BASEL, di seberang Halte trem Kasernen, Switzerland menjelang remang, Sabtu, 16 November 2024 tampak banyak orang duduk di atas kursi merah. Selimut tebal juga berwarna merah tertumpuk di ujung dan sebagian juga membungkus kaki atau kepala hadirin. Maklum acara literasi ini open door di musim gugur dengan suhu sekitar 5-6 derajat celsius.
Keck Kiosk warna putih itu sudah berdandan, di depan kiri ada meja berisi teh dan kopi hangat juga dua botol mineral, gratis. Di sebelahnya ada meja yang menyajikan berbagai flyer. Aku mengambil flyer tersebut termasuk sticker bertuliskan; Wort Stellt Werk (Kata Menghasilkan Karya).
Sekitar tujuh gadis Swiss berseragam hitam berkalungkan pita dengan tulisan Team. Mereka tersenyum-senyum, ketika kutanyakan, apakah di sini tempat pembacaan sastra dengan tajuk Kurz Lesung (Pembacaan Singkat)? Ia mengiyakan.
Aku datang dengan istri, Claudia Beck dan terlihat acara belum dimulai. Peter Gisi, novelis Swiss asal kota Basel datang dari arah samping kanan. Kami memang sudah berjanjian, akan bertemu di acara ini.
Setelah istriku kuperkenalkan dengan Peter, ia undur diri ingin menikmati lorong-lorong kota tua Basel yang melankolis dengan paduan dedaunan menguning. Di deret kursi merah menghadap Keck Kiosk itu ada yang kosong dan aku segera duduk. Posisiku menghadap Keck Kiosk, terlihat bendera biru bertuliskan Buch Basel.
Harapanku ada kepala-kepala hitam datang dari Indonesia. Sayang, tak satu pun ada warga Indonesia yang hadir. Padahal jauh hari aku sudah menyebarkan flyer acara ini ke media social di Swiss. Baik di Whatsapp group, maupun facebook group khusus warga diaspora Indonesia di Swiss.
Sebulan lalu, tepatnya pada 9 Oktober 2024, Laksmi Pamuntjak juga membacakan novelnya Amba di Literatur Haus, Zürich. Pengunjung ruangan penuh warga Swiss, dan hanya ada 5 orang Indonesia yang hadir. Padahal publikasinya gencar, seminggu sebelumnya Laksmi sudah muncul pada koran NZZ (Neue Zürich Zeitung), koran nasional sekelas Kompas di tanah air. Yang menarik, warga Swiss yang pernah bersinggungan dengan budaya Indonesia atau pernah tinggal di Indonesia, hadir.
Menurut catatan KBRI ada sekitar 2000 warga Indonesia bermukim di Swiss. Catatanku pengarang Indonesia yang pernah membacakan karya di Swiss antara lain, Pramoedya pada tahun 2002, Leila Chundori dan Andrea Hirata pada Festival Cofingen tahun 2015. Jika akan ditarik ke belakang lagi, Mohammad Hatta pada Februari 1927 dari Rotterdam menyeberang ke beberapa negara tetangga termasuk ke Swiss mengampanyekan perjuangan antikolonialisme.
Panitia memberitahu, bahwa acara yang akan menampilkan Felix ini akan segera dimulai. Aku lekas memosisikan menghadap ke Keck Kiosk yang terlihat sudah ada dua orang, laki-laki dan perempuan mulai membaca buku.
Aku tak tahu di mana Peter berada, meskipun aku menoleh ke segala arah, lautan manusia menguburnya. Tapi aku melihat dari arah kiri ada pemuda berambut hitam keriting cukup lebat dan aku duga, itu Felix. Hitung-hitung aku akan berkenalan dan minta tanda tangan, karena novelnya Die Leute von Oetimu, sudah kubeli di toko buku Orell Füslli kotaku Zug dua Minggu lalu.
Novel berjudul Orang-Orang Oetimu itu diterjemahkan ke bahasa Jerman oleh Sabine Müller. Mengingat novel masih baru dan pakai format Hard-Cover maka masih cukup mahal seharga Sfr 27 (sekitar Rp400.000).
Sesungguhnya aku belum kenal Felix. Ia sebagai pendatang baru dalam dunia sastra dan debutnya cukup cepat melejit.
