Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

Puisi-Puisi Mohammad Isa Gautama

Ilustrasi: Wayan Jengki Sunarta

 

Nyanyian Batu

dengan apa kulewati, batu dalam diri
matahari tetap itu juga, datang di subuh
yang membuatku kedinginan
takdir menggertak untuk tak memberontak
cahaya tak diabadikan awan

dalam mimpi, kubangun lagi sepasang kaki
aku tahu akan berjalan panjang
pegunungan yang tiba-tiba mendesak
langkahku mengukur ketegaran
berapa jam kutulis buku
tentang laut yang kesepian

lalu cuaca mengganti kepala
hanyut dibawa sungai yang mengalir di jiwa
kita bergegas mengenakan airmata
agar tak kunjung sia-sia

tapi beginilah jadinya, rinduku
anak-anak mengaji jauh di dasar kalbu
hujan mengapur dinding pertanyaan
tak sepenuhnya usai menghibur dayung kesunyian
aku pun tak mampu bernyanyi
di sungai yang selalu
mengalir mencapai malam

 

Mencintai Tanah

gerimis menderu mengambil darah
perjalanan tawar menawar dengan musim
mengantar jiwa jadi si kepingin
biar daging berenang ke laut
setelah singgah menunaikan hidup

awan menebal, menghujankan duka paru
dalam kasur kutemui banyak mimpi
yang pernah kuhantukkan kepala padanya
kini mereka berkelana ke pabrik-pabrik cuaca
tempat kecewa dicipta

gerimis menderukan ketakpastian, bersarang di mata
aku tahu, segalanya menuju ketenangan
akan banyak yang sia-sia, jika kucintai tanah sepenuhnya
meski arak yang tumbuh di lubuk waktu
terminum dalam kesunyian

tanah menyembilu, rasa sayang terpupuk
suasana bumi dilembabkan hujan, kejadian alam
yang sering membuat pandanganku
tentang hidup dan banyak binatang
membusuk

 

Kutangkap Maut (3)

semakin terasa, mataMu menyuruhku ikut serta
meramaikan taman gelap di bawah sana
Kau pun berkata: kesunyiannya tak sama dengan telaga
penuh lumpur yang kini kureguk
aku pun Kau janjikan tak akan menemu penghukum
yang mudah terpuruk

semakin terasa, sedikit-sebukit darahku menjadi tinta
untuk sebaris nama yang terluka
pemimpi cinta yang pernah merindukan bulan
sekadar menghias ruangan
tanpa cermin dan tempat pembuangan

semakin nyata, tabung airmata memenuh tak sengaja
aku pun mulai bosan mengisinya
mengukur kesetiaan yang memendam racun
menggenapkan hari-hari bebalku

semakin tercium, wangi neraka
tumbuh di rahim sendiri
meski aku tak tahu gelagatnya
namun Kau bilang ia selalu merengek
bertanya tak sabar
pada jarum jam tak bermerek

 

Pada Matamu

para pembakar merenggut kota di dada
menyisakan aku dan kamu, menghitung kesenyapan cahaya
matahari mengambang mengibaskan kesunyian
menggenapkan waktu yang rasan

pekerjaan kita menyiram saja
setiap malam bermimpi memetik buah itu
menjajakannya di taman kota
tak ada pembeli setia
kecuali tatapan angin
pada senyum yang luka

setelah menyaksikan adegan-adegan yang bermuara di selokan
selalu kita catat di buku harian
rentetan semak belukar yang semakin gundul oleh pembakar
pada mata kita nyanyikan kesabaran
yang kadang datang kadang meradang
namun sebenarnya bukan yang kita tuju
sebab kita sering bertengkar dengan kita punya mau
kemudian jadi makhluk paling tak tahu
mendiamkan pertanyaan lugu

sudah lama aku berumah di keningmu
merasa dekat dengan pemberhentian yang kau igaukan
namun gerakmu menawarkan banyak bengkalaian
membuatku ragu
mencapai cahaya liar matamu

 

Memikirkan Tuhan, Saat Mati

angin telah lama merunduk
melempangkan jalan bagi Tuhan untuk
menampar banyak dosa yang terpupuk

aku terpikir Tuhan, saat mati
wajahNya yang indah mengalahkan segala
aku jadi bertanya, apakah maut sesungguhnya
adakah hidup
adalah tanda tanya

aku berlari mengejar waktu yang risau
dalam hatiku menggelepar suara parau
seolah Tuhan bersarang di situ
menggantikan keteduhan awan
pada sebuah hujan yang lekang

angin telah lama sibuk
menghantarkan ruh-ruh luka
Tuhan tak henti membuka pintu
bagi jiwa yang rindu sesuara

=============================

BIODATA

Mohammad Isa Gautama, kelahiran 1976 di Padang. Mengajar di Universitas Negeri Padang. Mulai serius menulis puisi sejak mendapat anugerah 10 penulis puisi terbaik pada lomba menulis puisi se-Indonesia untuk tingkat SMTA/sederajat, 1994 yang diadakan Teater Kene, Bali. Tiga kumpulan puisinya yang sudah terbit: Jalan Menangis Menuju Surga (Basabasi, 2018), Bunga yang Bersemi kala Aku Sunyi (Bitread, 2019), dan Syair Cinta tanpa Kopi (Hyang Pustaka, 2022). Emerging Writer pada ajang UWRF, Ubud, 2017, dan BWCF, Magelang, 2018. Dapat disapa di [email protected], dan IG: @migatama.

Wayan Jengki Sunarta, lahir di Denpasar, Bali, 22 Juni 1975. Selain dikenal sebagai sastrawan, ia juga gemar melukis. Pameran seni rupa yang pernah diikutinya, antara lain Pameran Bersama SahabART di Rumah Seni Paros, Sukawati, Gianyar, Bali (2020), pameran Silang Sengkarut di Dalam Rumah Art Station, Denpasar (2022), Rajah Rasa di Teba Kangin Artspace, Tabanan (2022).

—————————————-
Rubrik Sastra “Bali Politika” menerima sumbangan tulisan berupa puisi (minimal 5 buah), cerpen, esai/artikel sastra, dan resensi buku sastra. Tulisan disertai biodata (maksimal 10 baris) dikirim ke email [email protected]. Tulisan yang lolos seleksi akan dimuat secara bergiliran setiap hari Rabu dan Sabtu. Untuk sementara, “Bali Politika” belum bisa memberikan honor kepada para penulis yang karyanya dimuat. Namun sebagai apresiasi, khusus untuk puisi, “Bali Politika” berencana menerbitkan puisi-puisi terbaik dalam sebuah antologi puisi setiap tahunnya. Terima kasih.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!