Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

CerpenSastra

SAPI-SAPI

Cerpen Karya Yin Ude

Ilustrasi: Gede Gunada

 

ENAM ekor sapi itu selalu masuk kampung. Dan malam ini kami warga RT. 07 dibuat marah lagi. Bagaimana tidak, taman rukun tetangga yang menjadi tempat anak-anak bermain diinvasi oleh hewan-hewan itu. Beberapa tanaman bunga patah, tiga pot kecil remuk dan rumputannya yang rapi menunjukkan bekas dimakan.

Kami ingin menangkapnya, tapi jerih menghadapi badannya yang kekar. Satu pejantannya memiliki tanduk panjang yang tajam. Gerak-geriknya mengisyaratkan perlawanan pula ketika warga-warga mendekatinya.

Seandainya kupunya senapan, sudah kutembak sapi-sapi ini!” seru Badrul geram. Ia hampir diterjang sapi yang lari menghindar dari kejaran.

Siapa pemilik sapi itu, ya?” sambut Aji.

Ini kalimat yang lebih bagus untuk didengar, tapi sayang tak ada yang bisa menanggapi. Kami semua tak tahu siapa itu. Tapi jelas bukan warga kampung, sebab mata pencaharian kami semua jauh dari beternak atau bertani.

Jam sebelas, waktunya tidur. Tapi terpaksa ditunda untuk gotong royong mendadak membenahi sedikit taman yang rusak. Lima orang ditunjuk pula untuk ronda. Berjaga-jaga jangan sampai sapi-sapi yang sudah keluar kampung itu kembali lagi.

*

Astaga! Benar-benar sapi kurang ajar!”

Teriakan isteriku sudah kuduga akan meledak. Kalau tidak dia, mungkin aku juga yang akan mencetuskan seruan keras seperti itu.

Pemandangan di hadapan kami sudah sangat pantas menjadi alasan kami emosi. Pintu gerbang halaman miring, sebidang terlepas dari relnya!

Tampaknya tengah malam sapi-sapi itu masuk kampung dan hendak menerobos ke pekarangan Bapak. Lihat bekasnya menanduk dan mendorong pintu gerbang.”

Itu penjelasan Bu Mario, tetangga depan yang menyambut kepulangan kami pagi ini dengan wajah prihatin atas musibah yang kami alami. Menyesal rasaku aku meninggalkan rumah semalam untuk menghadiri pertemuan pengurus perguruan karate, dimana aku salah seorang pelatih senior di sana.

Hujan lebat sejak magrib membuat warga tak bisa ronda.”

Keterangan Ketua RT yang kutahu bermaksud mendahului sebelum kutanyaikok bisa terjadi, padahal ada rondatak lagi kupedulikan.

Aku bergegas masuk ke dalam rumah dan ingin menenangkan diri dengan secangkir teh.

Minuman hangat itu kini menemaniku yang duduk di kursi teras, memikirkan apa yang harus dilakukan warga untuk mengatasi sapi-sapi itu.

*

Sampai jam sembilan siang, aku masih duduk di teras, menunggu telepon dari seorang teman di Kantor Dinas Peternakan dan Kehewanan.

Nampaknya ia masih sibuk hingga belum bisa memberi aku informasi tentang siapa pemilik sapi-sapi itu. Tiga malam lalu kuajak ia membuntuti kemana perginya hewan itu setelah kembali masuk kampung.

Kami berharap sapi-sapi itu membawa kami ke tempat pemiliknya. Tapi sapi-sapi itu menuju ke tanah lapang di tepi kampung.

Temanku tidak mempermasalahkan sebab ia masih bisa melacak dengan cara mencatat ciri-ciri fisik sapi itu, yang akan ia cocokkan dengan data induk ternak di kantornya.

Angin dingin menerpaku. Sepertinya akan hujan lagi, sebab gumpalan mendung semakin rata pula menutupi langit. Aku berdoa semoga turunnya nanti malam saja. Selebat-lebatnya.

Pemiliknya Syu’aib dan adiknya Taki, dari desa sebelah. Tiap tahun ia memang tak pernah mau serius mengandangkan ternaknya. Ditegur aparat desa pun tak begitu digubris. Keenakan mereka karena banyak uang untuk membayar denda ketika ternak mereka masuk ke lahan orang lain. Lagi pula tak ada orang yang berani memberi mereka pelajaran, sebab konon orangnya jago silat. Keluar masuk kantor polisi juga sudah biasa bagi mereka.

Jam sepuluh, aku memutuskan untuk meninggalkan teras. Hari Minggu ini akan aku nikmati dengan tidur siang.

Tidurku pasti akan nyenyak karena tak penasaran lagi setelah kuterima informasi barusan via WA dari temanku.

Berbaring di ranjang, aku berdoa lagi semoga hujan nanti malam lebat, selebat-lebatnya.

*

Ternyata doaku terkabul. Hujan malam ini lebat sekali. Dan dingin menusuk. Di kamar aku harus mempercepat mengelap sisa-sisa air yang masih melekat di tubuhku setelah menanggalkan pakaian dan topengku yang basah.

Topeng itu kupakai hingga setengah jam lalu saat menemui Syu’aib, lalu Taki, dalam deras hujan dan kabut tebal.

Aku bayangkan bagaimana rupa keduanya sekarang, muka memar dengan tubuh lunglai habis kuhajar, terikat ke tiang kandang sapinya masing-masing.

Mereka sapi-sapi, bolehlah sesekali habiskan malam bersama sapi-sapi.***

 

BIODATA

Yin Ude, penulis Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel dan artikel terpublikasi di media cetak dan online dalam dan luar daerah Sumbawa, antara lain Lombok Pos, Suara NTB, Sastra Media, Elipsis, Suara Merdeka, Kompas, Republika dan Tempo. Memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Buku tunggalnya adalah Sepilihan Puisi dan Cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram, 2021) dan Novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) dan antologi puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama para penyair Indonesia.

Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama. Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!