Ilustrasi Saka Rosanta
Tiga kredo di Punggung Emak
kupaku kain emak
dipunggung kalender tua
menyibak semesta
di antara tiga kredo
tersulam lingkaran matamu
pertama, kau harus tahu
dunia dan butiran hujan
akan melarutkan doa
di sepanjang syair
di pematang tubuh penyair
kedua, kain emak
seperti bianglala
dari warisan leluhur
tak pernah tersungkur
dalam dengkurmu
ketiga, di punggung emak
tak pernah letih
mentakwil hakikat hidup
secuil mahkota Tuhan
pada tubuhku- batu
Yogyakarta, 2021
Wangsit di Sumur Tetangga
Sebelum nenek meninggal, cungkup makam
pengantin-aroma pekat sumur berlumut.
Sebelum aroma menguar di menenun magrib: kali ini
ada dua kemungkinan, di antara
sobekan kertas tersirat, dan wangsit nenek moyang
menyoal pertanyaan berkelana dalam kepala.
Di sumur ini, tak ada satu pun.
Tangan orang-orang menyentuh lereng temba
telah ditepikan: terlarut sunyi
kidung angin dan bulan disenyapkan
Pertama, semacam pepatah orang dahulu:
lebih baik buang nasi satu piring
ketimbang buang air satu gelas
seperti bilah kisah anak desa
sumur-sumur tetangga- Tatkala satu
kehidupan dalam hati kerontang
Kedua, wangsit yang kemudian mencipta riwayat
para penimba air meruwat- di masa penjajahan
Majapahit, dan sayap camar kelindan
di tebing bambu tak berakar
maka dari itu, wangsit di sumur tetangga
adalah menyoal waktu orang-orang
serakah, jika kemungkinan hanya
sebatas permainan dunia.
Yogyakarta, 2022
Etos Hati
Sebagai perempuan
kau tak perlu mencari kegelapan
tempatku menabur cerita
di antara tanah Tuhan
yang hilang
bila cinta
dan bahagiamu tertunda
tak perlu lagi kau
simpan empat permata
di tubuhku.
bila secuil debu menempel
di pundakku
jangan kau tepuk dari belakang
tetapi tepuklah
kedua pipimu
yang memulihkan dunia
tempat hatimu bekerja.
di hatimu, ada aroma dupa
yang lebih bau
dari tubuhmu-air mata
tak perlu lagi kucium
seperti kaki ibu
yang lebih surga
dari selembar surat darimu.
segalanya yang tercipta
tempat bahagia
di atas doa-doa.
bagai tanggal tujuh
yang tidak kutemukan
jalan Tuhan membuka
pintu hatimu
yang terakhir kalinya.
Yogyakarta, 2021
Ilustrasi Waktu
Tidaklah kau bertanya, bagaimana angka-angka itu bekerja. Sabitanya kilat cahaya, waktu mulai runduk di kepala. Tetapi, ada yang mengatakan angka itu: takdir kematian yang tertunda. Di pundak yang kekar menanggung nasibnya sendiri- ini bayangan gaib dikendarai malaikat, menyoal kematian di angka yang lain, kau tak perlu menanyakan kembali pada waktu yang memikul beban, Kau harus hati-hati! hendaknya kesedihan lapuk terapung di dada, sudah selayaknya kau memaknai kehidupan. Sebab dunia ini seperti tulang rusuk waktu, terkadang takdir jarum, menempatkannya pada luka, di sisi lain majal di ceruk luka itu sendiri.
Yogyakarta, 2021
Cawang Perjalanan
Sepanjang lorong Malioboro yang tergolong cadas
bagi orang tak pernah pulang, sebelum mereka benar-benar
merasakan aroma asap. Terbuat dari rindu dan
kenangan, bahkan angkringan seolah ditakdirkan
menjadi tempat mereka meramu puing-puing
bagi cacing pita yang tak pernah alpa musnahkan
seluruh benda duniawi dan mencabuli kelaparan.
Dan di kota ini penuh robekan waktu yang tak
mungkin mereka rasakan dan melampiaskan pada Tuhan-Nya
bagaimana tidak! banyak orang tidak tahu cara menghibur-Nya
mereka hanya mengeluh dan melenggut seperti dalam dongeng
yang menunggu pembaca. Bahkan di sepanjang lorong ini
mereka seakan tersesat pada masa penjajahan Belanda.
Kalideres, 2022
BIODATA
Ruhan Wahyudi, penulis sekarang tinggal di Yogyakarta, menulis berupa puisi, cerpen dan esai. Aktif di Lesehan Sastra Kutub, dan buku puisinya Menjalari Tubuhmu di Pundak Waktu (2019). Bisa dihubungi melalui email [email protected].