Berkat Tiya Hapitiawati aku mendapatkan flyer acara ini, sehingga aku bisa datang. Pembacaan karya sastrawan lain dimulai dan aku dokumentasikan dengan video dari ponselku.
Felix Tak Lupa Teman dan Guru
Nagib Machfuz sering nongkrong dengan anak-anak muda di kafe di Kairo. Umbu Landu Paranggi, sering begadang di teras Bali Post dengan penyair-penyair muda di Denpasar. Djoko Saryono di Malang, punya kemiripan dengan dua sosok legendaris di atas. Aku pribadi saat membacakan karyaku di Kafe Pustaka, Malang bersama dua penyair Bali; Wayan Jengki Sunarta dan Muda Wijaya, digelandang ke lesehan dan menikmati kuliner malam. Sang Guru Besar itu berjiwa besar dengan melongsorkan waktu berharganya untuk berada di tengah-tengah pengarang yang haus fantasi ketimbang materi. Ia bertindak sebagai juru dengar, juru olah rasa dan sekaligus juru bayar.
Kembali ke Felix di Switzerland. Di saat aku mendengarkan pembacaan sastrawan lain di depan mimbar Keck Kiosk, tak kusangka, di kursi sebelah kiriku yang tadi kosong, duduk sosok berambut keriting tebal itu.
Ia menyodorkan tangannya mengajak bersalaman, “Mas Sigit, Ya?”
Kuulurkan tanganku menyambutnya, bercampur haru. Dari mana ia tahu namaku dan aku datang di acara ini? Toh, aku tak punya kontak sebelumnya. Aku hanya memasang flyer dan sampul novelnya di akun facebookku dan facebook Apsas (Apresiasi-Sastra)
Ia tersenyum ramah. Kulanjutkan merekam video sastrawan di depanku. Ketika aku toleh ke samping kiri, ia sudah tak ada. Dari arah kejauhan tempat ia datang tadi juga tak nampak. Peter sudah lama tak nongol lagi. Ke mana mereka berdua? Eh, beberapa saat kemudian, kelihatan Felix duduk di bangku sendirian sambil memegang lembaran kertas putih dan aku lihat HPku, setengah jam lagi, pada pukul 17.00 ia harus tampil ke panggung. Ah, aku bergegas menemuinya.
“Kamu datang sendirian, Sabine di mana, sudah lama aku gak bertemu dia?”
Felix menjelaskan dirinya datang dari Jerman sendirian dan Sabine tak ikut. Instingku mengatakan, nanti yang membacakan novel dia dalam bahasa Jerman siapa? Mengingat publiknya orang Swiss berbahasa Jerman. Felix mengaku tidak tahu. Aku segera mendekati salah satu panitia dan kutanyakan.
“Apakah sudah ada panitia yang menyiapkan pembacaan petikan novelnya?”
Panitia mengaku, belum ada. Spontan aku usulkan, bagaimana kalau temanku Peter Gisi saja yang membacakan. Rupanya, panitia fleksibel dan malah berterima kasih. Apalagi Peter asli orang Basel, tentu akan lebih mudah, berbahasa Jerman dialeks Basel.
Pada waktu yang bersamaan Peter muncul di sampingku. Aku langsung pertemukan dengan panitia dan disepakati, Peter akan tampil mendampingi Felix. Dengan urutan, pertama Felix membacakan cuplikan beberapa paragraf dari novel dalam bahasa Indonesia, disusul Peter membaca versi bahasa Jerman. Kedua novelis saling berkenalan dan berunding mencocokan bagian mana saja yang harus dibaca. Felix berbicara bahasa Inggris dengan Peter sambil memegang lembaran kertas putih.
Aku keluarkan novel Felix dalam bahasa Jerman dari ransel dan kumintakan tanda tangan. Peter melihat sampul buku tertulis Edition Nautilus, langsung dipuji.
“Nautilus itu penerbit bagus,” katanya.
Peter pun mengeluarkan novelnya sendiri berbahasa Jerman berjudul Mutters Krieg (Ibu di Era Perang). Aku sudah membaca novel itu. Novel sejarah. Kisah pilu, true-story, ibunya Peter orang Belanda yang lahir di Bandung di zaman kolonial dan dijebloskan ke penjara oleh Jepang, di saat tentara Jepang mendarat. Penjara di Bandung kala itu ada lubang gorong-gorong saluran air sebesar kepala manusia. Lewat lubang tersebut, anak-anak tahanan keluar menyelundupkan makanan.
