Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

EsaiSastra

rendezVOUS! dan Percik-Percik Renungan

Oleh Chris Triwarseno

SAYA mengikuti live streaming peluncuran buku “rendezVOUS! Puisi-Puisi Pilihan Bali Politika Tahun 2022” yang disiarkan oleh channel youtube Case Closed, Jumat, 30 Juni 2023 di Dalam Rumah Cafe, Denpasar, Bali. Ini adalah terobosan Bali Politika yang merupakan media online yang berada di bawah naungan PT. Bali Warta Kencana dalam mengapresiasi karya sastra, khususnya puisi. Melalui rubrik sastranya, Bali Politika telah menjadi oase bagi penulis puisi dari berbagai penjuru Indonesia untuk mengekspresikan karya-karya puisinya di media online.

Diawali sebuah wawancara singkat oleh host Case Closed, I Nyoman Gede Sudiantara atau yang lebih dikenal dengan panggilan Pongliek kepada Redaktur Sastra Bali Politika Wayan Jengki Sunarta dan salah seorang perwakilan penulis puisi yang hadir malam itu, April Artison. Dalam wawancaranya, Pongliek menanyakan tujuan peluncuran buku puisi yang diberi judul rendezVOUS! itu kepada redaktur.

Wayan Jengki Sunarta memaparkan bahwa ruang sastra di media online balipolitika.com dirintis pada tanggal 3 Maret 2022. Pertimbangannya antara lain karena media cetak mulai berguguran karena dampak luas pandemi dan banyak penulis yang kehilangan lahan untuk mempublikasikan karya-karya puisinya. Hal itulah yang membuat Bali Politika berinisiatif untuk membuka rubrik sastra.

Harapan utamanya dengan rubrik tersebut adalah memberi ruang kepada penulis puisi, khususnya penulis-penulis pemula untuk mengekspresikan karyanya. Tidak semua media online di Bali memiliki rubrik sastra, begitu pun di Indonesia secara umum. Di tengah banyaknya topik-topik berat, seperti halnya politik yang membuat kepala pusing dan (kadang) memuakkan. Maka rubrik sastra ini muncul sebagai rumah teduh, ruang renung, dan hiburan kontemplatif-pemaknaan hidup.

Untuk sementara rubrik sastra Bali Politika belum bisa memberikan honor kepada penulis yang karyanya dimuat. Akan tetapi Bali Politika mengapresiasi dengan membukukan karya-karya terpilih yang tentu saja melalui proses seleksi ke dalam buku rendezVOUS! tersebut. Bali Politika berkomitmen akan melanjutkan membukukan karya-karya puisi ini setiap tahunnya.

Pertanyaan Pongliek selanjutnya ditujukan kepada April Artison, yang juga merupakan salah satu penulis yang karyanya lolos kurasi di dalam buku rendezVOUS!. Kenapa memilihRayuan Iblis” untuk menjadi judul puisinya. April menjelaskan bahwa hal itu sebagai bentuk sarkasme penulis untuk menyampaikan isi pikiran dan situasi yang dialami selama proses menulis. Dia memaknainya dengan sesuatu yang berbeda, out of the box. Ingin menulis sesuatu yang berbeda, agar pembaca berpikir apa yang mau disampaikan penulis, tertarik untuk menggali pemikiran penulis, dan menimbulkan kesan tersendiri, misalnya: horor, sesuatu yang membuat terluka, dan emosi perasaan.

April juga mengucapkan terima kasih kepada Bali Politika yang telah mengapresiasi karya 63 penulis dari berbagai penjuru Indonesia ke dalam buku antologi rendezVOUS!. Ini mengisyaratkan bentuk pertemuan atau silaturahmi antar penulis yang karyanya ada di dalam buku dan saling mengapresiasi. Inilah makna dari rendezVOUS!, pertemuan.

Selanjutnya, sebelum Jengki memberikan pengantarnya, ada pembacaan senandung puisi (pembacaan puisi diiringi gitar) oleh Moch Satria Welang & Yoga. Puisi yang dipilih untuk disenandungkan adalah “Di Antara Pembatas Gerbangkarya Aris Setiyanto dan “Puisimu Bernyanyi di Langitkarya Dewa Gede Kumarsana.

Dalam pengantarnya sebagai redaktur, Jengki mengawali dengan salam kepada para donatur, ilustrator, sastrawan, penulis, mahasiswa, dan jurnalis yang datang hadir malam itu. Disampaikannya bahwa sastra itu, terutama puisi, marginal, sangat jauh dari gemerlap dunia, hiruk pikuk dunia hiburan, dan ini adalah sebuah gerakan senyap yang selalu dinafasi “orang-orang gila“, yang terus konsisten memperjuangkan ruang-ruang puisi.

