Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

Puisi-Puisi Tjahjono Widijanto

Ilustrasi: Handy Saputra

 

GANDRING

Kupahat kutuk di bilah karatan ini
mantram-mantram yang ditanam
dalam pamor walang sinuduk
dengan genggam hulu kayu cangkring
kutuk yang dihanyutkan air kali
menjelajahi waktu demi waktu

Kupahat serapah di lancip besi
bersama mantram aji-aji
serupa rajah di lancip besi
aku menitipkan masa depan
mengabadi dalam jejak
dapat dibaca sembari minum kopi
betapa para pemburu dilahirkan di tanah ini
syajarah selalu roboh oleh kapak para penebang
yang mengendap-endap di balik bayang-bayang

Kupahat kutuk di lancip dingin ini
disediakan bagi para petualang
yang tak pernah mau layu
dalam genggam waktu
membiarkan ruh-ruh bergemuruh
menyambut siapa saja yang pergi
mengabadi dalam kutuk yang beku

 

GERIMIS DI LEMBAH TRINIL
*Dubouis

/1/

“Sejarah apa lagi yang kau lipat dalam saku kemejamu?”

Kubayangkan di antara desau silir angin menerpa pepohonan
Sebuah jagat terbentang dalam tatapan lensa tua dan segerobak kitab-kitab lama
Perjalanan dari dunia antah berantah dalam labirin yang tergembok dalam pintu berkarat
Kisah-kisah musykil yang dulu hanya dapat dibayangkan oleh benak para satriya
Seperti Columbus yang berjingkrak-jingkrak menemu benua tua
Bagai pangeran membebaskan putri dari kutuk para penyihir

Dalam gerimis pada ceruk-ceruk lembahmu
Kubayangkan siluet masa lalu mengendap-endap
Serupa bayangan raksasa kastil purba atau secungkup candi
Rahasia-rahasia waktu yang demikian rapi menyembunyikan diri
Di dalamnya tiba-tiba ditemukan kembali wajah-wajah sendiri
Beku ditelan waktu bersama tekstur buram suratan rajah nasib
Tempat dimana kita diharuskan setia melacak kembali sisa perjalanan
Sebelum sampai di persinggahan terakhir
Tempat menemukan kembali dunia yang lain lagi.

/2/

Sebatang rumput menyendiri berbasah-basah di antara runcing belukar
Waktu seperti jembatan batu menggigil dalam sepi yang mengguruh
Apa yang dapat dicatat dalam perjumpaan ini?
Selain merah warna mawar lengkap dengan runcing duri-duri
Mengendap di kulit ari,pedihnya membawa kita mengembara
Menelusuri masa lalu di mana kita sama memuja tajam belati

Dalam pertemuan sore ini tak ada yang tersisa
Selain secarik sejarah dalam kertas yang kumal
Air mata para bocah mengalir dalam gericik risau
kehilangan nama dan kubur bapa ibunya
Tak ada yang tersisa dalam perjumpaan sore ini
Selain wajah hutan, monumen yang muram oleh hujan dan kabut
Menggigil sendiri ditelan waktu.

Di tepian kali pada gigir batu-batu perkasa itu
Tak akan kau dengar kembali cerita-cerita perkasa
yang memaksa sejarah mesti belajar memaknai kembali kata api dan mesiu
Jagat terbungkuk-bungkuk menanggung beban riwayat yang tak larut
Di sisa senja lamat-lamat tembang megatruh

Merambati laci-laci hati tajamnya seribu belati menusuki pori-pori
Tak ada yang bisa dilakukan kecuali mentakzim sunyi
di muaranya kita bersua dalam jarak yang juga sepi tak bertepi

 

KAPAL KARAM DI PERAIRAN MALA

tak ada air mata yang tumpah untukmu
meski telah kau layari seribu badai bersama asap mesiu
anak-anak yang kau tinggal di matahari terbit
yang tak sempat melambaikan tangan
apalagi tabik perpisahan

kesendirian adalah milikmu
rintihan dan teriakan telah menjelma ombak menggelegak
camar-camar gagal mewartakan, tersesat di kerudung halimun
besi-besi membeku berubah menjadi sarang ikan
pintu-pintu berkarat menjelma batu karang dan lumutan
di dalamnya riwayatmu tergembok nyaris sempurna
lamat-lamat sesekali singgah di telinga pelaut dan nelayan