Peter, anak blasteran, ibu dari Belanda dan ayah dari Switzerland. Kisah ibunya itu ia tulis dalam novel dengan bahasa Jerman yang puitis. Peter dan Felix saling bertukar novel.
“Felix, selamat datang di Switzerland dan selamat atas novel barumu dan minta tanda tangannya,” kataku.
Sambil duduk di bangku, ia menggoreskan di halaman awal novel;
Untuk Mas Sigit
Terima kasi
Felix Nesi
Kuamati sekilas, tanda tangannya seperti benang melengkung bundar ke atas dan kata kasih, kurang “h”. Aku maklumi, karena suhu udara dingin dan mulai remang.
“Terima kasih. Aku mengenal kamu pertama kali dari media. Kamu sebagai juara novel di DKJ dan ikut program Creative Writing di Universitas Iowa, USA,” sambutku.
“Saya pernah melihat Mas Sigit di Malang.”
Giliranku yang kaget, “Oh, ya?”
“Mas Sigit saat diskusi di Malang, ada saya. Saya kuliah di Malang. Diskusinya di Kafe Pustaka.”
“Aku membicarakan buku Kesetrum Cinta, kah?”
“Bukan, buku terjemahan Mas Sigit, buku Kafka. Di Kafe Pustaka itu, saya belajar dari Mas Denny dan Pak Djoko.”
Dari gesture bicara dan loncatan kata, tampak sosok Felix ini orang yang ramah dan apa adanya. Kesanku, ia mudah beradaptasi dengan lingkungan Eropa, meskipun saat ia datang ini di musim gugur yang dingin.
Di saat ngobrol itu, seorang perempuan dari panitia mendekat dan memberitahu, Felix dan Peter harus siaga.
Mereka menuju Keck Kiosk, aku duduk di kursi bersama hadirin lain. Panitia membuka dengan menyebutkan, tiba saatnya Felix, sastrawan dari Indonesia akan membacakan cuplikan karyanya dalam bahasa Indonesia dan Peter membacakan versi bahasa Jerman. Kontan hadirin bertepuk tangan.
Felix membuka dengan bahasa Inggris, sebuah ajakan mendengarkan bahasa Indonesia yang melodius seperti lagu. Pembacaan Felix dengan intonasi cukup keras dan jelas. Disusul Peter membacakan. Aku belum membaca novelnya, karena baru beli. Tapi dari pendengaran, kutangkap ada nama Zidane, pemain sepak bola ternama dari Prancis dan hiruk pikuk suasana di Oetimu.
Posisi dudukku menghadap ke mereka, dan sering terganggu oleh orang lalu lalang. Acara literasi dari panitia Buch Basel ini sebetulnya di sebuah gedung, namun beberapa sastrawan mendapat tempat membaca disebar di berbagai tempat yang lebih kecil. Kemungkinan ini siasat ingin mendekatkan sastra kepada publik lebih luas di tepi jalan, khususnya anak muda.
Sekitar 30 menit pembacaan silih berganti antara bahasa Indonesia dan Jerman itu tamat. Panitia maju dan mengucapkan terima kasih kepada Felix atas presentasinya, juga kepada Peter, disusul tepuk tangan.
Waktu menunjukkan pukul 17.30, kami bertiga bergegas mencari pemanas perut. Peter yang sudah hafal kota Basel, langsung mengajak ke Kafe Flore yang hanya berjarak beberapa langkah.
Kafe tampak penuh pengunjung. Maklum ini hari Sabtu. Di ruang dalam kami mendapat tempat nyaman. Felix memesan bir, Peter memesan wine dan aku memesan cokelat panas. Kami merayakan kecil-kecilan pembacaan novel Felix dengan saling menabrakkan ujung gelas, ting; Prost.
Mulailah aku melanjutkan obrolan dengan Felix.
“Felix, bisa ceritakan siapa saja teman-teman di Malang yang membentuk spirit menulismu?”