Ide awal membuka ruang sastra di media online Bali Politika seperti yang sudah disampaikan di atas. Di mana media cetak banyak yang berguguran, karena berbagai sebab, terutama maraknya media online. Banyak penulis akhirnya harus berjuang mencari ruang-ruang alternatif yang mewadahi karya mereka, seperti instagram, facebook, dan media online lainnya.

Bali Politika menjadi salah satu alternatif pemuatan karya penulis di media online. Sejak dibukanya ruang sastra pada 3 Maret 2022, Bali Politika sudah memuat lebih dari 350an puisi. Penayangan puisi di Bali Politika dilakukan dua kali seminggu. Ini merupakan sebuah capaian yang tidak main-main. Puisi telah membanjiri republik, membanjiri dunia, menjadi ruang teduh, dan juga hiburan kontemplatif. Di tengah-tengah kekacauan atau chaostik, tabrakan berbagai kepentingan, persoalan politik, dan hidup-kehidupan itu sendiri. Puisi telah menjadi air sejuk di tengah padang gurun. Para penulis dari berbagai penjuru Indonesia sangat antusias mengirimkan karyanya ke rubrik sastra Bali Politika.

Seleksi puisi-puisi pilihan Bali Politika di buku antologi rendezVOUS! ini melalui dua tahapan seleksi. Pertama, seleksi pemuatan karya puisi yang dikirim ke Bali Politika dan ditayangkan. Kedua, seleksi pemilihan puisi-puisi yang telah ditayangkan di Bali Politika dan dipilih untuk dibukukan dalam antologi. Jengki juga menyampaikan terima kasih kepada ilustrator yang telah mendukung dengan pembuatan gambar ilustrasi-ilustrasi setiap karya puisi yang diterbitkan di Bali Politika. Puisi dan lukisan saling melengkapi dalam penyajian karya di Bali Politika.

Kemudian Ida Bagus Gede Ary Wijaya Guntur, S.E., M.M. yang mewakili Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali sebagai salah satu donatur memberikan sambutan. Dalam sambutannya disampaikan bahwa minat masyarakat, khususnya anak-anak muda dalam literasi sangat rendah, padahal manfaat literasi sangat besar. Secara umum literasi diartikan sebagai seperangkat kemampuan atau keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, dan memecahkan masalah dalam tingkat keahlian tertentu dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu upaya untuk lebih menggairahkan literasi sejak dini, puisi merupakan salah satu jawabannya. Puisi adalah salah satu seni sastra yang berbentuk tulisan, bisa memberikan kenangan, bisa diekspresikan di atas panggung, dan bisa dihadirkan sepanjang masa. Selain juga dengan puisi bisa mengungkapkan curahan hati yang tidak bisa diungkap secara gamblang pada keadaan tertentu. Seni sastra pada umumnya bisa dinikmati oleh siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Dengan diadakannya peluncuran antologi ini diharapkan mampu menjangkau semua penulis di Bali pada khususnya, dan di seluruh Indonesia pada umumnya. Bali Politika mampu mengapresiasi dan telah memberikan ruang untuk puisi di rubrik sastranya.

Kesempatan berikutnya adalah prosesi potong tumpeng untuk perayaan ulang tahun Bali Politika yang ke-3. Dalam kesempatan ini Jengki membacakan puisi John Cornford berjudul “Huesca” yang diterjemahkan oleh Chairil Anwar. Puisi dari seorang milisi perang yang mengungkap tentang kesetiaan dan dedikasi. Puisi ini ditulis John ketika bergabung dengan Brigade Internasional, dalam perang saudara di Spanyol.

Kutipan puisinya adalah sebagai berikut :

Jiwa di dunia yang hilang jiwa
Jiwa sayang, kenangan padamu
Adalah derita di sisiku
Bayangan yang bikin tinjauan beku

Angin bangkit ketika ketika senja
Mengingatkan musim gugur akan tiba
Aku cemas akan kehilangan kau
Aku cemas pada kecemasanku

Di batu penghabisan ke Huesca
Di batas terakhir dari kebanggaan kita
Kenanglah sayang, dengan mesra
Kau kubayangkan di sisiku ada

Dan jika untung malang menghamparkan
Aku dalam kuburan dangkal
Ingatlah sebisamu segala yang baik
Dan cintaku yang kekal.

