Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Hukum & Kriminal

Pemprov Bali Dituding Abaikan Nasib Ribuan Peternak Babi

BABI FROZEN JEBOL BALI: Sekretaris Perkumpulan Peternak Hewan Monogastrik Indonesia (PHMI) Provinsi Bali, Putu Ria Wijayanti saat diwawancarai awak media.

 

DENPASAR, Balipolitika.com- Jatuhnya harga jual babi belakangan ini mulai menemukan titik terang.

Penelusuran tim redaksi mengungkap fakta bahwa turunnya permintaan babi untuk wilayah Jakarta dan Surabaya dipicu meningkatnya suplai daging babi frozen yang berasal dari Australia dan China. 

Fakta ini mengejutkan karena pemerintah tidak pernah menyosialisasikan adanya pembukaan keran impor daging babi di tengah meningkatnya produksi babi nasional.

BPS mencatat populasi babi di Indonesia sebanyak 7,28 juta ekor pada 2022. Jumlah itu naik 1,42 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebanyak 7,18 juta ekor.

Beredarnya daging babi impor beku dengan harga beli sekitar Rp40.000 per kilogram di Jakarta menjadi tantangan tersendiri bagi para distributor dan peternak babi yang menggantungkan hidupnya pada pengiriman babi mereka ke luar pulau.

Pengembangan Jalur Pemasaran ke Kalimantan

Serangan wabah ASF (African Swine Fever) yang melanda hampir seluruh wilayah Indonesia mengakibatkan turunnya populasi babi dan tidak terpenuhinya kebutuhan babi di beberapa wilayah di indonesia. 

Kalimantan salah satunya. Peternak masih mengalami trauma akibat tingginya tingkat kerugian yang mereka alami, serta tingginya modal yang dibutuhkan untuk memulai beternak kembali menyebabkan mereka memilih untuk menghentikan sebagian besar usahanya. 

Hal ini di lain pihak menjadi peluang baru bagi peternak dari pulau lain yang sudah terbebas dari ASF. Bali dan Lampung menjadi salah satu suplier terbesar untuk kalimantan.

Surat Edaran Gubernur Kalimantan Barat

Atas dasar persebaran virus ASF yang sesungguhnya telah mereda, Gubernur Kalimantan barat mengeluarkan surat edaran (SE) pembatasan pengiriman babi dari luar Kalimantan lewat jalur darat, tapi masih mengizinkan pengiriman dari jalur darat.

Surat edaran ini dianggap berlebihan oleh Dewan Adat Dayak karena secara faktual ketersediaan babi di para distributor dan reseller daging lokal masih sangat terbatas, dan mengakibatkan masih tingginya harga daging babi akibat dari hukum supply dan demand.

Polemik Melanda Peternak di Bali

Surat edaran tersebut sesungguhnya tidak bisa menjadi polemik di Bali jika para pengirim yang menggunakan jalur laut mampu menyerap hasil produksi peternak UMKM dengan harga yang bersaing, tapi faktanya, para pengirim dengan jalur laut, hanya bisa melakukan pembelian babi dalam jumlah terbatas dan dengan jadwal yang tidak pasti. 

Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran di para petani kecil, mengingat biaya produksi tetap harus mereka keluarkan sembari menunggu jadwal pengiriman yang tidak pasti.

Terbitnya Surat Disnakbun Provinsi Kalbar

Menyikapi polemik ini, Pemprov Kalbar menerbitkan surat penjelasan edaran dan surat izin pemasukan babi ke wilayah Kalbar lewat jalur darat kepada perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki izin edar sebelum surat edaran Gubernur itu diterbitkan.

Hal ini tentu saja memberi angin segar bagi peternak Bali mengingat tingginya serapan kebutuhan daging babi di Kalimantan barat.

Sikap Abu-Abu Pemprov Bali

Gerak cepat Pemprov Kalimantan Barat yang membuka pintu salur lewat darat ternyata tidak mendapat respons positif dari Pemprov Bali. Alih-alih memfasilitasi keresahan peternak babi bali untuk memastikan rantai suplai babi mereka ke Kalimantan barat, Pemprov Bali lewat Dinas Peternakan terkesan tidak mau mengambil langkah strategis dalam memastikan semua proses administrasi terlayani sehingga pengiriman dapat segera dilakukan untuk memenuhi lonjakan kebutuhan daging babi di Kalimantan Barat untuk menyambut Natal 2023 dan Tahun Baru 2024, serta kebutuhan untuk kegiatan religi masyarakat adat dayak sesuai pernyataan Dewan Adat Dayak.

Hal ini tentu saja sangat mengecewakan dan menciptakan preseden negatif terhadap pelayanan publik yang dilakukan Pemprov Bali terhadap ribuan peternak babi Bali yang menggantungkan hidupnya pada peternakan. 

Tidak tanggapnya Pemprov Bali terhadap isu sentral ini disorot Sekretaris Perkumpulan Peternak Hewan Monogastrik Indonesia (PHMI) Provinsi Bali, Putu Ria Wijayanti.

Putu Ria Wijayanti yang memiliki ratusan kluster peternak binaan di seluruh Bali menunjukkan bahwa belum baiknya komunikasi antar pemerintah provinsi guna memfasilitasi pelayanan pada masyarakat kecil. 

Kekecewaan Putu Ria Wijayanti memuncak lantaran Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali cenderung mengabaikan surat resmi dari Disnakbun Kalimantan Barat serta tidak memberikan penjelasan apapun terkait alasan tidak diterbitkanya SKKH (Surat Keterangan Kesehatan Hewan) yang menjadi syarat administrasi dasar untuk bisa melakukan pengiriman keluar pulau.

Desakan Peternak Bali

Beban yang ditanggung Putu Ria Wijayanti dalam usahanya memfasilitasi pengiriman ribuan ekor babi yang diproduksi oleh kluster peternak binaannya cukup beralasan mengingat hampir setiap hari menghadapi keresahan para peternak karena tidak adanya kepastian terbitnya SKKH untuk pengiriman ternak mereka sementara pengirim lewat jalur laut yang tidak terpengaruh oleh surat edaran tersebut tidak memiliki kemampuan untuk mengambil ternak mereka secara konsisten dengan harga yang sesuai. 

Hal ini memiliki domino effect dahsyat sebab sebagian dari para peternak itu memutuskan menyerah dan melepas ternak mereka dengan harga murah karena tak mampu lagi memenuhi biaya operasional pemberian pakan yang tentu saja menjadi membengkak. 

Jika hal ini tidak ditanggulangi semakin lama harga babi bali akan jatuh dan terus merosot, sehingga pada akhirnya akan sangat sulit memulihkan semangat para peternak kecil dan UMKM untuk kembali menggeluti sektor usaha ini yang pada akhirnya sektor usaha ini hanya akan dikuasai oleh korporasi bermodal besar saja.

Putu Ria Wijayanti berharap para pengelola kebijakan terketuk hatinya untuk secara aktif memperjuangkan usaha-usaha mereka untuk membantu pendistribusian hasil produksi peternak babi Bali. 

Dalam waktu dekat, para peternak akan menemui DPRD Provinsi Bali untuk mempertanyakan kejelasan sikap abu-abu dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali atas tidak diprosesnya permohonan SKKH dari ternak yang akan mereka kirim ke Kalimantan Barat. (sum/bp)

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!