
“kita harus bergerak, mencari nama kota
yang hilang sebelum kelelahan menjadi beban
dalam perjalanan. seperti sisyphus yang lupa tubuhnya”
dunia yang penuh dengan teriakan, suara nyeri dan
bom yang mulai meledak, desing peluru yang mengikis
daging dan kulit. terdengar suara lirih – menangis.
/3/
aku terjebak lagi di sini. ruang yang asing
orang-orang tak kukenal, wajah pucat memerah
dengan tubuh yang mengeluarkan asap
seperti ada yang membakar menyala
“kau masih menghitung jumlah waktu
yang lepas dari diam menunggu?” ada yang berbisik
seperti menyadarkan pada ingatan
yang hampir terlupakan dari sebuah catatan buku
kita akan segera menyelesaikan
percakapan yang tua
dan sisa kopi hitam yang dingin
di luar ruang, musim membawa butiran
salju jatuh di atas dinding kaca
yang berembun ketika napasmu mengendap.
/4/
orang-orang masih setia menunggu
di deretan kursi dan bangku dingin
dan kita masih mendekap, separuh waktu
jadwal pesawat, tercatat bergantian
dalam nama kota-kota yang tak kita kenal
“apakah jam masih menunjuk waktu yang jelas?”
kita melupakan saja bunyi
atau isyarat tanda yang mengumumkan
kapan keberangkatan, hanya diam untuk tabah
cukupkan saja wajah kita
di dalam cermin memandang bayangan
musim yang akan terus berubah. cuaca tertunda.
/5/
di pojok kursi, pada ruang yang membaca
sebuah sudut di antara tiang dan dinding kaca
kau masih mencoba bercumbu
pada geliat waktu
ada erangan yang terdengar
sebuah suara samar-samar
membawa gelisah pada cuaca
musim dingin yang baru saja tiba
siapa yang memberi nama padamu?
seperti muncul diam-diam kabut
ketika kau memanggil dan menyebut
siapa yang merintih dengan bayang-bayang?
seperti ada yang menyapa, perlahan berbisik
ketika harum tubuhmu, masuk dalam lirik.
BIODATA
Irawan Sandhya Wiraatmaja. Buku Puisinya, Giang Menulis Sungai, Kata-kata Jadi Batu (2017) memenangkan Anugerah Puisi Utama HPI Tahun 2017. Buku puisinya, Vu Berbilang Akar-akar Kecubung (2019), masuk 5 besar sayembara buku puisi 2020 Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.