Sebelum acara inti pembedahan buku puisi, April Artison membacakan puisi berjudulMoksa, Jalan Sunyi Satria Kisiknarmada: Antasenakarya Chris Triwarseno. April sangat menjiwai saat membacakan puisi yang bertema filosofi hakekat kesejatian tersebut. Aksi teatrikalnya cukup menawan, menjadikan puisinya hidup dan melebur dalam permainan intonasi serta gerak tubuhnya. Tak berhenti di situ saja puisi-puisi itu dipentaskan, berikutnya komunitasBudang Bading Badungtampil memukau dengan musikalisasi puisi dengan aransemen kreatifnya.

Memasuki acara inti, yaitu bedah buku rendezVOUS!. Pembedahnya adalah Made Adnyana Ole, seorang sastrawan Bali, yang melabeli dirinya di instagram sebagaiTukang Cerita-Tukang Berita“, yang juga adalah founder tatkala.co.

Dalam ulasannya pada saat membedah buku tersebut, Ole menyampaikan tidak bisa lepas dari bayang-bayang dirinya yang (juga) penulis puisi. Puisi sudah seharusnya hidup dan membanjiri dunia kehidupan kita. Mungkin karena itu juga, Bali Politika memberikan ruang sastra, khususnya puisi di dalamnya. Padahal sejatinya Bali Politika adalah media berbasis online yang bergenre politik.

Menurut Ole, puisi yang ada sekarang sulit dibedakan dengan tulisan-tulisan yang seakan-akan puitis di media sosial. Banyak kata-kata berserakan di media sosial, siapa saja bisa mengunggahnya tanpa ada swasunting. Berbeda dengan puisi di media online, hanya puisi yang lolos kurasi dari seorang redaktur yang boleh diterbitkan dan diunggah di media online untuk akhirnya bisa dibaca oleh semua orang.

Penyair dan puisi akan bekerja sesuai dengan zamannya. Pada masa jayanya media cetak dahulu, seorang penulis akan dikenal jika karyanya bisa menembus media tersebut. Karya-karya tersebut sudah melalui proses panjang dari penulisnya, menemukan ide, menuliskan, dan melakukan swasunting sebelum akhirnya dikirim ke media. Itulah perjuangan sesungguhnya seorang penulis, yang kemudian bisa dibaptis sebagai penyair jika karyanya dimuat di media cetak.

Era sekarang banyak persaingan yang cukup ketat, karena hampir semua orang juga bisa menulis puisi. Penulis sekarang harus berjuang melawan kata-kata yang berserakan di media sosial dan juga melawan penulis-penulis puisi lain yang jumlahnya banyak sekali. Berbeda dengan penulis era lama, penulis cukup berkonsentrasi menulis puisi yang bagus. Selanjutnya sistem di luar penulis yang bekerja. Seperti misalnya seorang penulis berhasil menembus media, maka dia akan menjadi terkenal tanpa harus bersusah-payah. Media massa yang akan mempublikasikan dan membuat penulis terkenal, karena distribusi karyanya akan disebarkan ke seluruh khalayak. Media tersebut mempunyai distributor, loper koran, dan distribusi lainnya yang menjangkau wilayah publikasi yang lebih luas.

Dari referensi di atas, maka redaktur akan mempunyai tantangan tersendiri. Redaktur akan dihadapkan pada kualitas penulis-penulis dengan latar belakang dan kondisi seperti yang sudah dipaparkan di atas. Untuk menulis puisi di media online, tidaklah sama ketika menulis di media sosial. Satu hal lagi yang menjadi sorotan pembedah buku, puisi-puisi terpilih Bali Politika sepertinya tidak ada yang bertema politik. Sepertinya para penulis tidak tertantang, sekedar mencoba pun tidak dilakukan. Padahal ini bagus untuk mempertajam tema-tema yang dipilih untuk dituangkan dalam puisi.

Sebagian besar tema-tema yang diangkat dalam antologi puisi Rendezvous hanya tema-tema yang itu-itu saja. Tidak jauh dari diri masing-masing penulis, kesedihan, kehilangan, tematik tempat tertentu, dan aku-dia. Sejatinya perjuangan untuk memilih tema-tema bagus inilah yang akan mengalahkan kualitas kata-kata yang banyak berserakan di media sosial.

Banyak sekali kata-kata di media sosial yang seolah-olah mirip dengan puisi, misalnya pitutur, khotbah, dan ajakan-ajakan yang (hanya) bertujuan untuk mendapatkan followers. Puisi tidak begitu, puisi mengandung rasa-bahasa, kejujuran, dan keheningan yang harus selalu terjaga untuk mengalahkan keriuhan-keriuhan itu. Belum banyak ditemukan perjuangan untuk itu di dalam buku antologi ini. Tema puisi satu dengan yang lain hampir mirip, tidak ada yang memberi ciri bahasa, bentuk dan pencariannya.

