Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Hukum & KriminalKriminal

Mahfud MD Bidik Dugaan Penyalahgunaan Kewenangan

Sorot Sengketa Warga Batu Ampar dan Pemkab Buleleng

ATR/BPN AKUI KEPEMILIKAN TANAH WARGA: Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia, Prof. Dr. H. Mohammad Mahfud Mahmodin, S.H., S.U., M.I.P. menginstruksikan aparat berwenang segera menuntaskan sengketa atau konflik tanah warga Batu Ampar, Desa Penjarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.

 

JAKARTA, Balipolitika.com- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia, Prof. Dr. H. Mohammad Mahfud Mahmodin, S.H., S.U., M.I.P. menginstruksikan aparat berwenang segera menuntaskan sengketa atau konflik tanah warga Batu Ampar, Desa Penjarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.

Tak main-main, Mahfud MD menerbitkan surat resmi bernomor B-227/HK.001/10/2023 bersifat segera perihal rekomendasi terkait dugaan pungli dan penyalahgunaan wewenang dalam sengketa tanah yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI Jenderal Polisi (Purn) Prof. Drs. H. Muhammad Tito Karnavian, M. A., Ph. D, Menteri Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia Marsekal TNI (Purn) Dr. (H.C.) Hadi Tjahjanto S.I.P, dan Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si.

Surat tersebut juga ditembuskan kepada Presiden RI Joko Widodo, Wakil Presiden RI Maruf Amin, Menteri Sekretaris Negara Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc., Sesmenko Polhukam RI Letnan Jenderal TNI Teguh Pudjo Rumekso, M.Tr.(Han), Kasatgas Saber Pungli Komjen Pol. Ahmad Dofiri, dan PJ Gubernur Bali Irjen Pol (Purn) Sang Made Mahendra Jaya. 

Mahfud MD menekankan dua kesimpulan penting terkait polemik yang membuat masyarakat setempat merasa terdzolimi selama puluhan tahun dalam upaya memperjuangkan hak-haknya memanfaatkan tanah yang ditempati secara sah karena mengantongi bukti sertifikat sah.

Diketahui 47 KK tercatat menjadi korban pengusiran dan penggusuran tanah Batu Ampar. Ironisnya, saat warga dilarang kembali menggarap lahan serta Kapolsek Gerokgak kala itu mengimbau kedua belah pihak tidak melakukan aktivitas apapun selama status lahan tersebut tidak jelas, pembangunan Menjangan Dynasti Resort justru berjalan mulus pada tahun 2017.

Pertama, telah terjadi tumpang tindih hak kepemilikan di atas tanah eks HPL No. 1 Tahun 1976 yang kemudian diganti dengan HPL No. 1 Tahun 2020 yaitu antara Pemkab Buleleng dengan warga Batu Ampar. Kantor ATR/BPN Kabupaten Buleleng mengakui secara sah bukti kepemilikan tanah warga Batu Ampar berupa SHM Tahun 1982 di atas tanah eks HPL yaitu SHM No. 229 atas nama Ketut Salim tertanggal 13 Maret 1982 dengan dasar SK Gubernur Tingkat 1 Bali Nomor 129/HM/DA/BLL/1982, SHM No. 240 atas nama Marwiyah tertanggal 13 Maret 1982 dasar SK Gubernur Tingkat 1 Bali No. 140/HM/DA/BLL/1982. 

“Dengan demikian patut diduga adanya penyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan sertifikat HPL No. 1 Tahun 2020 sebagai pengganti HPL No. 1 Tahun 1976,” demikian tertera dalam surat yang ditandatangani Menko Polhukam Mahfud MD di Jakarta, 18 Oktober 2023.

Kedua, salah satu program Satgas Saber Pungli adalah pencanangan kabupaten/kota bebas pungli yang salah satu indikatornya adalah predikat WBK (Wilayah Bebas Korupsi) dan WBBM (Wilayah Birokrasi Bersih Melayani) di pusat-pusat layanan publik karena pada intinya tujuan Satgas Saber Pungli adalah perbaikan pelayanan publik. Oleh karena itu, permasalahan sengketa tanah di Batu Ampar antara Pemkab Buleleng dan warga Batu Ampar perlu mendapat perhatian mengingat hal tersebut berkaitan dengan pelayanan publik di bidang pertanahan sehingga upaya pencapaian wilayah bebas korupsi dan wilayah birokrasi bersih melayani di wilayah Kabupaten Buleleng dan wilayah kabupaten/kota lainnya di Indonesia dapat terwujud. 