“Ada Mas David Ardyanta (penulis dan pengelola Kafe Pustaka) yang punya kurasi buku sastra yang sangat bagus. Mulai dari kanon sastra dunia sampai buku-buku bagus yang kurang dikenal. Ada Mas Denny Mizhar yang selalu semangat perkenalkan atau datangkan penulis-penulis dari seluruh Indonesia (atau internasional) yang bisa diskusi bersama kami. Pak Tengsoe Tjahjono dan Pak Yusri Fajar selalu terbuka. Membaca karya kami dan memberikan kritik dan saran-saran yang penting dan menjadi masukan baru. Pak Djoko Saryono selalu bisa diajak diskusi, bahkan di emperan sekalipun. Kadang kami yang muda-muda ditraktir juga makan sate, soto, bakso atau apa saja di pinggir jalan dan makan sambil bicarakan hal-hal tentang sastra. Juga saya ada banyak pengaruh dari kawan-kawan seniman lain di Malang. Karena sering ada acara dan diskusi bersama. Seperti pelukis Mas Dandung, penari, dan kawan-kawan di Dewan Kesenian Malang. Juga di Komsen Unmer,” tutup Felix.
Setelah Felix dengan fasih menyebutkan nama teman-teman di Malang yang mengantarkan proses kreatif menulisnya, aku sodorkan satu nama, “Apakah kamu sudah pernah bertemu Mbak Ratna Indraswari Ibrahim?”
“Nah, sayang sekali. Saya tidak sempat bertemu dengan Mbak Ratna.”
“Aku dan Puthut EA pernah menginap semalam di rumah Mbak Ratna. Setelah itu kami mencoba mengenalkan kumpulan cerpen Mbak Ratna ke dalam bahasa Jerman, namun belum berhasil. Kala itu Sabine Müller menerjemahkan cerpen-cerpennya dan aku bagian mencarikan penerbit.”
Percakapan dilanjutkan memakai bahasa Inggris, karena menghormati Peter di sebelahnya. Kami membahas novel Peter dan Felix.
Kafe Pustaka sebagai Jembatan Keliling Eropa
“Aku lupa, kalau kita pernah bertemu. Coba ceritakan, proses kreatifmu yang berasal dari Malang?”
“Waktu itu saya masih mahasiswa dan bercita-cita menjadi penulis. Seperti kebanyakan orang yang bercita-cita menjadi penulis. Saya belajar dari Pak Djoko Saryono, Mas Denny Mizhar, Pak Tengsoe Tjahjono, Pak Yusri Fajar di Kafe Pustaka. Mereka memberitahu akan ada Mas Sigit, penerjemah bicarakan tentang Kafka. Waktu itu saya masih semester empat atau lima dan tidak tahu siapa itu Kafka dan bagaimana itu penerjemahan? Menerjemahkan itu bukan hanya mengubah bahasa dan kalimat-kalimat, tapi memahami konteks. Itu sangat bagus.”
“Jadi, kamu tahu Kafka saat acara itu, ya?”
“Ya, saat itu. Sebelumnya belum tahu.”
“Tapi setelah acara itu, apakah kamu membaca karya Kafka?”
“Iya. Setelah itu saya membaca karya Kafka.”
“Bagaimana kamu memaknai kehadiran Kafe Pustaka terhadap karier mengarangmu?” serudukku kepada Felix.
“Malang dan Kafe Pustaka itu tempat belajar yang luar biasa. Saya kuliah di Universitas Merdeka Malang. Tapi lebih banyak belajar sastra di Kafe Pustaka. Juga banyak penulis lain, baik dosen dan mahasiswa yang selalu diskusi dengan kami. Dan mereka bertemunya di Kafe Pustaka itu, lalu janjian untuk bertemu di tempat lain lagi. Sebelum ada Kafe Pustaka kami selalu keliling ke kafe-kafe,” jawabnya.
“Kamu tentu tahu, waktu lalu Kafe Pustaka, tempat belajarmu itu ditutup oleh pihak kampus?”
“Iya, tahu. Sayang sekali.”
“Tapi sekarang sudah menemukan tempat Kafe Pustaka yang baru. Semoga di tempat baru ini akan melahirkan Felix-Felix baru yang lain.”
Aku lanjutkan dengan pertanyaan jauh ke belakang, “Felix, pertama kali tertarik sastra atau menulis itu sejak kapan?”
“Sebenarnya saya tertarik menulis cerita yang romantis itu sejak kecil, SD. Saya suka dengan bahasa, bagaimana kalimat itu bekerja, mengatakan sesuatu dengan cara yang berbeda.”