Inilah fakta-fakta yang dihadapi redaktur. Meskipun itu bukan kesalahan, tetapi seharusnya penulis mampu menemukan tema-tema yang menarik untuk redaktur. Bisa jadi salah satu penyebab tidak adanya puisi-puisi istimewa di dalam buku ini karena masing-masing penulis hanya dimuat satu karya. Perbandingan dan perkembangan tema yang dipilih penulis tidak bisa kita lihat secara obyektif. Nilai-nilai kelokalan pun nyaris tidak diambil sebagai nafas perjuangan penulis dalam buku ini. Maka tidak mengherankan jika nantinya kualitas puisinya tidak lebih dari janji-bual yang berserakan di media sosial.

Apakah penulis-penulis sekarang terpengaruh dengan stereotip tulisan di media sosial? Seperti galau tidak punya pacar-menulis curhatan, tidak ada yang diajak malam mingguan-menulis curhatan, dan lain-lain. Bisa saja ini terjadi. Karena tulisan-tulisan itu menyergap kita dan menyeruak ketika kita sedang berselancar di media sosial. Hal yang sangat berbeda di era media cetak, di mana pembaca atau penulis hanya memusatkan pada halaman yang ada rubrik sastranya. Tidak ada distraction dengan tulisan-tulisan lain seperti di medsos tadi.

Penulis-penulis puisi juga harus mempunyai pemahaman bahwa redaktur rubrik sastranya juga seorang penyair. Jadi jika mau menulis puisi ya harus bagus atau lebih baik dari puisi redakturnya. Makanya perjuangan penulis sekarang berat. Jika menyerah begitu saja, kualitas tulisannya tidak lebih dari tulisan-tulisan di grup facebook, grup whatsapp, dan grup media lain. Tanpa ada kurasi untuk menakar kualitasnya.

Apa yang seharusnya dilakukan untuk mendapatkan puisi-puisi yang bagus? Ini yang perlu didiskusikan. Sudah seharusnya puisi-puisi itu diperjuangkan dengan benar sesuai rasa-bahasa, dibedakan dari pitutur, khotbah dan ajakan-ajakan yang berserakan di media sosial.

Bagaimana kita bisa melakukan provokasi untuk mendapatkan penulis yang bagus? Hal yang tidak mudah, karena minat dari anak-anak muda sekarang sangat beragam. Misalnya pun ada yang menulis tidak lebih dari tujuan konten dan follower semata. Contoh mudahnya adalah ada seorang yang menuliskan beberapa hal klise yang sarat motivasi dan dia mempunyai banyak follower. Sedangkan penulis puisi yang serius berjuang tidak mempunyai banyak follower. Kontradiktif bukan? Perjuangan penulis sangat berat dan terjal.

Menurut Ole mungkin perkembangan puisi-puisi di Bali Politika ini bisa dilihat dua sampai lima tahun mendatang. Karena gagasan rubrik sastra dan membukukan puisi-puisi pilihan ini baru berjalan kurang lebih satu tahun. Menurutnya, perkembangan akan terjadi jika penulis-penulis kembali kepada keheningan, kejujuran, rasa yang tidak membual, dan bahasa yang tidak berusaha menabur janji.

Setelah sesi bedah buku berakhir, banyak diskusi terjadi, dari pertanyaan-tanggapan penanya dan pembedah maupun redaktur sastra Bali Politika. Salah satunya adalah moderator yang menanyakan seberapa penting Bali Politika membukukan puisi-puisi penulis yang berhasil masuk kurasi.

Menurut Ole, buku adalah monumen atau penanda yang dengannya orang akan gampang mencari atau menelusuri jejak karya penulis. Meskipun sudah dimuat secara online, tetapi sebaiknya tetap dibukukan. Bagi Ole buku fisik lebih menyenangkan, simple, dan bisa memudahkan penelusurannya.

Sebelum dilanjutkan pada diskusi lanjutan pertanyaan-tanggapan, ada beberapa pembacaan puisi kembali. Obe Marzuki membawakan puisiTukang Fotokarya Fariz Al Faizal dan Pranita Dewi membawakan puisiMarewakarya Wina Bojonegoro. Pembacaan puisi kali ini juga tidak kalah serunya, masing-masing membawakannya dengan apik dan menarik.

Selanjutnya Jengki memberikan tanggapan dari apa yang sudah dipaparkan oleh pembedah buku. Menurutnya diskusi malam itu cukup menarik, karena kapasitas pembedah dalam memaparkan banyak hal tentang sastra. Media online kurang lebih sudah dikelola oleh orang-orang yang kompeten. Tantangan media online dibandingkan media cetak adalah seolah-olah dianggap media “gampangan“. Jengki selaku redaktur harus menurunkan egonya sebagai penyair. Redaktur masih menerima kiriman naskah puisi mentahan, tidak matang, muntahan, dan sekali tulis langsung kirim.

