“Di setiap rintangan yang kau hadapi, kebahagiaan dan cahaya selalu menanti di ujung perjalananmu.”
Tenesa sedang mengepang rambutnya. Kali ini, ia bertekad mengalahkan matahari, tidak untuk menjadi musuh, tetapi kawan sejati.
Cahaya surya adalah musuhnya, semenjak ia divonis buta seutuhnya. Tenesa tak dapat melihat lagi, tidak dapat bercengkrama dengan warna warni bumi, dan tak dapat mengetahui, hujan yang terkadang berganti panas.
Dunianya kelabu, hitam putih. Ia tak dapat melihat, semenjak lahir karena kondisinya. Mempelajari huruf braille, bersekolah pada sekolah berkebutuhan khusus, tapi semua itu, dilaluinya dengan ceria, tanpa berkeluh kesah.
Lirik duka tak pemah hadir, dalam aktivitas hidupnya. Tenesa selalu mencari cara, untuk menghibur hatinya, tak cuma untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk keluarganya. Tenesa tidak pernah membiarkan dirinya larut, dalam sedih berkepanjangan, kedua orang tuanya sangat bangga dengan ketegaran Tenesa.
Suatu hari tanpa diduga, ayah Tenesa mendapatkan undangan pernikahan dari salah satu sahabat dekatnya, yang akan melangsungkan pernikahan, untuk putri semata wayangnya. Burhanudin nama lengkapnya, sahabatnya itu kini bermukim di negeri tetangga, Singapura.
Lama tak berjumpa, mereka berdua saling berbincang, tanpa memperhatikan waktu. Hingga tak terasa, hari sudah menjelang maghrib. Mereka berdua menyusuri Orchard Street, sambil bernostalgia, bercerita satu sama lain. Ayah Tenesa juga bercerita, tentang kondisi putrinya. Pak Burhan menyambut dengan antusias, cerita tentang Tenesa. Prediksi pak Burhan, bahwa ada kemungkinan, untuk Tenesa dapat melihat kembali. Pak Burhan adalah seorang dokter spesialis bedah mata, yang bekerja di rumah sakit terbaik di Singapura.
Tiga hari setelah pertemuan itu, sahabat sang ayah, bertandang balik ke kota Balikpapan. Pak Burhan menginap, selama lima hari lamanya, di rumah keluarga Tenesa. Pak Burhan untuk pertama kalinya, bertemu Tenesa, dan memang gadis itu sangat cantik, dan supel di matanya. Tenesa tertegun tatkala sahabat ayahnya, pak Burhan berkata;
“Kau masih punya peluang besar, untuk bisa mendapatkan, penglihatan kembali.”
Pak Burhan berkata, sambil memegang lembut jemarinya. Tenesa merasa, kalimat itu, tak sekedar menghiburnya, namun sebuah peluang, untuk dicobanya. Tiga minggu setelah kepulangan pak Burhan, Tenesa dan orang tuanya berlibur, sambil mengunjungi Oma di wilayah Guangzhou, China.
Tenesa mendapatkan rekomendasi, untuk operasi cangkok mata. Ada pendonor yang sesuai, dengan kondisi matanya.
Tenesa bertanya tentang siapa pendonor itu, namun pak Burhan bersama ayahnya telah sepakat, untuk merahasiakan namanya. Semua itu dilakukan, atas permintaan pendonor yang bersangkutan.
Waktu berputar sedemikian cepatnya, tanpa terasa, sudah menjelang hari kelahiran Tenesa hari ulang tahunnya yang ke-20. Tenesa memilih, mendedikasikan hidupnya, untuk mempelajari ilmu kedokteran. Prinsipnya ia ingin membantu sesama, dengan kinerja maksimal yang dimilikinya. Tenesa memilih Seoul, sebagai tempat kuliah, untuk menimba ilmu kedokteran, yang dipilihnya.
Sesaat setelah jam kuliah usai, Tenesa memilih berjalan, menyusuri koridor kantin, menikmati kue beras pedas, lalu selepas itu, melangkahkan kakinya, untuk mengambil tasnya, di loker pribadi miliknya. Kampus yang dipilihnya, memang termasuk kampus yang menyediakan loker pribadi, bagi para mahasiswa dan mahasiswinya.
Surat itu ditulis, dalam kertas bercorak biru. Dimasukkan dalam amplop, berwarna senada. Tenesa mengambilnya, dari dalam kotak surat, dan membaca nama pengirimnya.
“Tumben ayah berkirim surat padaku.”
Seketika tangisnya pecah, saat ia membaca isi surat dari ayahnya, lantas ingatannya kembali, pada masa kanak-kanaknya.
