Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

PUISI-PUISI YULIANI KUMUDASWARI

Ilustrasi: Gede Gunada

 

BENTENG YANG KUBANGUN

Katakan saja, bagaimana serakan kata-kata ini membuatmu gusar.
Tidak seperti udara yang terus saja memuai,
ikhtisar itu bisa kau simak walau pustakaku jauh dari bernas,
bahkan terlalu tawar untuk bersemayam dalam kelaikanmu.

Maka seibarat senja
yang terus saja menghiasi langitmu,
anggap saja kata-kata ini adalah diriku yang pecah,
menjadi yang kau sebut : sesuatu

Lalu kubangun sebuah benteng

Benteng bernama kesunyian,
terus menerus meumbuhkan dinding, mengungkung senyap,
menara-menaranya di utara dan selatan mengibarkan panji
tentang keangkuhan sebuah diam, namun kota-kota di jantungnya
berderak runtuh
satu- satu dalam senyap

Tak kan kau tangkap bunyi pun suara, sebab kata-kata
Telah menjelma batu-batu yang terserak terkikis waktu
telah terlanjur jauh, telah terlanjur menyulur jalan jalan setapak,
mengitari kesunyian yang terus membenteng

Bahasa sunyi,
adalah kekariban yang guyup, jarak di antara engkau dan aku
yang senantiasa bebal, tak mengerti
dan sibuk mengurai senyap menjadi keriuhan yang simpang siur
tak mau diam
menjadikan sunyi tak lebih semata pertentangan batin
membunuh bayangan kita masing-masing

Jadilah kesatria,
tanpa kau hunuskan pedang kata-kata

Yogyakarta, 2023

 

DI KAKI GUNUNG

mereka
hanyalah sepasang remaja
duduk tak bergerak
memandang dalam diam
: udara dingin
cangkir kopi
balkon kayu
pucuk pakis
dan hilangnya matahari di ufuk
yang dengan lucu
tenggelam di balik dua kepala
sepasang remaja yang diam

kuhardik sepenuh sungguh
rutuk dan kecamuk masygul
yang terhunus serupa onak
dalam hati bara
hush, mengapa hatimu gundah?
biarkan yang tersisa
: cahaya sebelum gelap itu
biarlah hilang di balik kepala
sepasang remaja diam

masih kumiliki
secangkir kopi
dingin

Yogyakarta, 2023

 

MERAPUH

kupikir rindu tenggelam di secangkir kopi
entah ingatan mana yang lebih dahulu meluncur turun
bayanganmu yang ampas, atau bisik sunyimu yang naik membuih
dalam aroma yang menguar, di benak

dan tahukah kau,
kecemburuan hanyalah keahlian mengubah hujan menjadi perih yang bertubi tubi
“mengapa kita senantiasa tersulut?”
kau diam, aku diam
dan hujan adalah perih yang cemburu

tidak ada waktu yang menunggu, yang ada tiap detik berlalu tanpa beban tentang apa yang diambil dan ditinggalkan

berapa banyak lilin yang harus tersulut demi membuka rahang gelap yang melahap semua kerlap?
namun tak perlu kata kata
bisik hampamu cukup mendentumkan sunyi yang sesak

(sesaat itu seakan kau melubangi dadaku dan menikamnya dengan segala kegembiraan atas senyap)

Yogyakarta, 2023

 

JIKA

jika, gamang menyergapmu di jalan beronak duri
biarkan imaji menenangkan diri
percik air, debur ombak, jukung tua yang berayun
aroma laut, bisik buih dan nyanyian camar
atau barangkali baik kita pilih
padang ilalang, berbunga biru dan lila
sepotong bangku kayu sewarna awan
tempat kita menikmati cahaya terakhir
sebelum gelap turun di hari itu

jika, entah kapan lengkung pelangi muncul
gerimis dan arsiran kelabu begitu karib
serakan daun dan aroma lembab tanah basah
menjadi nemesis bagi segala keriangan itu
sepertinya baik bagiku pun engkau
belajar mencintai irama hujan
sebagai sebuah nyanyian sunyi
yang kelak kita kenang bagi mawas diri

jika, entah kapan cahaya ini meredup lalu hilang
tidakkah baik menepikan sehelai senja?
nyanyian lembayung, dan hati nan lapang
sebab telah kita nikmati cahaya pertama pagi buta
yang memberi semangat teduh itu
maka baik kita berlapang hati ketika senja meredup
bagi sebiji sesawi harap yang tumbuh
esok datang dalam hari baik di bawah
cahaya teduh yang sama
lalu kita saling mengenang
tanpa bayang dan gamang

: sebab jika hari sepahit kopi
barangkali baik kita seduh saja
dan mulai menyesapnya perlahan
sebagai sesuatu yang kita nikmati

Semarang, 2022

 

BIODATA

Yuliani Kumudaswari, lahir di Bandung. Ia tinggal di Yogyakarta bersama suami, dua orang putri dan tiga ekor kucing. Ia telah menulis delapan antologi tunggal dan tergabung dalam sejumlah antologi bersama. Antologi puisi tunggal terbarunya Tunjung Hati (Tonggak Pustaka, Yogya 2023), antologi cerpennya Gadis dalam Mural (Teras Budaya, Jakarta 2023).

Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama. Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!