BEBERAPA HARI ini saya membolak balik syair-syair penyair sufi dari Persia, Jalaludin Rumi. Puisi menjadi penghiburan saat saya menemukan jalan buntu dan membutuhkan cinta. Terkadang cinta manusia terbentur-bentur banyak hal sedangkan dalam puisi kita akan menemukan banyak kejujuran dan ketulusan.
Dalam hal cinta, tampaknya Rumi menekankan bahwa cinta memiliki kekuatan transformatif yang besar. Ketika seseorang benar-benar jatuh cinta, ia mengalami perubahan yang mendalam. Cinta membebaskan seseorang dari belenggu ego dan membawa kesadaran akan hubungan yang lebih luas dengan alam semesta. Cinta yang disuarakan Rumi sangat jauh melampaui cinta yang dituturkan kisah-kisah cinta di dunia ini. Ia telah bebas untuk menemukan jiwanya sendiri, melalui puisinya, cinta, jiwa dan kebebasan itu menyatu.
Bagi Rumi, “Cinta Universal” merupakan sebuah ruh persatuan dengan alam semesta yang dimiliki semua orang dari latar belakang yang berbeda, semua agama menganggap cinta bersifat baik dan luhur. Sebagian orang menganggap ketika dua orang saling mencintai, selanjutnya jiwa dan raga diikat dalam pernikahan, itulah puncak kebahagian cinta. Namun bagi Rumi tidak sesederhana itu, akan ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Lantas bagaimana jika tidak terjadi penyatuan penyatuan di dunia? bagaimana nasib cinta itu? akan dikemanakan dan akan berakhir seperti apa?. Meskipun sebenarnya syair-syair Rumi tidak hanya melulu menyoal romantisme cinta sepasang kekasih, tapi Rumi mengajarkan kepada kita segala jenis cinta puncaknya kembali pada Sang Pemilik Sejati yang Maha Penuh Cinta.
Bait syair ini mungkin bisa mewakili beberapa pertanyaan di atas, misalnya cinta yang tidak harus memiliki, mari kita mencoba memahami Rumi dalam menghadapi keadaan seperti itu.
“Aku memilih mencintaimu dalam diam, karena dalam diam tak ada penolakan.”
Diam dipilih Rumi, sebagai tindakan positif dan netral, membiarkan perasaan tak tersakiti secara langsung. Diam menggambarkan bentuk penyerahan tanpa takut penolakan. Terkadang dalam memahami sesuatu yang tak terpahami, kita akan menemukannya melalui keheneningan batin. Cinta adalah keheningan dan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, dalam keheningan akan membuahkan kemurniaan.
“Aku memilih memilikimu dalam mimpi, karena dalam mimpiku kau tak akan pernah berakhir.”
Dalam mimpi, cinta itu abadi. Yang terkasih tetap sempurna dan tak terbatas, tak tersentuh oleh batasan realitas, waktu, atau kematian. Mimpi melambangkan alam jiwa, di mana cinta dapat tumbuh dan bersemayam dalam bentuknya yang paling murni dan ideal. Cinta sejati akan memunculkan kebaikan-kebaikan dan menimbulkan energi positif.
“Aku memilih memujamu dari kejauhan, karena jarak melindungiku dari rasa sakit.”
Menggambarkan cinta tanpa kedekatan ragawi, tanpa pamrih. Bagi Rumi, mungkin inilah perwujudan cinta yang agung, meskipun sebagian besar manusia akan sulit memahaminya. Rumi memilih jalan tersebut mungkin agar terhindar dari rasa kecewa, sakit hati atau kebencian, pilihan itu mencerminkan kerinduan spiritual dalam sebuah hubungan yang melampaui batas-batas fisik, waktu, dan duniawi. Sepasang kekasih yang benar-benar saling mencintai telah memiliki ikatan jiwa, pertemuan fisik hanyalah simbol dari kesatuan yang sudah ada secara spiritual dan emosional di dalam hati masing-masing.
Sementara dalam Buddhisme, cinta kasih disebut dengan “metta” yang maknanya cinta kasih tanpa batas. Pada saat seseorang ingin mencintai orang lain, maka dia harus dapat memahami orang yang dicintai, dilandasi oleh belas kasih. Cinta kasih yang tidak diliputi oleh kemelekatan, cinta kasih yang membawa kebahagiaan.
“Jika kita percaya pada kesinambungan pikiran, maka cinta secara tidak langsung menghubungkan kita dengan orang yang kita cintai dengan energi positif terus menerus, sehingga bahkan pemisahan nyata antara orang-orang yang saling mencintai tidak mengurangi kekuatan cinta yang tak berwujud.”
Namun Buddha juga mengingatkan janganlah mencintai apa pun, karena berpisah dengan apa yang dicintai adalah menyedihkan. Tiada lagi ikatan bagi mereka yang telah bebas dari mencintai dan tidak mencinta.
Jika kita mengalami di mana orang-orang yang kita cintai meninggalkan kita, bukan dengan terus meratapinya. Kita hadapi dengan pengertian yang benar agar misteri tersingkap, sebab kemelekatan akan menjadi sumber penderitaan.
Sementara saya hanyalah manusia yang mungkin cintanya masih terbungkus nafsu-nafsu duniawi dan kesenangan semata sehingga sering lupa makna sebenarnya. Sepanjang perjalanan di kehidupan ini, saya ingin terus belajar dan berproses menemukan makna Unconditional Love, melepaskan, tidak melekat, membebaskan, merelakan, tulus, yang mana sifat-sifat cinta tersebut merupakan refleksi dari cinta Tuhan.
BIODATA
Leenda Madya, lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, 9 Agustus 1984. Menulis puisi di beberapa media, seperti Suara Merdeka dan Batam Pos. Lulusan S1 Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro. Telah menerbitkan buku puisi tunggal berjudul Kenang Aku Sebagai Penyair, Liburan Penyair ke Negeri Anggur, Dongeng Penyair untuk Kekasihnya, Setiap Orang adalah Penyair, Setiap Hari adalah Ibu dan novel berjudul Candikolo. Tahun 2018 dia mendapat Penghargaan Prasidatama dari Balai Bahasa Jawa Tengah, tahun 2019 menjadi penulis terpilih (Promising Writers) Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival dan tahun 2019 lolos kurasi sekaligus sebagai salah peserta dalam Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XI di Kudus.
Ni Putu Sunindrani lahir di Denpasar, 10 Maret 1979. Dia bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan garmen di Denpasar. Karya-karyanya banyak menjadi ilustrasi puisi di media online Bali Politika. Melukis baginya adalah terapi batin dan sarana menghibur diri. IG: @putusunindrani.