Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

CerpenSastra

Perempuan yang Memandangi Sungai dan Guguran Daun-daun Akasia

Oleh: Juli Prasetya

Ilustrasi: Renta Ivonne Dewi Arimbi Situmorang

 

PUCUK daun-daun mengering, perlahan meranggas dan sebentar lagi terlepas dari reranting pohon akasia di sore yang dingin, di sore musim kemarau. Sedangkan di langit menjadi berwarna kelabu. Aku mencium bau gerimis menguar dari udara yang kuhirup, dari tanah yang kupijak, dan dari tempatku duduk sebuah gasebo dengan kursi dan meja yang terbuat dari semen.

Sekira 10 meter dari tempatku duduk ada jembatan kayu kokoh, di bawah jembatan kayu terdapat sungai yang mengalir dan di sepanjang sungai kecil itu berdiri pohon-pohon akasia yang lebat daunnya, dan mungkin kemarau sebentar lagi merontokkan daun-daun itu. Beberapa minggu ini aku selalu menyempatkan datang ke taman ini, sebuah taman dengan sungai kecil membelah taman dan satu jembatan kecil menghubungkan taman dengan dunia luar.

Aku menunggu seorang perempuan, perempuan yang sebenarnya tak kukenal, tetapi aku penasaran dibuatnya, karena setiap minggu sore seperti ini ia selalu berdiri di atas jembatan kecil itu, sambil menyandarkan tangannya pada pagar jembatan, lalu melihat ke arah sungai yang mengalir di bawahnya.

Pertemuan pertama kami terjadi dua minggu yang lalu, ah mungkin itu bukan pertemuan, aku saja yang menganggap bahwa itu adalah sebuah pertemuan, soalnya hanya aku saja yang terus memperhatikannya. Ia adalah seorang perempuan berambut hitam panjang dengan kuncir kuda dan poni yang tergerai tertiup angin, seorang gadis yang tak kuketahui namanya. Saat itu tepat di tempat aku duduk sekarang, aku melihat perempuan itu sedang memandang ke arah sungai, lama sekali. Sekitar 30 menit 49 detik ia memandang terus ke sungai, lalu ketika ia pergi aku seperti orang tolol mencoba berdiri dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan olehnya; berhenti di tengah jembatan, menyandarkan tangan di bahu jembatan, lalu memandang sungai kecil yang mengalir di bawahnya. Dan coba tebak apa yang aku temukan? Aku tak menemukan apapun, kecuali air sungai jernih yang mengalir, suara desauan angin yang menggoyang pohon dan daun akasia, lalu tak ada lagi. Dasar sungai itu memang dapat terlihat dengan jelas karena saking bening dan jernih airnya, aku dapat melihat pasir dan bebatuan di dasarnya, tapi itu tak menarik minatku. Lalu aku berpikir memang apa yang bisa menarik gadis itu untuk datang berkali-kali ke jembatan ini pada minggu sore? Apakah aku tak bisa melihat seperti apa yang gadis itu lihat? Maka hal itu sungguh membuatku penasaran dan ingin bertanya sekaligus berkenalan dengan gadis aneh itu. Aku ingin menanyakan apa yang ia lihat di dasar sungai itu, apa yang ia lihat dari atas jembatan itu. Itulah yang menjadikanku melakukan hal tolol ini selama berminggu-minggu.

Pada minggu sore aku menunggu gadis itu di taman, saat pertemuan kedua aku masih melihat pemandangan yang sama, hal yang sama, tapi aku masih tak berani mendekatinya, aku mulai menerka-nerka apakah ia mencari uangnya yang hilang di sana? Kurasa itu tak mungkin, jika begtu ia mesti turun ke sungai itu dan mencarinya. Tapi itu tidak ia lakukan. Apakah ia mencari barang berharga? Tak mungkin ada barang berharga di sungai.