Beda cerita dengan media cetak, lebih terkesan berwibawa, mempunyai oplah besar. Redaktur akan lebih leluasa dengan kekuasaannya. Ditambah lagi adanya honor sebagai pemancing penulis yang karyanya dimuat atau diterbitkan. Sedangkan media online masih permisif dalam menyeleksi naskah yang akan dimuat.

Kurangnya pengendapan dan swasunting karya tidak hanya terjadi pada penulis pemula, tetapi termasuk beberapa penulis senior. Pengaruh tulisan-tulisan media sosial dibawa ke ranah puisi atau sastra secara umum. Sastra itu rigid, sakral, serius, taat bahasa, ejaan dan lain-lain. Acapkali redaktur mengalami konflik batin untuk membuat keputusan, meloloskan atau tidak?

Jengki menegaskan jangan pernah menganggap media online itugampangan“. Seharusnya penulis-penulis pemula belajar memberikan penghargaan atas karya sastra, dengan mengirimkan karya terbaiknya dan melakukan swasunting naskah sebelum dikirim. Meskipun pemuatan karya tersebut tanpa honor. Perjuangan penulis sejatinya adalah bertarung dengan bahasa, tata bahasa, ejaan, dan hal-hal elementer tentang bahasa, bukan sekadar iseng asal kirim ke media online.

Pertanyaan berikutnya dari Imam Barker, tentang seberapa besar diksi-diksi diperlukan di dalam sebuah puisi dan apakah ilustrasi gambar di sampul buku sudah merepresentasikan keseluruhan puisi di dalamnya. Terakhir dia mempertanyakan kenapa memilih judul dalam Bahasa Prancis.

Penanya lain, Made Sujaya menyampaikan bahwa setiap kali ada diskusi terkait puisi, ya selalu begini. Ada semacam pesimisme dan tidak berkembang. Dia mencontohkan, diskusi di Balai Bahasa Bali sebelumnya, kurang lebih tiga tahun lalu. Pembicaranya pada saat itu adalah Arif Bagus Prasetyo, membahas kumpulan puisi Saron yang diterbitan Jatijagat Kehidupan Puisi tahun 2018. Semangatnya sama, dalam buku itu hanya menampilkan masing-masing satu puisi dari setiap penulis yang ada dalam buku itu. Kritik Arif pun sama, stagnasi dunia perpuisian. Apakah memang dunia puisi kita ada dalam pesimisme? Jika iya, berarti ada sesuatu terkait dengan kreativitas penulis.

Pertanyaan selanjutnya dari Made Sujaya, apakah pemuatan karya puisi dua kali dalam seminggu tidak terlalu cepat? Mungkin bisa jadi ini yang membuat redaktur tidak bisa menemukan puisi yang bagus. Sebagai referensi disampaikan bahwa dulu ketika era Umbu Landu Paranggi mengasuh ruang sastra di Bali Post, pemuatan puisi hanya satu kali seminggu. Apakah rubrik yang dikelola Umbu pernah mengalami stagnasi? Iya sama. Sehingga Umbu waktu itu meminta orang-orang terdekat untuk membuat naskah puisi.

Menurutnya juga perlu disampaikan berapa banyak penyair yang sudah mengirimkan naskah dan berapa yang lolos dan tidak lolos kurasi? Ini menjadi penting untuk mengukur seberapa dahsyatnya kompetisi dalam kepenyairan. Dan apakah kepenyairan Indonesia bisa direpresentasikan di dalam buku antologi itu, karena penulis-penulisnya berasal dari seluruh pelosok Indonesia?

Dari beberapa pertanyaan tersebut, Ole menyampaikan bahwa beberapa diksi itu diperlukan. Diksi adalah senjata, meskipun bukan yang utama, diksi mampu memberi kekuatan lain pada sebuah puisi. Tidak banyak penulis yang dalam perjuangannya gigih mengejar diksi. Dia mencontohkan, dulu naskah puisi itu banyak sekali corat-coretnya. Itu dilakukan untuk memperjuangkan pemilihan diksi yang bagus. Tidak seperti perjuangan yang sekarang, tidak sampai berdarah-darah, ketik langsung kirim, dan tanpa diperiksa lagi. Maka pada akhirnya hanya akan muncul kata-kata biasa-sudah umum, tidak ada yang spesial, sama seperti bahasa-bahasa media sosial.

