DENPASAR, Balipolitika.com- Peribahasa “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” yang mengandung pesan untuk menghormati adat istiadat dan peraturan di tempat tinggal terang-terangan diabaikan Atlas Beach Club, Jalan Pantai Berawa Nomor 88, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.
Sikapi viralnya video yang menunjukkan Atlas Beach Club menggunakan gambar Dewa Siwa sebagai latar belakang pertunjukan musik Disc Jockey (DJ), Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali mengeluarkan pernyataan tegas bahwa tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali, Made Supartha didampingi anggota, yakni Ni Luh Yuniati, I Nyoman Suwirta, dan I Gusti Ngurah Gede Marhaendra Jaya menegaskan bahwa pihaknya ogah damai karena hal tersebut benar-benar melecehkan keyakinan umat Hindu.
“Sebuah club malam di Bali kedapatan menjadikan Dewa Siwa sebagai latar gambar untuk dijadikan latar belakang pertunjukan musik Disc Jockey (DJ). Secara filosofis tentu kegiatan tersebut dapat dinilai telah menodai keyakinan Agama Hindu, mengingat Dewa Siwa disucikan dan dipuja, dan Dewa Siwa adalah manifestasi Tuhan sebagai “pamralina” yang sangat disucikan, sehingga tidak tepat dan tidak layak ditempatkan sebagai latar belakang pertunjukan musik di tempat yang kurang tepat seperti club malam. Selain itu, menjadikan Dewa Siwa sebagai gambar latar belakang pertunjukan musik DJ tentu juga tidak memiliki hubungan dengan suatu perayaan atau pemujaan yang sifatnya hiburan seperti pada club malam yang tentu sangat tidak perlu untuk dipergunakan secara sembarang. Etika etis menjadi dasar bahwa menjadikan Dewa Siwa sebagai latar gambar pertunjukan musik DJ adalah perilaku yang salah dan tidak dapat dibenarkan,” tegas Made Supartha menyampaikan pendapat dalam konferensi pers yang berlangsung di Ruang Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali, Selasa 4 Februari 2025.
Secara bergantian I Nyoman Suwirta, I Gusti Ngurah Gede Marhaendra Jaya, dan Ni Luh Yuniati juga menyampaikan pandangan terkait penistaan terhadap keyakinan umat Hindu tersebut.
Dijabarkan bahwa sebagai dasar pemahaman bahwa mayoritas umat Hindu wajib juga percaya bahwa waktu berjalan dalam siklus yang disebut yuga.
Setiap siklus yuga memiliki jangka waktu yang berbeda dan dihubungkan dengan menjadikan Dewa Siwa sebagai gambar latar belakang pertunjukan musik DJ, sehingga tidak sesuai dengan siklus tersebut.
Apalagi di terdapat ajaran tentang desa sebagai tempat, kala sebagai waktu, dan patra sebagai keadaan, yang tentu menjadikan Dewa Siwa sebagai gambar latar belakang pertunjukan musik DJ tidak sesuai dengan pada tempatnya atau tidak sesuai dengan pada waktunya dan keadaan.
Selain itu, merujuk pada konsep tituler dari mitologi Hindu terdapat kalimat “Roda Waktu berputar, dan zaman datang dan berlalu, meninggalkan kenangan yang menjadi legenda.
Legenda memudar menjadi mitos, dan bahkan mitos pun sudah lama terlupakan ketika Zaman yang melahirkannya datang lagi sehingga menjadikan Dewa Siwa sebagai gambar untuk dijadikan latar belakang pertunjukan musik DJ menjadi batu sandungan bagi masyarakat Bali yang erat dengan kearifan lokal dan kebudayaan yang tentu bernafaskan agama Hindu, maka tentu wajib bagi masyarakat untuk selalu menjaga dan melindungi dari kegiatan-kegiatan yang terindikasi menodai ajaran, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara hukum perilaku tersebut patut dianggap telah melakukan dugaan praktek penistaan terhadap simbol kepercayaan dari Agama Hindu, penggunaan simbol yang disucikan dengan menjadikan Dewa Siwa sebagai latar gambar pertunjukan musik DJ tentu wajib dianggap telah melakukan praktik yang menyimpang atau penistaan agama.
Pasal penodaan agama termaktub dalam Pasal 156 a, Pasal 175, Pasal 176, Pasal 177, Pasal 503, Pasal 530, Pasal 545, Pasal 546, dan Pasal 547 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta diatur dalam UU No 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan atau Penodaan Agama sehingga harus terdapat pihak terutama pihak pengelola yang dapat menerangkan, baik dalam bentuk klarifikasi hingga menjelaskan, apa maksud dan tujuan, dan siapa pun pelaku yang harus bertanggung jawab, terutama pertanggungjawaban dari aspek-aspek sosial dan kebudayaan maupun secara hukum terkait penistaan terhadap simbol kepercayaan dari Agama Hindu.
“Perihal maksud dan tujuan dari pelaku termasuk pengelola tempat hiburan tentu harus bertanggung jawab, baik dari aspek-aspek pertanggungjawaban sosial dan kebudayaan maupun secara hukum terkait penistaan terhadap simbol kepercayaan dari Agama Hindu, mengingat apabila hal ini tidak dilakukan maka penistaan terhadap simbol lain juga berpotensi terjadi dan tidak ada efek jera,” tegas Made Supartha.
“Mengingat penggunaan simbol yang disucikan dengan menjadikan Dewa Siwa sebagai latar gambar pertunjukan musik DJ tentu memiliki dasar secara hukum yang jelas bagi aparat penegak hukum untuk melaksanakan tindakan dengan melakukan penyelidikan secara komprehensif sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan terkait yang berlaku,” tutupnya. (bp/ken)