Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Pendidikan

BEM Unud Kembali Catatkan 14 Tradisi Bali sebagai Kekayaan Intelektual Komunal

HKI: Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Udayana (Unud) Kabinet “Udayana Bangkit” melalui Departemen Kebudayaan menghadiri undangan Edukasi/Himbauan tentang Pencegahan HKI yang bertempat di Prime Plaza Hotel Sanur, Kabupaten Denpasar.

 

DENPASAR, Balipolitika.com- Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Udayana (Unud) Kabinet “Udayana Bangkit” melalui Departemen Kebudayaan menghadiri undangan Edukasi/Himbauan tentang Pencegahan HKI yang bertempat di Prime Plaza Hotel Sanur, Kabupaten Denpasar.

Dalam kegiatan tersebut dilakukan penyerahan sertifikat pencatatan Hak Kekayaan Intelektual untuk budaya yang sudah berhasil dicatatkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) oleh Departemen Kebudayaan, Badan Eksekutif Mahasiswa, Universitas Udayana.

Budaya-budaya tersebut, yaitu:
1. Kerajinan Gambelan Desa Tihingan dengan nomor pencatatan EBT :
2. Tari Rejang Pala dengan nomor pencatatan EBT : 51202300254
3. Tari Legong Kraton Pejaten dengan nomor pencatatan EBT : 51202300263
4. Tradisi Okokan Desa Adat Kediri dengan nomor pencatatan EBT : 51202300283
5. Tari Baris Memedi dengan nomor pencatatan EBT : 51202300285
6. Tari Gandrung Suwung Batan Kendal dengan nomor pencatatan EBT : 51202300288
7. Tari Janger Pegok dengan nomor pencatatan EBT : 51202300289
8. Tari Rejang Sutri dengan nomor pencatatan EBT : 51202300286
9. Tari Sang Hyang Sampat dengan nomor pencatatan EBT : 51202300287
10. Tradisi Mecaru Mejaga-Jaga dengan nomor pencatatan EBT : 51202300290
11. Tradisi Ritual Mebayang-Bayang dengan nomor pencatatan EBT : 51202300291
12. Tradisi Mabubu dengan nomor pencatatan EBT : 51202300292
13. Tari Joged Pingit dengan nomor pencatatan EBT : 51202300294
14. Tradisi Barong Nong-Nong Kling dengan nomor pencatatan EBT : 51202300295

Berikut sekilas gambaran mengenai budaya-budaya yang sudah disebutkan.

1. Kerajinan Gambelan Desa Tihingan
Desa Tihingan merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung. Desa Tihingan terkenal dengan mayoritas masyarakat yang ada di desa tersebut berprofesi sebagai pengerajin gambelan. Pembuatan gambelan ini sudah berdiri lama di desa tersebut dan sudah diwariskan secara turun temurun dan saat ini untuk menjaga kelestarian dari kerajinan ini maka didirikannya sebuah komunitas pengerajin gambelan di Desa tihingan yang bernama “Perkumpulan Sentra Pengerajin Gambelan Labda Karya Artha” yang terdiri dari banyak sekali pengerajin berbagai macam gambelan. Dibentuknya komunitas ini  tujuannya agar para mengerajin memiliki struktur komunitas organisasi yang terarah dan terjamin untuk kedepannya.

2. Tari Rejang Pala
Rejang Pala ada dan berkembang di sebuah Pura Balang Tamak, Br. Nongan Kaler, Desa Nongan, Kecamatan Rendang, Karangasem dan di Pasraman Desa Nongan, Br. Nongan Kaler, Desa Nongan, Kecamatan Rendang, Karangasem. Tari Rejang Pala sempat punah. Awalnya ketika menurut cerita sepuh-sepuh dulu terdapat Tari Rejang Pala namun tidak ada yang mau menarikan, hanya ada gelungan yang ditaruh di dalam godag (kotak yang terbuat dari anyaman bambu) dan hanya disungsung saat puncak acara Odalan di Pura Balang Tamak. Ketika ditarikan, temannya dapat mengambil buah yang ada pada gelungan jika merasa haus. Saat ini Tari Rejang Pala ditarikan setiap Odalan di Pura Balang Tamak dan Pura Desa Nongan. Tarian ini diiringi dengan alat musik gambang ataupun selonding. Tarian ini ditarikan sebagai persembahan kepada Tuhan pada saat Odalan di pura. Tarian ini juga merupakan upaya pelestarian hasil kebun khususnya buah dari warga setempat. Tari ini khusus ditarikan oleh perempuan yang masih gadis atau yang belum menikah.