Ole mengatakan setiap kita membicarakan dunia puisi, mungkin akan ada pesimisme. Tetapi pada saat sedang berjuang untuk menuliskan puisi, kita sedang dalam optimisme. Karena terbiasa untuk mencari kelemahan-kelemahan tulisan saja, tetapi tidak membiasakan mencari sesuatu yang lebih baik dalam menulisnya. Ini mungkin yang lebih tepat kita sebut pesimisme. Dan hasil karyanya tidak ada yang beda, biasa-biasa saja. Rubrik sastra Bali Politika ini menjadi sebuah semangat menumbuhkan optimisme. Ole belum bisa menemukan sesuatu yang berbeda pada hampir semua puisi di dalam buku Rendezvous ini.

Sejurus kemudian Jengki menambahkan bahwa diskusi ini menarik, terutama membicarakan media online. Menurutnya menjadi kurator di media online, apalagi kurator tunggal, banyak ditemukan konflik batin. Jika menerapkan kurasi yang ketat, kemungkinan sulit mendapatkan naskah puisi yang dimuat dua kali dalam seminggu. Tetapi jika kurasi terlalu longgar, maka akan banyak ditemukan naskah-naskah yang belum matang. Untuk tahun-tahun selanjutnya, kurasi puisi yang diterbitkan dalam buku akan diperketat.

Sudah seharusnya media online dimanfaatkan untuk pemuatan karya yang lebih baik dan mendapatkan apresiasi. Menurut Jengki, puisi-puisi pilihan di dalam rendezVOUS! cukup bisa merepresentasikan ke-Indonesia-an, dalam konteks eksplorasi perpuisian Indonesia. Namun, di sisi lain, memang terasa terjadi stagnasi-kurang ada kegigihan, kegilaan, gaya ucap baru, dan tematik baru. Diharapkan ke depan akan semakin banyak lahir karya-karya yang lebih gigih dalam hal eksplorasi puisi.

Sekarang bisa dibilang Indonesia surplus puisi tetapi minim kritik puisi. Perpuisian di Indonesia harus diimbangi dengan lahirnya kritik-kritik yang kuat, yang tidak ewuh-pekewuh dalam mengritisi puisi. Dari referensi ini mungkin ke depan Bali Politika juga perlu membuka ruang kritik sastra dalam rubriknya.

Kemudian Jengki menjelaskan kenapa memilih rendezVOUS! menjadi judul buku puisi-puisi pilihan Bali Politika. rendezVOUS! sendiri berarti sebuah pertemuan. Dalam konteks ini berarti pertemuan karya para penulis yang dimuat dalam buku tersebut.

Pada sesi pertanyaan yang terakhir, Erick Est menyampaikan bagaimana jika ada pengembangan kolaboratif puisi secara kekinian. Seperti halnya pemanfaatan teknologi yang lebih bisa masuk pada segmentasi anak muda. Dia menganalogikan hal sederhana yang dialami anak muda sekarang. Jika buku fisik antologi puisi ini kita berikan ke mereka, pasti mereka tidak akan membacanya. Alih-alih mereka hanya akan mengunggah foto buku itu bersamanya dan memberikan beberapa caption yang lebih pada personal branding saja. Untuk itu, maka bagaimana kolobarasi puisi ke dalam video clip, film, music dan lain-lain menjadi sebuah terobosan baru tentang stagnasi puisi ke depan. Sehingga puisi benar-benar lebih bisa membantu memvisualisasikan beragam kolaborasi bagi penikmat puisi pada khususnya, dan bagi masyarakat pada umumnya.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Ole menyampaikan bahwa sebenarnya sudah ada alih wahana untuk puisi. Misalnya bagaimana puisi bisa masuk ke dalam teater, puisi di dalam film, dan lain-lain. Maka sudah seharusnya puisi ini berkolaborasi lintas penulis naskah, teater, pelukis dan film. Sehingga terjadi sentuhan-sentuhan puisi yang lebih bisa menjiwai di dalam karya-karya tersebut. Seharusnya inilah yang diperjuangkan. Sehingga bisa menjawab stagnasi-pesimisme puisi.

****

Bedah buku, pertanyaan-jawaban dan diskusi akan selalu menjadi bahan-bahan kajian yang terbarukan. Masing-masing pembedah, redaktur dan peserta akan mempunyai sudut pandang masing-masing pada obyek yang didiskusikan. Dari kegiatan bedah buku rendezVOUS! di atas, kita bisa melihat bagaimana banyak hal berubah dan berdampak pada kegiatan kepenulisan, dalam hal ini puisi. Misalnya perkembangan dan perubahan media, dari media cetak ke media online; penyair dan puisi akan bekerja sesuai dengan zamannya masing-masing; rendahnya minat literasi; stagnasi-pesimisme puisi; dan lain-lain.