Diberitakan sebelumnya, ada empat poin penting yang dijabarkan Mahfud MD berpegang pada data dan fakta terkait sengketa tanah Batu Ampar. 

Pertama, bahwa tanah yang berlokasi di Batu Ampar, Desa Penjarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali adalah tanah negara yang pada awalnya telah dikuasai dan digarap oleh 55 orang warga Batu Ampar sejak tahun 1959 secara terus-menerus, terbuka, dan dengan itikad baik hingga pada tahun 1976 terbitlah HPL (Hak Pengelolaan Atas Tanah, red) No. 1 Tahun 1976 Desa Penjarakan atas nama Pemkab Buleleng seluas 450.000 meter persegi dengan lamanya hak selama digunakan untuk proyek pengapuran. Dengan demikian HPL akan berakhir pada saat proyek pengapuran dihentikan, Dalam hal penguasaan tanah tersebut, masing-masing warga Baru Ampar memiliki bukti pembayaran pajak SPPT PBB atas bidang tanah yang dikuasai meskipun SPPT PBB bukanlah bukti kepemilikan tanah, namun hal tersebut dapat dijadikan dokumen pendukung dalam kelengkapan berkas tanah. 

Kedua, setelah HPL No. 1 Tahun 1976 tidak dimanfaatkan lagi untuk proyek pengapuran, maka sejak tahun 1980 warga kembali memohon hak atas tanah yang sebelumnya telah mereka kuasai sejak tahun 1959 kepada Bupati Buleleng, Gubernur Bali, dan Menteri Dalam Negeri sehingga terbit SHM (Sertifikat Hak Milik) di atas HPL No. 1 Tahun 1976, yaitu SHM Nomor 229 atas nama Ketut Salim tanggal 13 Maret 1982 (SK Gubernur Tingkat 1 Bali No.140/HM/DA/BLL/1982), SHM No.240 atas nama Marwiyah tanggal 13 Maret 1982 (SK Gubernur Tingkat 1 Bali No.140/HM/DA/BLL/1982). Dengan terbitnya sertifikat hak milik menunjukkan bahwa telah terjadi tumpang tindih hak atas tanah di atas eks HPL No. 1 Tahun 1976 yang diklaim oleh Pemkab Buleleng sebagai aset daerah dengan sertifikat pengganti HPL No. 1 Tahun 2020. 

Ketiga, diterbitkannya SK Bupati Buleleng Nomor 203.A Tahun 1989 tentang Penunjukan Perusahaan Daerah Swatantra Kabupaten Daerah Tingkat II Buleleng untuk mengurus dan mengelola kawasan Batu Ampar di Desa Penjarakan, Kecamatan Gerokgak terkesan mengesampingkan SK Mendagri Nomor 171/HM/DA/82 tanggal 8 Desember 1982 dan Putusan PN Singaraja Nomor 59/PDT.G/2010/PN SGR tanggal 12 Juli 2010 yang menyatakan bahwa tanah sengketa adalah sah sebagai tanah negara bebas yang telah dikuasai dan dikerjakan oleh para penggugat yang dipergunakan untuk tanah pertanian sejak dari sebelum tahun 1960 dan atau telah dikuasai selama 20 tahun lebih secara berturut-turut secara terbuka dan dengan itikad baik. Sehingga patut diduga terjadi pelanggaran hukum berupa penyerobotan lahan milik warga Batu Ampar yang dampaknya terjadi pengusiran paksa kepada warga Batu Ampar.

Keempat, pencatatan aset tanah oleh Pemkab Buleleng yang menjadi objek sengketa pada tahun 2015 dengan nilai pembelian nol rupiah yang menggunakan alas hak sertifikat HPL No.1 Tahun 1976 yang kemudian diganti dengan HPL No. 1 Tahun 2020 terdapat adanya kejanggalan mengingat bahwa lamanya pemberian HPL adalah selama peruntukannya digunakan sebagai proyek pengapuran dan faktanya proyek pengapuran berakhir sekitar tahun 1980. Oleh karena itu terbitlah sertifikat SHM atas nama warga dan SK Menteri Nomor 171/HM/DA/82. (tim/bp)      

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!