Ilustrasi: Wayan Jengki Sunarta
Menguburkan Darahku
pohon-pohon meneleponku, senja itu
telah mereka kubur darahku yang lugu
langit tak marah seperti kecemasanku
angin tak menangis serupa keibaanku
peristiwa bertanya, di manakah pusara darah itu
namun aku tak bisa menjawabnya dengan haru
aku ingin pohon-pohon mengirim daun untuk menjawabnya
agar dapat menugasi pohon-pohon lain
menguburkan dosa-dosaku
tiba-tiba ruh bumi yang lapar melamar pohonku
agar bersama-sama menguburkan Tuhan
tapi pohon-pohon tak pernah lagi bertamu
mereka menguburkan benih-benihnya sendiri
dalam pusaraku
Kabar dari Kubur
kukabarkan padamu, bulan yang meledak itu telah kubunuh
menjaga mayat yang kesepian
lidahku tak lagi bosan menunggu pagi
karena matahari memberiku puisi
jika aku bangun dengan kau tak di sisi
akan kubakar langit dalam paru
lalu merangkak menuju pantai
mencatat kesabaran burung-burung mencapai jejakmu
di sana kau dan Tuhan berpencar
sembunyi dari diriku yang kering
oleh musim-musim asing
Sawah dalam Tidurku
waktu aku pergi menjelajah tidurku
melihat langit, apakah masih di sana
hanya gedung-gedung berisi candu
tempat orang-orang mengaku manusia
langit yang kurindu adalah sawah
dalam diri yang dulu pernah ada
tempat serbuk embun memenuhi udara
dan burung-burung tamasya
kini kalau aku bangun dari segala
sawah memukulkan marah dan luka
membuatku tak mampu melawan pandang matanya
yang berulat mengapi membara
waktu aku pergi dari tidurku
ingin istirahat dalam dada
cuma candu di sana
dan seorang mengaku manusia
Hujan yang Tersangkut di Telinga
nada riuh dalam dada mengikatkanku pada jala
hujan yang menebar di telinga
mengail kepala beku
tergerus waktu
menawar asin asing itu
padahal sedang kubangun jembatan
tempat istirah dari kesibukan dan kesepian
menanti awan wangi berpelangi menyanyikan perempuan
memukul roh-roh pengganggu yang biasa menunggang
adalah gunung-gunung dan bukit-bukit, tempat airmata tumpah
mengalir menggantikan hujan
pada suatu senja
tersesat tumbuh
mengeruh di bulu mata
Pada Langkahku
di pasir lama, kubayangkan kau tak lagi mendayung sampan
sembunyi di bilik zaman, menyusun mata jadi kaca
pecah di bangkai paru
mengeja gagap tiba-tiba
kau bersikukuh, hendak pergi mengiris langkah
tersaruk di semak peta buta
menduga-duga riwayat kenangan kadaluarsa
seperti meminum arak di selokan air mata
kini anggap saja semua waktu adalah mimpi
tertanam di rusuk silam
aku pun semakin paham, betapa angin adalah bebatuan
menjalari genting kalbu
seperti luka yang tak hendak menepi
meski untuk sekadar bertamu pada keriangan
dan awan hitam yang tak jua mengering
semakin kalap menyuburkan kepedihan
Gunung yang Tertawa
tak ada yang tahu, setiap hari aku ditertawakan
gunung yang tinggi
awan putih yang lewat diam-diam
pernah mendengar suara tawa itu
suatu pagi mataku tak dapat memandang
hanya mendengar suara tawa
yang lebih menggelegar
aku tak butuh tahu pemilik tawa itu
hanya ingin sembunyi
dalam diri sendiri
lalu tertawa sepuasnya
membangun gunung lebih tinggi
namun awan-awan putih tak mampu menyimak
suara kesedihanku
selain sunyi
BIODATA
Mohammad Isa Gautama, kelahiran 1976 di Padang. Mengajar di Universitas Negeri Padang. Mulai serius menulis puisi sejak mendapat anugerah 10 penulis puisi terbaik pada lomba menulis puisi se-Indonesia untuk tingkat SMTA/sederajat, 1994 yang diadakan Teater Kene, Bali. Tiga kumpulan puisinya yang sudah terbit: Jalan Menangis Menuju Surga (Basabasi, 2018), Bunga yang Bersemi kala Aku Sunyi (Bitread, 2019), dan Syair Cinta tanpa Kopi (Hyang Pustaka, 2022). Emerging Writer pada ajang UWRF, Ubud, 2017, dan BWCF, Magelang, 2018. Dapat disapa di [email protected], dan IG: @migatama.