Sepertinya Wayan Jengki Sunarta sedang atau telah terjebak di dalam fenomena sastra yang hanya sepintas lalu. Seperti yang pernah dituliskan Budi Darma di dalam kumpulan esai sastra Solilokui yang berjudul Milik Kita: Sastra Sepintas-Lalu. Esai yang ditulis pada tahun 1981-1982, hampir lebih dari empat dekade sebelum Bali Politika meluncurkan buku puisi rendezVOUS!. Ini menjadi hal yang menarik, apakah dunia perpuisian senyatanya mengalami stagnasi-pesimisme? Tepat seperti pembahasan dalam bedah buku tersebut. Mungkin benar adanya, bahwa sastra kita, khususnya puisi dalam hal ini memang haya sastra sepintas-lalu.

Banyak fakta menyeruak di dalam diskusi buku rendezVOUS! yang mendukung pernyataan ini. Fakta pertama, tinjauan dari sisi penulis; baik Jengki dan Ole sepakat bahwa penulis-penulis era sekarang menganggap media online sebagai media “gampangan”. Jadi dengan mudahnya menulis ala kadarnya, tanpa swasunting, menulis sekali jadi langsung kirim, dan tidak ada beda dengan banyaknya kata-kata yang berserakan di media sosial. Fakta kedua, surplus penulis- nol kritikus; ketika puisi membanjiri kita dengan kualitas yang ala kadarnya dan tanpa kehadiran kritikus akan memperparah kualitas puisi yang pada akhirnya ya hanya sepintas-lalu.

Apa yang sebenarnya menjadi persoalannya? Seperti paparan di dalam bedah buku, baik redaktur maupun pembedah menyampaikan bahwa sekarang kita mempunyai banyak penulis. Dengan berbagai kemudahan di era teknologi digital, memungkinkan siapa saja, kapan saja, bisa menulis puisi apa saja. Tetapi apakah mereka mempunyai kualitas sebagai penulis puisi? Kebanyakan dari penulis pemula hanya mencoba-coba, tidak serius, kemudian berhenti. Ada yang mungkin memperjuangkan kepenulisannya, kemudian berhenti. Ada yang mampu bangkit setelah berhenti menulis, memulai lagi, dan berhenti lagi. Keseriusan mereka dalam berpuisi hanya sepintas-lalu.

Kualitas puisi yang mereka kerjakan juga ala kadarnya. Mereka hanya mengandalkan kata-kata di media sosial yang diklaim puitis. Tulisan-tulisan tersebut menyergap dan menyeruak ketika mereka berselancar di media sosial. Dan mereka tidak bertarung dengan bahasa, tata bahasa, ejaan dan hal-hal elementer tentang bahasa. Mereka mengirimkan naskah puisi mentahan, muntahan, sekali tulis langsung kirim ke media. Mereka lekas kecapekan dan lekas menyerah.

Menurut Budi Darma, jika kita semata-mata menilai mereka sebagai penulis, tentu saja kesalahan-kesalahan tersebut bisa kita alamatkan kepada mereka. Dan memang, sebagai penulis mereka tidak memperjuangkan puisi sebagaimana mestinya, mereka wajib menerima tuduhan kesalahan. Mereka sendiri yang harus mempertanggungjawabkan mengapa mereka maunya instan, tidak punya greget, dan tidak mempersiapkan kejelian dalam diri mereka sendiri. Allih-alih kita menuduhnya: mereka tidak mempunyai bakat menulis puisi.

Sepertinya tidak bisa demikian, sepertinya bakat menulis di era sekarang itu sudah menjadi sebuah keharusan. Media sosial telah menjadi lahan mereka untuk menuliskan apa saja, di mana saja dan kapan saja. Banyak sekali tulisan-tulisan bertebaran di media sosial, media online, dan mungkin juga catatan-catatan personal di gawai mereka sendiri.

Kurasi media baik cetak maupun online, sejatinya adalah alat untuk mengetahui lebih banyak mengenai bakat penulis. Terlepas dari penulis pemula ataupun penulis senior. Dengan proses kurasi maka setiap penulis akan bisa menyadari kapasitas dan kualitas menulisnya. Kurator dengan hak mutlaknya, secara tidak langsung sedang mendiagnosa gejala-gejala penyakit yang ada di dalam puisi penulisnya. Naskah yang ditolak redaktur, serupa catatan-catatan dokter yang berisi resep obat untuk kesembuhan pasien. Jadi pasien, dalam hal ini penulis, harus mampu melakukan evaluasi dan perbaikan terhadap naskah selanjutnya. Jadi sebenarnya kesempatan menjadi penulis ada di tangan mereka masing-masing, terlepas berbakat atau tidak.