di Mala, di garis bujur Talaud
cerita gagah matahari terbitmu tenggelam
bersama riuh ombak, gagang rumput laut dan plankton-plankton
reruntuhan cerita kemegahan istana kaisar terkubur bersama
dongeng-dongeng para jagoan, kegagahan bushido dan harakiri

hari ini aku datang menyambangimu
memandang kapal menjelma karang
melihat angin melukis riak-riak air
sementara camar-camar mengepakkan sayap
mengincar ikan di sela-sela beku batumu
yang teronggok tenang di bening laut
seperti paus hitam menyelam dan terdampar
melebur runtuh menelan keangkuhanmu

“ini negeriku, bukan negerimu,
sempurnalah dalam asing sunyimu!”

 

JALAN-JALAN KE INTATA

di celah-celah rumah-rumah karang di dasar lautan
ikan-ikan berkejaran di rongga berlumut dan sulur rumput laut
aku serupa lumba-lumba mencari mawar laut
dalam bising speedboat dan arus ombak yang dingin
seperti pendosa yang nganga tersesat di gerbang-gerbang sorga

inilah paradise yang hilang, negeri yang terlupakan
di mana mawar-mawar laut menjulurkan kelopaknya
duri-durinya bertancapan dalam dada dan urat-urat nadi
nyerinya sampai beku di dasar jantung
aku menggigil kuyup dalam debur gelombang

bersama buih ombak yang di kirim dari kakarotan
menghikmati wangimu dan menyebut namamu: Intata! Intata!
aku kuyup dan gemetar serupa rongsokan besi kapal
yang karam perlahan-lahan dimakan garam lautan
gemetar meraba-raba, menciumi wangi tubuh dasar lautmu

di sini, di ujung speedboat bermotor satu
aku oleng mabuk wangi mawar lautmu
dirajam rindu dendam wajah sorgamu
dan dentam ombakmu menjelma gelombang puisi
berkobar-kobar membakar seluruh jantungku

 

SEJARAH KEMATIAN

orang-orang merunduk mencium bayang-bayang
menyalakan api membakar segala jadi kenangan
menanti kedatangan menjadi keberangkatan
terbang dalam sayap kupu-kupu yang ranum
melewati batas tanpa cedera oleh duka

 

LEMAH BANG

perjalanan telah menghadirkan di meja makan: sepotong doa, segumam mantram dan sesobek bendera yang kusam juga bedil bersanding sekuntum mawar lengkap dengan duri-durinya. wirid beserta talqin yang tak selesai-selesai mengirim hujan yang gemetaran sendiri melahap bulan yang miskram, santapan hari-harimu yang gelisah akan dendam rindu di sabana yang jauh, dan kau mengujinya lewat impian-impian yang membara: “perjalanan ini memang membutuhkan perkosaan-perkosaan!”

kegelisahan telah mewajibkan untuk belajar kembali dan menemukan kembali dunia yang hilang adalah keihlasan mengorbankan masa lalu, kau menggapai-gapainya! nikmati sekarat ini hingga ujung-ujungnya, sorga terakhir dari cinta yang mendekam di balik kelopak yang luka membiarkan perahumu berlayar sendiri hingga sampai pada muara-muara yang membara atau oase yang teduh lalu dengarlah angin berlagu di sela-sela daun kering yang terbakar sementara zaman telah menyimpannya dalam kemejanya yang lusuh.

jendela-jendela segera berkarat dan potretmu di dalamnya. debu berebut membaptisnya dengan gelinjang sempurna atas syahwat yang terbakar bersama impian-impian hari ini dan boleh kau dengar kembali bumi merekam ulang teriakanmu sendiri: “tuhan bicaralah padaku!”

 

BAYANG-BAYANG

tak ada yang meminta aku menari mengikutimu kujilat kau dalam tilasmu paling lamat sekalipun seperti gerimis yang tajam menggores pasir lalu mengering dalam hitungan detik
tak ada lagi rupa tapi jejak tetap lamat terbaca. aku menggeliat dalam bola matamu, membiarkan udara bergumam dan gerimis yang jatuh mendentangkan lagu gelisah yang lahir dari cakrawala yang jauh. detik-detik jam mulai merahasiakan luka gigitannya. segala kata-katamu bagai api yang bertaring dan aku termangu dalam rimbun senyap yang berjarak. kubayangkan sejumput kisah akan melumut di tengah udara malam yang mendadak kering.