Akhirnya ia datang, dengan gaun berwarna krim, dan rambut panjangnya yang tergerai indah, ia langsung melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan di minggu-minggu sebelumnya; berdiri di atas jembatan, lalu menyandarkan lengannya di pagar jembatan, lalu melihat air sungai yang mengalir di bawahnya. Aku tak mau tahu, pokoknya hari ini aku harus tahu, apa alasan dia melakukan itu berulang kali. Aku tak peduli dibilang orang aneh yang suka menguntit orang lain, atau apapun. Aku selalu gelisah dan tak bisa tidur dengan rasa penasaran yang menghajar kepalaku. Aku mencoba membayangkan berjalan mendekatinya, dan setelah sampai tepat di belakangnya, aku tertegun sejenak. Aroma petrikor menguar dari tubuhnya, aroma yang tak asing dengan perihal masa lalu dan kenangan, aroma yang keluar setelah hujan reda.

“Maaf” kataku, menyapanya

“Iya”

“Apakah aku boleh berdiri di dekatmu”

“Hah?”

“Kalau tidak mengganggu”

“Silakan”

“Namaku Madiksan”

“Sebelumnya aku ingin meminta maaf, karena sebenarnya aku sudah lama melihatmu, dan kemudian mengikutimu”

“Kau penguntit” katanya sambil memasang wajah cemas

“Bukan seperti itu, ada alasan mengapa aku melakukan hal itu”

“Apa? Kau menyukaiku?”

“Hahaha kalau boleh, tapi bukan itu masalahnya, sebenarnya aku ingin menanyakan satu hal padamu”

“Apa?”

“Apa yang sebenarnya kau cari?”

“Cari apa?”

Mohon maaf sebelumnya, sebenarnya selama berminggu-minggu ini aku selalu memperhatikanmu. Bukankah setiap minggu sore kau selalu datang ke taman ini, lalu berdiri di atas jembatan ini sepanjang sore sambil melihat sungai. Sebenarnya apa yang kau cari?”

“Kau sangat ingin tahu urusan orang ya?”

Kalau kau tidak keberatanjawabku, dan di tengah percakapan kami hanya kelengangan panjang yang tertinggal.

“Keindahan” katanya pelan.

“Maksudmu?”

“Lihatlah langit begitu indah bukan jika dilihat dari pantulan di permukaan sungai itu ia menunjuk ke arah sungai, dan tanpa kusadari aku mengikuti gerakan jemarinya untuk melihat sungai yang memantulkan bayangan langit

Astaga, ini adalah hal paling tak berguna yang pernah aku dengar dan aku lakukan

“Hihi kata siapa keindahan harus berguna?”

Berarti selama ini kau melakukan hal tak berguna?”

Pada umumnya ketika satu hal menjadi berguna, ia berhenti menjadi indah. Bukankah kau jauh lebih tak berguna karena menguntit seorang perempuan cantik sepertiku, haha”

Berarti aku lebih indah dari semua hal yang kau lakukan?” kami tertawa bersama

“Maukah kau kuajarkan hal yang indah sekaligus berguna?” kataku. Sejenak kami terdiam dan hanya saling pandang.

“Apa?” katanya penasaran.

Aku segera menggenggam tangannya dan menggandengnya menyusuri sungai, aku melihat wajahnya yang memerah dan terkejut, aku melihat matanya yang menyimpan ribuan pertanyaan dan rasa ragu.

Yang berguna dan indah itu adalah berjalan bersama sambil bergandeng tangan dengan seseorang yang kita cintai kataku sambil terus menggandengnya dan menyusuri jalan di sepanjang sungai yang tersisa.

Dan kau tahu bahwa semua cerita-cerita itu hanya terjadi di dalam imajinasiku sendiri. Kenyataannya aku masih duduk di gasebo itu, mungkin untuk beberapa minggu lagi, lagi, dan lagi. Aku masih tidak berani mendekatinya sedikitpun dan hanya bisa terus memandangi perempuan di atas jembatan kayu itu dari kejauhan, perempuan yang selalu melihat sungai, guguran daun-daun akasia, dan setangkup rahasia.

Purwokerto, 12 Desember 2023

 

BIODATA

Juli Prasetya, penulis muda asal Banyumas yang mencintai dunia literasi, sekarang sedang berproses di Bengkel Idiotlogis asuhan Cepung yang terletak di Desa Purbadana, Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas. FB : Juli Prasetya Alkamzy.

Renta Ivonne Dewi Arimbi Situmorang lahir di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, 21 September 1980. Dia belajar melukis secara otodidak menggunakan media kertas, batu, kayu, dan kanvas. Kini dia menetap Zaltbommel, Belanda. IG: @ivonnearimbi.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!