Dalam satu perspektif, mungkin ada perbedaan antara penulis berbakat dan penulis pemula yang hanya coba-coba. Para penulis berbakat ingin tembus kurasi media, sedangkan penulis pemula yang coba-coba hanya ingin mendapatkan status saja, lolos atau tidak kurasi bukan sebuah ukuran. Penulis berbakat akan mengasah kemampuannya dengan memillih tema yang bisa diolah menjadi bahan tulisan dan dikembangkan. Penulis pemula yang coba-coba hanya akan menulis sesuatu yang tidak jauh darinya. Tema-tema seperti : kesedihan, kehilangan, berlatar suatu tempat, dan aku-dia akan menjadi tema sentral yang tidak pernah berkembang baginya.

Budi Darma mengkategorikan penulis yang coba-coba itu sebagai orang yang terjangkit penyakit inertia. Mereka tetap mempunyai keinginan, akan tetapi malas bertindak untuk mencapai keinginan tersebut. Kemauan yang kuat, apalagi disiplin kerja, tidak dimiliki. Maka mereka pun tidak berkembang sebelum menjadi penulis berbakat. Sejarah sastra menunjukkan, bahwa penyakit inertia memang merajalela. Mereka menulis seolah-olah sambil-lalu.

Menurut Thomas Alva Edison, untuk mencapai sesuatu orang memerlukan satu persen inspirasi dan sembilan puluh sembilan persen perspirasi alias kerja keras. Jadi untuk menjadi penulis berbakat seharusnya merujuk pada besaran perspirasinya, tidak hanyaalon-alon waton kelakon”. Pemikiran penulis berbakat akan memusatkan hasrat untuk berdarah-darah memperjuangkan naskahnya. Halangan baginya harus berlalu. Tidak mau hanya berusaha sambil-lalu.

Di dalam esainya, Budi Darma menyampaikan adalah bukan kebetulan, seperti yang pernah disinyalir oleh Harry Aveling dan Jakob Sumardjo, bahwa kebanyakan penulis kita intelektual. Tentu saja pengertianintelektualtidak harus identik dengan pendidikan formal yang tinggi, melainkan dengan sikap yang selalu ingin belajar, dan jalan pikiran yang menunjukkan kemampuan berpikir yang baik. Kemampuan intelektual memang merupakan salah satu syarat yang penting untuk menjadi penulis yang berbakat.

Disadari atau tidak, kadang penulis yang coba-coba adalah narsiskus. Mereka bersolek dan membaca karyanya sendiri, tanpa memperhatikan karya orang lain. Mereka tidak mau memperhatikan perkembangan penulis berbakat di luar diri mereka, cukup melihat sepintas-lalu. Di sisi lain penulis berbakat akan greget, gigih, tekun mengembangkan ide-ide menulisnya, mencari kebaruan tema-tema yang dipilih, dan think out of the boxtidak seadanya. Menjadikan puisi bukan hanya kata-kata berserak dan potongan-potongan kalimat yang tidak estetik. Mereka meninggalkan narsiskus, lebih menempatkan diri sebagai kritikus, setidaknya bagi karyanya sendiri.

Sepertinya ungkapan “Surplus Penulis- Nol Kritikusdari Jengki benar adanya. Kritik-kritik sastra yang dialamatkan kebanyakan berbentuk resensi buku, berita, atau wawancara. Tetapi kritikus tidak berperan sebagaimana mestinya, tidak jarang kritikan tersebut tidak mempunyai daya gugah. Tidak meninggalkan kesan mendalam-kontemplatif. Kritik-kritik sastra semacam itu hanya kritik sepintas-lalu, jadi jangan heran jika isi resensi hanyalah singkatan isi buku. Demikian yang disampaikan Budi Darma dalam catatan akhir esainya. (*/bp)

 

BIODATA 

Chris Triwarseno, alumnus Teknik Geodesi UGM, dan karyawan swasta yang tinggal di Ungaran. Penulis buku antologi puisi tunggal, cerpen dan esai. Buku antologi puisinya berjudul Bait-bait Pujangga Sepi (2022) dan Sebilah Lidah (2023). Buku antologi puisi bersamanya berjudul Puisi Yogya Istimewa, Lukisan Bumi, Alam Sejati , Puisi Untuk Dokter dalam rangka HUT Ke-72 Ikatan Dokter Indonesia. Beberapa puisinya memenangkan lomba cipta puisi dan dibacakan dalam event sastra. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen dan esai terbit di beberapa media cetak dan media online, seperti : republika.id, Kaltim Post, Suara Merdeka, Lombok Post, borobudurwriters.id, balipolitika.com, nongkrong.co dan lain-lain.

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!