3. Tari Legong Kraton Pejaten
Tarian Legong Kraton Pejaten berada di Banjar adat Pangkung, Desa Pejaten, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Tarian biasanya dilakukan ketika ada upacara adat di pura setempat, atau ketika ada yang meminta untuk ditarikan (kupah) oleh masyarakat setempat. Tarian ini bersifat sakral karena mahkota penari disucikan. Namun, tidak menutup kemungkinan tarian ini dapat dijadikan pertunjukkan. Tarian ini memiliki persyaratan dalam memilih penari, seperti belum menstruasi atau belum beranjak dewasa sehingga dalam pementasannya dilakukan oleh anak perempuan yang belum pubertas sebanyak 3 orang anak. Hal ini karena menurut penuturan narasumber, pernah terjadi suatu hal yang tidak diinginkan ketika menggunakan penari yang tidak memenuhi persyaratan.

4. Tradisi Okokan Desa Adat Kediri
Okokan adalah sebuah kalung atau keroncong yang terbuat dari kayu, dan biasanya digantungkan di leher sapi sebagai simbol kebanggaan. Okokan dapat ditemukan di Desa Kediri, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Ketika Okokan digoyangkan, ia mengeluarkan suara yang keras dan bergemuruh. Di Desa Adat Kediri, terdapat tradisi Okokan yang dilaksanakan setiap tahun pada pangrupukan atau nyangra sasih kesanga, yang merupakan hari terakhir dalam kalender bulan sasih. Di Desa Adat Kediri, Okokan memiliki kekuatan magis yang semakin kuat dan dianggap suci. Okokan juga dihiasi dengan tapel atau lukisan wajah Boma. Boma adalah ciri khas Okokan yang melambangkan sifat kemarahan atau keangkaramurkaan. Okokan ini juga diberi hiasan seperti kain (wastra) berwarna poleng atau hitam putih.

5. Tari Baris Memedi
Tari Baris Memedi adalah sebuah bentuk tarian sakral yang khusus dilakukan di daerah Tabanan, khususnya Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel. Tarian ini biasanya hanya dilakukan pada saat upacara atiwa-tiwa atau ngaben massal (ngerit). Dalam pelaksanaan Tari Baris Memedi, sekitar 15 orang atau lebih akan menari bersama-sama. Tarian ini dipercaya memiliki unsur spiritual yang kuat, dan tidak jarang terjadi kejadian kerasukan pada beberapa penari selama upacara berlangsung. Tujuan utama dari Tari Baris Memedi adalah untuk mengantarkan roh ke dunia lain, yaitu nirwana. Proses tarian dianggap belum selesai jika masih ada penari yang berada dalam keadaan tidak sadar atau kerasukan.

6. Tari Gandrung Suwung Batan Kendal
Tari Gandrung ada dan berkembang di tengah masyarakat Banjar Suwung Batan Kendal, tepatnya di Desa Adat Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar. Tari Gandrung selalu dipentaskan setiap 7 bulan (6 bulan kalender Bali) di Pura Dalem Batan Kendal Desa Adat Sesetan.Tarian ini termasuk tarian sakral yang bertujuan untuk menolak bala atau hal buruk.

7. Tari Janger Pegok
Tari Janger Pegok berada di Banjar Pegok, Desa Adat Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar. Tari Janger Pegok diperkirakan telah ada sekitar tahun 1936 dan terus berkembang hingga saat ini. Tari janger ini selalu dipentaskan di Pura Kesuma Sari, pada setiap 7 bulan (6 bulan kalender Bali), yang bertepatan pada nutug ketelun Bulan Purnama Kapat (tiga hari setelah hari bulan purnama di bulan September-Oktober). Yang dimana Purnama Kapat merupakan hari piodalan di Pura Kesuma Sari. Tari Janger ini adalah tarian yang masih terikat dengan unsur magis yang sudah turun temurun di tarikan.

8. Tari Rejang Sutri
Tari Rejang Sutrii ada dan berkembang di tengah masyarakat Desa Adat Batuan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Tari Rejang Sutri selalu dipentaskan pada Soma Kliwon Klurut, rahina Kajeng Kliwon Enyitan Sasih Kalima oleh masyarakat Batuan. Pementasan ini berlangsung setiap malam di wantilan Pura Desa lan Puseh Desa Adat Batuan sampai berakhirnya Sasih Kesanga yaitu hari Ngembak Geni, sehari setelah Hari Raya Nyepi. Hal ini dilakukan sesuai dengan kepercayaan masyarakat setempat yang meyakini bahwa selama sasih Kalima sampai sasih Kesanga itu merupakan sasih gering yang ditandai dengan berjangkitnya berbagai macam penyakit. Oleh karena itu, tarian yang diwarisi turun-temurun ini, pantang jika ditiadakan karena dipercaya bisa membahayakan.