“Kariermu mulai menanjak usai menjadi juara novel di DKJ dan ikut Creative Writing di universitas Iowa, di USA?”
“Ya, tetapi ada beban tersendiri juga.”
“Beban bagaimana itu?”
“Kalau awalnya saya menulis untuk bermain-main. Setelah menang-menang begitu, kegiatan menulis tiba-tiba menjadi sesuatu yang serius. Tiba-tiba saya diwawancarai oleh koran, dimintai pendapat tentang ini itu.”
“Itu bagi kamu sebagai beban?”
“Beban. Misalnya saya tiba-tiba ditanya, buku apa yang kamu suka? Misalnya, saya menyebut satu buku dan yang lain tidak disebut. Berefek kepada orang yang sedikit membeli buku yang tidak saya sebut.”
“Tapi dari keluargamu adakah yang menyukai atau punya hobi menulis?”
“Ibu saya mungkin, ya. Ibu selalu menulis jurnal setiap hari dan ibu saya selalu terobsesi terhadap kalimat. Ibu saya itu seperti polisi grammar. Ia guru SD. Guru agama. Bagi dia pemilihan kata itu sangat penting. Kata mana yang harus dikembangkan.”
“Apakah pernah menang lomba menulis sebelum lomba di DKJ?”
“Ada, tetapi tingkat kabupaten. Waktu SMA menang lomba menulis cerpen.”
“Usai belajar di Unmer Malang, kamu pulang ke NTT?”
“Ya, saya pulang ke NTT lagi. Saya bersama Mas Denny Wizhar dan Mas Devid Ardyanta, saya jualan buku dari Malang dan di tempat yang kecil, membuat komunitas kecil untuk menulis dan mengadakan festival sastra serta festival buku. Yang festival sastra itu saya buat sebanyak tiga kali (2018-2020). Awalnya bekerja sama dengan Denny Mizhar. Kemudian bekerja sama juga dengan beberapa penerbit lain. Lalu ada pandemi dan di masa pandemi itu ada pengurus saya yang meninggal. Dan saya pindah ke Iowa, lalu Jakarta. Jadi tidak dilanjutkan lagi.”
“Siapa yang membiayai kamu untuk keliling ke beberapa kota di Jerman dan Swiss mengenalkan novelmu?”
“Kementerian kebudayaan.”
“Untuk menyeberang ke Switzerland?”
“Pihak penerbit yang menguruskan acaranya.”
Pertanyaan terakhir, “Apakah ada karya yang akan hadir lagi dan apa kegiatanmu setelah pulang ke tanah air?”
“Novel kedua masih dipikirkan. Saya akan punya kegiatan menulis sebagai scriptwriter untuk film pendek dan juga menyutradarai. Saya akan bekerja sama dengan produsen film Nicholas Saputra.”
“Terima kasih banyak, selamat jalan sampai bertemu lagi di negeri sendiri atau di sini lagi.”
“Saya minta kiriman foto kegiatan membaca novel tadi, Mas. Untuk laporan kepada pemberi dana perjalanan ke Eropa.”
Kami meninggalkan kafe dengan banyak obrolan. Felix menyarankan, agar novelnya Peter diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Aku segera menyela, bagaimana coyprightnya? Wajah Peter berbinar, tak menyangka usulan Felix yang menukik itu. Ia akan memberitahu penerbit Lenos Verlag untuk membebaskan copyright.
Kami bertiga kembali ke halte trem Kasernen. Di situ bertemu istriku dan kami berempat naik trem bersama ke arah stasiun. Felix turun di satu halte berikutnya.
Esoknya ia mengirim pesan lewat Whatsapp, “Saya sedang di kereta ke Berlin.” Saat aku menyelesaikan tulisan ini, ia memberitahu, “Besok saya pulang pagi sekali, pesawat jam 8.”
Review di Media Jerman
Habent Sua Fata Libelli; buku punya nasibnya sendiri, kata Thomas Mann. Media WDR (West-deutscher Rundfunk) pada 9 November 2024 menurunkan review atas novel Orang-Orang Oetimu dengan judul: Novel dari Indonesia yang layak diberi penghargaan: Felix K. Nesi memotret pulau Timor dan orang-orangnya dengan menakjubkan. (Ein preisgekrönter Roman aus Indonesien: Felix K. Nesi zeichnet ein fabelhaftes Panorama der Insel Timor und ihrer Menschen.)
