Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

Puisi-Puisi Jang Sukmanbrata

Ilustrasi: Gede Gunada

 

POHON SAHABAT ALAMKU

1.Akulah Pohon Di Celoteh Malam

celoteh malam dalam bingkai kebosanan beralih pelan
di luar demo orang-
orang tanpa kepala:
Sudah lama tercuci otak sejak di sekolah
Bayangan wajah orang tua pun seperti anjing hutan di kebun sawit yang terbakar:
Tapi hukum masyarakat adat enggan pisah, beterbangan di puncak pohonan,
sebagian pakemnya meresap ke tanah dan sesekali jadi emas di bawah daunan kering,
kilauannya menyapa peladang tua:
Mungkin tak seberapa nilai kesetiaan pada alam,
namun tak ada bekasnya,
selalu memberi pencerahan

akulah pohon di halaman sekolah,
tempat bernaung, dan belajar membaca
segala yang tertulis, dan tergambar
Mungkin semua harapan pasangannya dambaan masa remaja:
Habis cuaca dingin, datang kehangatan
Ya, tak boleh disia-siakan selama hidup satu rasa manusia:
Selamat mencari sajak pengucapan baru
sebelum tinta listrik heng membiru.

2.Akulah Pohon Juga Burung Di Celoteh Pagi Dini

biarkan ia sendiri masuk angin!
Itu angin ratu lembah kemarin,
meniup-niup daun bunga melati:
sampai pun gugur, jangan tangisi,
keluar masuk halaman hati,
menegur lembut bulu hidung
menyatukan kasih sayang di deru,
tak layak selagi benci bersekutu
Tebang! Tebang habis!
Kehilangan diri engkau ini!

Akulah pohon di depan rumah,
setiap pagi akar tuanya rajin berlari,
malamnya menyerap cahaya bulan
Ya, akulah pohon di celoteh malam:
Menunggu ranting baru bawa kisah
Belajar dari tetesan air hujan:
meski sering alpa, kebaikan itu raja
Melayaninya pun panglima:
Nista tak bernyawa hadapan cinta
Menolehlah pada rajutan sejarah!
Bahwa saatnya ditanya jejak siapa;
kita telanjang di sela batuan sungai menunggu mega
mendung berarak:
Mendekat itu terjal,
menjauh hijau indah, canopi megah

Akulah pohon di puncak gunung
Rindu tiba – menyebut ribuan nama kampung:
Leluhurku patah satu tumbuh seribu
Esa hilang, bayangan durja dimatikan:
Engkau tujuanku di antara jebakan, ya Tuan

Akulah pohon diliput humus
Kala bersama burung, akulah Simurg,
“Terpana ya Anda depan Raja Sinar?”
( diam, dijahit sepi; jadi pohon kembali di celotehan pagi )

 

PUISI NASIHAT KIAYI PETANI
: terkenang Mang Kiayi Fuad Affandi*

Di Desa Alam Indah, tanahnya perawan subur
Sumber mata air di lekuk-lekuknya gunung
Hati petaninya basah berhara – berhumus,
setiap tanam benih – burung berkerumun
Tiada tanah gambrung,
semua penuh sayur
Kebunnya bikin malu penganggur
Sebelum kembali ke kampung,
sang ajar kiayi petani bertutur:
Hiduplah layaknya pohon aren:
akarnya obat, batangnya pegangan kampak,
lunglumnya untuk genewesih,
acinya diolah manusia,
airnya diminum, penghapus dahaga
kolang kalingnya kaya serat;
juga surat sukacita –
penyempurna sirup di bulan puasa; teguk bahagia
Lidinya untuk sapu, seiya sekata bersatu

Jangan hidup serupa macan tutul, membuat takut, hasratnya terburu-buru
Janganlah hidup seperti maung,
ketika bangun suka menakut-nakuti,
tak bisa bajak sawah, tapi ingin disegani,
tak bisa bikin pupuk, takdirnya ya kering bau badannya melekat di dahan-ranting, semua hutan dan sepi sudah mengerti, dagingnya pun tak ada yang mau ngambil

Bicaralah seperti Dayang Sumbi pada sunyi,
pada air bening cermin dirinya,
kolam dekat di sini
Sedih?
Ah angin bernyanyi di tengah riuh air terjun
Kemarilah hai santri petani!
Ingat besok tentu mati
Di bumi juga di langit kita bertemu;
kebun dicipta dari uban perjuangan lagi menunggu.

*Kiayi Fuad Affandi seorang pendiri pesantren berbasis pertanian Al-Ittifaq Desa Alam Endah Ciwidey, Kab. Bandung, yang termasuk paling berhasil dan dapat menghidupi santri dan murid yang terdiri dari para petani muda.
_________________

 

POLITIKUS MUSIMAN

Mendengar omongan politikus kini,
tak begitu penting, jauh dari genting,
yang di pagi dini gerak hidupnya itu beruang,
siang ke sore harinya adalah kucing liar,
di senja ke ujung malamnya jadi ular batu.
Cemburu menggantung
di rakyat gunung

Membaca kalimat politikus kera loncat,
tak perlu pikiran seukuran sawah – kolam,
batasannya untung petani sayur bayam,
ia hidup di kecambah, layu di kebosanan,
cerita pun tak berguna, puisi tiada makna
ketangkasannya dari kedunguan busuk.
Nafsu dan nikmat palsu di ujung hidung

Melihat mata politikus,
tikus-tikus mengintai di sudut,
menunggu gelap,
lah, para pengecut mengkerut.
“Jangan sepikan aku di dinding balaikota pusat perselingkuhan dan korupsi.
Muara buaya di gedungnya.
Hai, dengar ya, kuingin dikubur di desa. Jiwaku meronta dibawa ke kerajaan siluman”,
suaranya diterbangkan angin malam,
susah diterjemahkan dian. Oh kelam

 

PADA AKHIRNYA SENDIRIAN

Mencari cinta?
Cinta bukan pencarian,
cinta itu penggalian yang dalam;
Tanah sumur yang dikeruk dengan harapan,
sumber mata air kita
Diberikan jadi melimpah,
berbagi jadi bermakna
Gugusan bintang, bulan sepanjang jalan,
menemani penggalian di riakan cahaya.
Mentari di matanya terasa hangat
Di sela payudara namaku bukan Arjuna
di bayangan wayang – pemenangnya Semiaji perwujudan keadilan.
Mendaki Himalaya disertai anjing Yama,
saudara empatnya dan istrinya lemas, mati tanpa tangisan, tanpa pemandian.

Kabut dan awan
Sendirian berjalan
Rumah benderang

Kita merasa di setiap ketiak masa,
penyair seperti laron di kegelapan
memeluk cahaya – mendermakan cinta
Hooopla! kuhadiahkan seribu ciuman
pada seribu wanita yang tersesat,
pada sejuta remaja gagap di masa depan
Selamat menempuh tahun cobaan,
yang pohon-pohonan banyak tumbang,
Tinggal ikatkan dengan tali Tuhan.

 

BIODATA

Jang Sukmanbrata lahir di Bandung, 17 Agustus 1964. Puisi-puisinya tersebar di media cetak dan online, antara lain Harian Berita Nasional, Masa Kini, Tabloid Eksponen, Pos Bali, Pikiran Rakyat, Bali Politika, dll. Puisinya juga terangkum dalam antologi bersama, seperti antologi puisi Penyair Muda Bandung (1982), Negeri Pesisiran (2019), Negeri Rantau (2020).

Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama. Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!