Ilustrasi: Gede Gunada
BENTENG YANG KUBANGUN
Katakan saja, bagaimana serakan kata-kata ini membuatmu gusar.
Tidak seperti udara yang terus saja memuai,
ikhtisar itu bisa kau simak walau pustakaku jauh dari bernas,
bahkan terlalu tawar untuk bersemayam dalam kelaikanmu.
Maka seibarat senja
yang terus saja menghiasi langitmu,
anggap saja kata-kata ini adalah diriku yang pecah,
menjadi yang kau sebut : sesuatu
Lalu kubangun sebuah benteng
Benteng bernama kesunyian,
terus menerus meumbuhkan dinding, mengungkung senyap,
menara-menaranya di utara dan selatan mengibarkan panji
tentang keangkuhan sebuah diam, namun kota-kota di jantungnya
berderak runtuh
satu- satu dalam senyap
Tak kan kau tangkap bunyi pun suara, sebab kata-kata
Telah menjelma batu-batu yang terserak terkikis waktu
telah terlanjur jauh, telah terlanjur menyulur jalan jalan setapak,
mengitari kesunyian yang terus membenteng
Bahasa sunyi,
adalah kekariban yang guyup, jarak di antara engkau dan aku
yang senantiasa bebal, tak mengerti
dan sibuk mengurai senyap menjadi keriuhan yang simpang siur
tak mau diam
menjadikan sunyi tak lebih semata pertentangan batin
membunuh bayangan kita masing-masing
Jadilah kesatria,
tanpa kau hunuskan pedang kata-kata
Yogyakarta, 2023
DI KAKI GUNUNG
mereka
hanyalah sepasang remaja
duduk tak bergerak
memandang dalam diam
: udara dingin
cangkir kopi
balkon kayu
pucuk pakis
dan hilangnya matahari di ufuk
yang dengan lucu
tenggelam di balik dua kepala
sepasang remaja yang diam
kuhardik sepenuh sungguh
rutuk dan kecamuk masygul
yang terhunus serupa onak
dalam hati bara
hush, mengapa hatimu gundah?
biarkan yang tersisa
: cahaya sebelum gelap itu
biarlah hilang di balik kepala
sepasang remaja diam
masih kumiliki
secangkir kopi
dingin
Yogyakarta, 2023
MERAPUH
kupikir rindu tenggelam di secangkir kopi
entah ingatan mana yang lebih dahulu meluncur turun
bayanganmu yang ampas, atau bisik sunyimu yang naik membuih
dalam aroma yang menguar, di benak
dan tahukah kau,
kecemburuan hanyalah keahlian mengubah hujan menjadi perih yang bertubi tubi
“mengapa kita senantiasa tersulut?”
kau diam, aku diam
dan hujan adalah perih yang cemburu
tidak ada waktu yang menunggu, yang ada tiap detik berlalu tanpa beban tentang apa yang diambil dan ditinggalkan
berapa banyak lilin yang harus tersulut demi membuka rahang gelap yang melahap semua kerlap?
namun tak perlu kata kata
bisik hampamu cukup mendentumkan sunyi yang sesak
(sesaat itu seakan kau melubangi dadaku dan menikamnya dengan segala kegembiraan atas senyap)
Yogyakarta, 2023
JIKA
jika, gamang menyergapmu di jalan beronak duri
biarkan imaji menenangkan diri
percik air, debur ombak, jukung tua yang berayun
aroma laut, bisik buih dan nyanyian camar
atau barangkali baik kita pilih
padang ilalang, berbunga biru dan lila
sepotong bangku kayu sewarna awan
tempat kita menikmati cahaya terakhir
sebelum gelap turun di hari itu
jika, entah kapan lengkung pelangi muncul
gerimis dan arsiran kelabu begitu karib
serakan daun dan aroma lembab tanah basah
menjadi nemesis bagi segala keriangan itu
sepertinya baik bagiku pun engkau
belajar mencintai irama hujan
sebagai sebuah nyanyian sunyi
yang kelak kita kenang bagi mawas diri
jika, entah kapan cahaya ini meredup lalu hilang
tidakkah baik menepikan sehelai senja?
nyanyian lembayung, dan hati nan lapang
sebab telah kita nikmati cahaya pertama pagi buta
yang memberi semangat teduh itu
maka baik kita berlapang hati ketika senja meredup
bagi sebiji sesawi harap yang tumbuh
esok datang dalam hari baik di bawah
cahaya teduh yang sama
lalu kita saling mengenang
tanpa bayang dan gamang
: sebab jika hari sepahit kopi
barangkali baik kita seduh saja
dan mulai menyesapnya perlahan
sebagai sesuatu yang kita nikmati
Semarang, 2022
BIODATA
Yuliani Kumudaswari, lahir di Bandung. Ia tinggal di Yogyakarta bersama suami, dua orang putri dan tiga ekor kucing. Ia telah menulis delapan antologi tunggal dan tergabung dalam sejumlah antologi bersama. Antologi puisi tunggal terbarunya Tunjung Hati (Tonggak Pustaka, Yogya 2023), antologi cerpennya Gadis dalam Mural (Teras Budaya, Jakarta 2023).
Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama. Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.