Pada review tersebut disebutkan, bahwa tak ada yang menyangka ada debut seorang novelis muda lahir dari pinggiran negeri Indonesia. Felix menciptakan desa fiktif bernama Oetimu. Novel yang mengemas kisah zaman penjajah Portugis hingga kebrutalan penguasa Indonesia. Manusia-manusia di Timor digambarkan sebagai nisan hidup.
Proses Penerjemahan dan Toko Buku di Jerman
Berapa lama sebetulnya Sabine Müller memerlukan waktu menerjemahkan novel Orang-Orang Oetimu itu?
Sabine menuturkan, “Saya memerlukan waktu 7 bulan untuk menerjemahkannya. Tentu saja, proses penerjemahannya tidak fulltime.”
Lebih jauh Sabine menambahkan, “Yang menarik, Felix kadang-kadang menggunakan kata-kata dan sintaks bahasa lokal Timor Uab Meto. Felix banyak membantu saya, karena saya bisa banyak bertanya dan Felix bersedia untuk membalas. Ritme dan unsur humor dalam novelnya asyik dan luar biasa dan sekaligus menantang untuk menerjemahkannya.”
Senin, 18 November 2024 aku dan istri menyeberang ke kota Konstanz di tepi danau Bodensee, Jerman. Aku masuk toko buku Thalia dan mencari novelnya Felix. Sudah menjadi impian setiap penulis, bahwa bisa melihat karya sendiri berada di toko buku adalah menggembirakan. Lebih-lebih di toko buku di luar negeri, tentu memakai bahasa asing.
Pada rak buku sastra aku cari dan tak kutemukan. Setelah beberapa kali kucari, maka aku bertanya kepada petugas perempuan. Tak perlu waktu lama baginya untuk menemukan. Kesempatan itu aku foto untuk oleh-oleh pembaca di tanah air, guna melengkapi tulisan ini sebagai penutup.
Beginilah novel pengarang Indonesia mejeng di toko buku di Eropa. Terus, terang toko buku di Eropa sini berjibun karya-karya dari seluruh dunia. Kompetisinya sangat ketat. Kadang aku tersenyum sendiri, kalau ada orang kita bermimpikan mendapatkan nobel sastra, sementara karyanya tak ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing, alih-alih dipajang di rak toko buku Eropa. Dalam bahasa apa, kelak panitia nobel membaca karya si pemimpi itu? Bukankah Pak Nobel, Wong Swedia.
Karya-karya sastrawan kita seperti Pramoedya, Umar Kayam, Romo Mangun, Rendra pun tak pernah kulihat mejeng di toko buku, walau karya mereka sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Karya mereka bisa dipesan tentunya, namun harus memesan di toko buku. Tapi kalau mejeng di rak buku langsung? Tidak ada. Pengalamanku hanya dua kali aku memergoki novel pengarang kita yang mejeng di rak toko buku sini. Pertama, Schönheit ist eine Wunde (Cantik itu Luka) karya Eka Kurniawan dan kedua, novel Felik ini Die Leute von Oetimu (Orang-Orang Oetimu). Kabarnya novel Felix ini akan segera terbit dalam terjemahan bahasa Inggris.
Novel Felix ini aku beli di toko buku dengan harga 25 Euro (Sekitar Rp417.500).***
Zug, 19 November 2024
BIODATA
Sigit Susanto lahir di Kendal, 21 Juni 1963. Karya-karyanya antara lain Sosialisme di Kuba (2004), Pegadaian (novel; 2004), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia 1 (2005), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia II (2008), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia III (2012), Kesetrum Cinta (2016), Jejak-Jejak yang Tertinggal (puisi, 2023), Si Bolang dari Baon (novel, 2024). Ia juga menerjemahkan beberapa karya sastra dari bahasa Jerman ke bahasa Indonesia, seperti: Proses karya Franz Kafka (2016), Surat untuk Ayah karya Franz Kafka (2016), Metamorfosis karya Franz Kafka (2018), Percakapan dengan Kafka karya Gustav Janouch (2018), Novelet Catur karya Stefan Zweig dalam proses penerbitan). Ia menetap di Swiss.