Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

Puisi-Puisi Eep Saefulloh Fatah

Ilustrasi: Handy Saputra

 

Sajak Merindu Rendra

Kita renda malam hingga pagi buta dengan cinta Tanah Air yang kusut masai
Tapi mata kita senantiasa menyala
Semangat tersampir pada kantung bawah matamu menggantung
Kita saling menatap dan menemukan masa depan yang sedang kita rebut

Berdepa-depa bicara
Tak kita pedulikan berpoci-poci teh dan berkristal-kristal gula yang kau lumat dengan hemat.

Tugasku cuma membersihkan buku sejarah dari air ludah Sukarno yang nyiprat di mana-mana, katamu sembab

Tugasku sekadar menyapu bekas-bekas darah injakan kaki Soeharto. Katamu lagi

Dan seperti ada lebam di hatimu

Aku meja karambol licin yang siap jadi tempat generasimu membenturkan bola-bola peradaban hingga bersua lubang di penghujung, katamu

Aku suka suara dahakmu setiap kali kau usaikan makan malam kita
Lalu, kau mulai habiskan berhelai-helai tisu untuk menyeka mulutmu
Lalu kau guyur kepalaku dengan berbilang abad hikayat kebudayaan itu

Dik, kita bangsa besar tapi bernasib buruk dikuasai terlalu banyak orang kerdil yang berebut remah-remah kekuasaan, katamu

Dik, kau jaga akal sehatmu, jangan terbuai goda rayu akal busuk yang bergantungan di udara

Parau suaramu menikam bulan

Aha! Rendra! Kau selalu saja punya alasan untuk membuat kita berdua punya pengharapan

Seorang lelaki besar, katamu, bukan penakluk perempuan tapi penghancur tirani yang bercokol di kepalanya sendiri

Seorang perempuan besar, katamu, bukan penakluk laki-laki, tapi ibu yang melahirkan kebudayaan adiluhung

Lalu, kantung bawah matamu menarik kepalamu jatuh ke atas meja makan
Malam telah tunai dan kita masih juga bicara
Dan pagi mengetuk pintu lewat berkas temaram cahaya yang menyemburat dari balik punggungmu

Dalam kantuk yang menghebat kita bicara tentang Nusantara
Redup matamu tak kuasa sembunyikan daya hidup perkasamu
Sebuah Tanah Air telah dilupakan oleh orang-orang yang terlihat kerdil di atas panggung besar sejarah yang pikuk.

Pada perjumpaan terakhir, kau hitung beratus batang kayu kecil yang kelak menghutankan padepokanmu
Kau risaukan anak-anakmu sambil janjikan masa datang yang mesti kau bikin lebih baik untuk mereka
Sepanjang seperenam hari, kita sudah saling merindu ketika mata kita masih saling bersirobok

Tapi, bukan kerinduan akan perjumpaan yang membikin kita saling lekat, melainkan kerinduan akan tegaknya kembali peradaban

Peradaban itu, katamu, tengah dirobohkan oleh orang-orang picik yang terendam dalam lumpur kepongahan mereka sendiri

Kita berdua muak: Terlalu banyak orang kerdil berbaju kebesaran yang memberaki bendera kebangsaan kita
Kita impikan kanal besar tempat kapal besar kita berlayar dengan panji-panji menjulang
Dan kita muak karena terlalu banyak orang kerdil dengan kepala besar dipenuhi kepicikan membangun berdepa-depa comberan
Dari mulut bau anyir mereka yang terbuka kita dengarkan nyanyian sumbang itu: Indonesia Baru sedang kita layari, tralala trilili…

Dan sebelum penat menghantam kita ke peraduan, kau meneriakiku dengan ucapan selamat tidurmu itu: Bah!!

 

Sajak Mencinta Rendra
(Untuk Sutanto Mendut)

Merpati pagi tak turun ke panggungmu
Kau bunuh kami berkubang pesona doa-doamu
Berjuta keluarga menitip pesan tak mau dikorbankan untuk pemilu
Lalu kau peluk siang dalam dekapan seorang tua penunggu-rindu
Selepas kerontang sejarah yang cuma menghidupi orang-orang kerdil dan benalu

Lalu, ketika malam masih berputar di atas ubun-ubun kita
Terkepung sejarah yang beranak-pinak dalam batu-batu tua
Angin dingin turun meniti Candi Cetho bertangga-tangga
Suara paraumu tersimpan dalam jiwa penuh tenaga
Pesonamu mengundang bulan malu-malu menontonmu melahirkan sajak

Warga negara!
Warga negara!
Warga negara!
Aku tak mau massa!
Aku mau warga negara!

Pekik lantangmu mengusir dukalayuku pergi
Daya hidup kita menindih daya mati

Tapi,
Gejolak harap hanya menerkam meja diskusi
Harihari panjang hanya sibuk melolongkan sunyi
Luka masa lalu hanya dipupur bedak Reformasi
Berderap langkah diayun menjemput terang yang tak meninggi
Fajar tak juga terbit
Dan kau pergi

Rendra,
Berkubang rindu, Aku Mencintaimu!

 

BIODATA

Eep Saefulloh Fatah lahir di Bekasi, Jawa Barat, 13 November 1967. Dia seorang pakar politik yang suka menulis puisi. Dua puisi yang dimuat di Bali Poltika ini dikirim oleh Erict Est atas seizin Eep Saefulloh Fatah.

Handy Saputra lahir di Denpasar, 21 Februari 1963. Pameran tunggal pertamanya bertajuk The Audacity of Silent Brushes di Rumah Sanur, Denpasar (2020). Pameran bersama yang pernah diikutinya, antara lain Di Bawah Langit Kita Bersaudara, Wuhan Jiayou! di Sudakara Artspace, Sanur (2020), Move On di Bidadari Artspace, Ubud (2020), pameran di Devto Studio (2021), pameran Argya Citra di Gourmet Garage (2021). Instagram: @handybali.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!