14 Tahun lalu…
Tenesa lalu teringat, seorang anak laki-laki. Mereka berdua bertemu, saat usia Tenesa menginjak usia 6 tahun. Kala itu, berkunjung pada rumah Oma di Guangzhou, China. Namanya adalah Mao. Mao selalu memegang tangan kanan Tenesa, untuk menuntunnya meniti jembatan gantung, yang menyambungkan, rumah kecil di pinggir danau, kediaman pribadi keluarga Mao.
Mao bercerita tentang layang-layang. Seperti apa deskripsi, tentang musim semi. Warna bunga, cerita tentang kupu-kupu, dan hijaunya padang rumput. Mao kerap memberinya segelas jus wortel, untuk memberi semangat, pada Tenesa. Sekalipun saat itu, ia tahu dirinya tak bisa melihat lagi. Itu dulu, dan kini Tenesa bisa tahu, kebenaran cerita, tentang jasa, sahabatnya Mao.
Saat ia pulang, kembali ke Indonesia. Mao rajin berkirim kartu pos padanya, dan ayahnya selalu membacakan, isi pesan dalam kartu pos Mao padanya. Sayangnya sudah satu tahun, Mao tak berkirim kabar lewat pos, rumah di pinggir danau, sudah beralih kepemilikan, itu kabar dari Oma, saat Tenesa meneleponnya.
Mao meninggal pada usia 17 tahun, dalam suatu peristiwa kecelakaan lalu lintas yang menewaskan Mao, dan menyisakan duka perih pada keluarganya.
Sepeninggal kepulangan Mao, keluarganya menjual rumah di pinggir danau tersebut. Mao menitipkan pesan pada ibunya, bahwa jika dia meninggal terlebih dahulu dari ibunya, Mao meminta ibunya, untuk mendonorkan sepasang mata Mao, jika kondisinya masih layak, untuk membantu Tenesa. Mao berkata demikian, seakan tahu bila Tuhan menjemputnya lebih awal.
Tenesa memberi penghormatan, di depan pusara Mao, Mao yang berjasa untuknya. Mao yang berada di balik identitas sesungguhnya, pendonor baginya. Seoul terasa dingin, dan salju perlahan mulai turun.
Wo ai ni… Mao, Selamat tinggal Mao.
Terima kasih sudah memberiku, cahaya yang selalu kuimpikan sedari dulu. Terima kasih untuk menggenggam jemariku, dan bercerita tentang segalanya. Jus wortel itu support
Tanpa henti darimu. Tenesa pun berlalu dan Mao tersenyum dari tempatnya.
Tenesa melangkah perlahan di tengah hamparan salju yang turun dengan lembut di Seoul. Hatinya penuh dengan rasa haru dan terima kasih kepada Mao, sahabatnya yang telah memberinya cahaya dalam hidupnya. Meskipun Mao telah tiada, kenangan tentangnya tetap hidup dalam ingatannya.
Setelah mengunjungi makam Mao, Tenesa kembali ke kampusnya. Di sana, ia bertekad untuk menyelesaikan studinya dengan baik dan menjadi seorang dokter yang dapat membantu orang lain, seperti yang telah diimpikannya sejak kecil. Setiap langkah yang diambilnya, setiap ilmu yang dipelajarinya, adalah langkah menuju impian untuk membantu sesama.
Di tengah perjalanan hidupnya yang penuh liku-liku, Tenesa selalu mengingat kata-kata ayahnya, bahwa masih ada peluang besar baginya untuk mendapatkan penglihatan kembali. Ia percaya bahwa suatu hari nanti, cahaya akan kembali menyinari dunianya yang kelabu.
Dengan semangat dan tekad yang kuat, Tenesa melangkah maju. Ia tahu bahwa perjalanan menuju cahaya tidaklah mudah, namun dengan keyakinan dan tekad yang teguh, ia yakin bahwa suatu hari nanti, impian untuk melihat kembali akan menjadi kenyataan.
Dan di tengah dinginnya Seoul, diantara butiran salju yang turun perlahan, Tenesa melangkah dengan penuh keyakinan dan harapan. Cahaya yang selalu diimpikannya sedari dulu, kini semakin dekat, dan ia siap untuk meraihnya dengan tekad yang tak tergoyahkan. (*)
2024
BIODATA
Erna Wiyono nama asli Erna Winarsih Wiyono, lahir di Bogor pada 16 Oktober, adalah seorang jurnalis, perupa, penulis, creative design program, manajer Teddy Arte Lukisan Daun & Kopi, dan penari Indonesia. Karya-karyanya pernah dimuat di The Asianparent Community, potretmaluku.id, Sinar Indonesia Baru, Radar Jember, Halo Jember, Jawa Pos, dan lain-lain.
Kholilullah alias Holy, lahir di Denpasar, 9 Juni 1997. Ia belajar melukis secara otodidak. Ia pernah berpameran bersama di Universitas Indonesia (Jakarta, 2023) dan pameran tunggal di Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP, 2004). Selain melukis, dia aktif berjualan cilok untuk menghidupi dirinya.