bersama malam yang makin kelam bulan perlahan ambyar di jantungku mengalirkan seribu sungai membandang ingatan-ingatan kecut melintas-lintas seperti kilat pecut merajam menyamaki, “siapa yang sanggup merampungkan percakapan ini?’

ada yang hilang di sini, sunyi gagal membentuk kata-kata dan sajak menjadi sarat bunyi pedih bersama waktu yang meronta-ronta dan mimpi perih terbang bersamanya, melambai dengan mata malaikat tua sementara belum sempat dipikirkan bagaimana menulis epitaf sebelum melepas tabik terakhir

====================

Biodata

Tjahjono Widijanto, sastrawan nasional dan Doktor Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, alumnus Program Doktoral Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta (2020) ini lahir di Ngawi, 18 April 1969. Menulis puisi, esai, dan sesekali cerpen di berbagai media nasional. Buku-bukunya a.l: Dari Kosmos ke Chaos: Kumpulan Telaah dan Esai Sastra (2020): Dari Jagat Wayang Hingga Perahu Lalotang: Segugus Esai Budaya (2020); Ajisaka dan Kisah-kisah Tentang Tahta (Antologi Puisi 2020), Eksotika Sastra: Kumpulan Esai Telaah Sastra (2017); Metafora Waktu: Kumpula Esai Budaya (2017) Dari Zaman Kapujanggan Hingga Kapitalisme: Segugusan Esai dan Telaah Sastra (2011),), Dari Zaman Citra ke Metafiksi, Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ (Kepustakaan Populer Gramedian dan Dewan Kesenian Jakarta, 2010), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Grasindo, 2000), Birahi Hujan (Logung Pustaka, 2004,) Compassion & Solidarity A Bilingual Anthology of Indonesian Writing (UWRF 2009), dll..

Diundang dalam berbagai acara sastra nasional dan internasional a.l:, memberikan ceramah sastra di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan (Juni, 2009), Festival Sastra Internasional Ubud Writters and Readers Festival (2009), Cakrawala Sastra Indonesia (Dewan Kesenian Jakarta,2004), Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 1996), dll. Memperoleh Penghargaan Seniman (Sastrawan) dari Gubernur Jawa Timur (2014), dan Penghargaan Sutasoma Balai Bahasa Jawa Timur (2019). Pada bulan April-Mei tahun 2017 lalu ditunjuk Badan Bahasa untuk mengikuti program Residensi Sastrawan Berkarya di Talaud Sulawesi Utara.

Memenangkan berbagai sayembara menulis a.l: Pemenang II Sayembara Kritik Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (2004), Pemenang Unggulan Telaah Sastra Nasional Dewan Kesenian Jakarta (2010), Pemenang II Sayembara Pusat Perbukuan Nasional (2008 dan 2009), Pemenang Lomba Mengulas Karya Sastra Nasional (5 kali berturut turut; 2002, 2003, 2004, 2005 dan 2006), dll.

Saat ini selain sebagai penulis dan penyair juga “nyambi” sebagai kepala sekolah di sebuah SMA Negeri di Ngawi.

———————————–

Handy Saputra lahir di Denpasar, 21 Februari 1963. Ia lulusan Magister Manajemen Universitas Warmadewa, Denpasar. Sejak kanak ia gemar membaca buku yang berkaitan dengan seni dan sastra. Di sela-sela kesibukannya sebagai pebisnis, ia gemar mengoleksi lukisan dan menyalurkan hobinya pada bidang seni, terutama fotografi dan seni rupa. Pameran tunggal pertamanya bertajuk The Audacity of Silent Brushes di Rumah Sanur, Denpasar (2020). Pameran bersama yang pernah diikutinya, antara lain Di Bawah Langit Kita Bersaudara, Wuhan Jiayou! di Sudakara Artspace, Sanur (2020), Move On di Bidadari Artspace, Ubud (2020), pameran di Devto Studio (2021), pameran Argya Citra di Gourmet Garage (2021). Lukisannya juga pernah menjadi cover buku puisi Amor Fati (Pustaka Ekspresi, 2019) karya Wayan Jengki Sunarta dan ilustrasi cerpen Wisanggeni karya Yanusa Nugroho yang dimuat di Kompas (Minggu, 19 Desember 2021). Instagram: @handybali.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!