9. Tari Sang Hyang Sampat
Tradisi unik yang terjadi di Banjar Puluk-Puluk, Desa Tengkudak, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan adalah “Tradisi Tarian Sang Hyang Sampat”. Tradisi ini dilakukan menjelang panen, khususnya pada musim tanam padi taun atau padi Bali, dan telah menjadi tradisi turun temurun di Banjar Puluk-Puluk. Tradisi ini dilaksanakan setiap satu tahun sekali sebelum Ngusabe Gede di Pura Bedugul. Tujuan dari tradisi Tarian Sang Hyang Sampat adalah untuk melindungi tanaman padi para petani dari serangan hama dan penyakit. Dalam budaya Bali, tanaman padi memiliki peranan penting dan dianggap sebagai anugerah dari para dewa. Oleh karena itu, melalui tarian ini, masyarakat berharap dapat menjaga keberlangsungan panen yang melimpah dan melindungi tanaman padi dari ancaman serangan hama atau penyakit.

10. Tradisi Mecaru Mejaga-Jaga
Mecaru Mejaga-jaga merupakan tradisi yang dilaksanakan masyarakat Desa Adat di wilayah Besang Kawan Tohjiwa, Kelurahan Semarapura Kaja, Kec. Klungkung Kab. Klungkung. Tradisi ini bertujuan untuk meminta kesuburan lahan pertanian dan menepis hal yang negatif. Upacara tradisi ini menggunakan sesaji dengan sarana utama binatang sapi dengan kondisi sempurna alias tanpa cacat.

11. Tradisi Ritual Mebayang-Bayang
Tradisi Mebayang-bayang berada Desa Adat Sengkiding, Desa Aan, Kec. Banjarangkan, Kab. Klungkung dan Catus Pata Desa Adat Sengkiding, Desa Aan, Kec. Banjarangkan, Kab. Klungkung, di Tradisi ini memiliki arti melakukan aktivitas atau gerakan tarik-menarik belulang godel (kulit anak sapi). Godel yang digunakan sebagai sarana pun harus betina dan hidungnya belum dicocok dan diyakini masih suci. Tradisi Ritual Mebayang-bayang ini bertujuan untuk mengusir pengaruh negatif yang datang dari luar Desa Adat Sengkiding.

12. Tradisi Mabubu
Tradisi Mabubu merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Adat Gelogor. Tradisi ini dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan buta kala atau sifat negatif yang ada di Desa Adat Gelogor. Tradisi Mabubu mulai dilakukan ketika masyarakat Desa Adat Gologor mengalami berbagai musibah atau kemalangan sehingga dengan dilakukannya tradisi Mabubu ini, seluruh musibah akan hilang dari desa tersebut.

13. Tari Joged Pingit
Tari Joged Pingit ada dan berkembang di sebuah  Pura Luhur Pucak Bukit Adeng. Tari Joget Pingit atau dikenal juga dengan Tari Joged Dua adalah sebuah tarian sakral yang berkembang sekitar tahun 1965, dimana pada saat itu Negara dalam keadaan genting. Pada masa itu terbentuklah tarian-tarian tradisional yang berupa Pertunjukan (babalihan) Calon Arang. Babalihan Calon Arang mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dalam minat masyarakat, masyarakat sangat gemar pada babalihan  ini yang sedang berkembang di sebuah desa, yaitu Desa Senganan Kawan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Desa Adat Senganan Kawan juga menyungsung Ida Bhatara yang ada di Pura Pucak Bukit Adeng. Dengan kemurahan Beliau pula Tari Joged Pingit terbentuk, yang dimana tarian ini akan selalu dipentaskan setiap piodalan di Pura Pucak Bukit Adeng dan juga dapat dipentaskan pada acara piodalan di pura-pura yang ada di Desa Adat Senganan Kawan, juga dapat dipentaskan pada waktu Tiga Bulanan (Tiga Sasih).

14. Tradisi Barong Nong-Nong Kling
Tradisi Barong Nong-Nong Kling  merupakan tradisi yang terdapat di Desa Aan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung.  Tradisi ini dilakukan dengan tujuan untuk mencapai keselamatan dan terhindar dari segala bahaya yang ada di Desa Aan. Dalam tradisi ini juga dilakukan persembahan berupa banten dengan makna sebagai wujud rasa syukur atas anugrah yang dilimpahkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam tradisi ini menggunakan media musik, tari, dan drama yang akan dipentaskan oleh sekelompok anak-anak muda serta dalam pementasannya, tidak menggunakan barong melainkan pemain yang mengenakan topeng.

Bersamaan dengan pencatatan ini, Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kantor Wilayah (Kanwil) Bali, Alexander Palti turut mengapresiasi kinerja dari BEM Universitas Udayana melalui Departemen Kebudayaan. Ia menyampaikan bahwa Indonesia memiliki potensi besar di kekayaan intelektual yang bisa dimanfaatkan oleh Masyarakat Indonesia itu sendiri, baik yang berupa personal maupun komunal. Pemanfaatan kekayaan intelektual juga dapat dilihat dari nilai-nilai atau bunyi dari sila-sila Pancasila, yang dimana itu dibuat oleh warga sekitar. Memang kekayaan intelektual itu jika dari nomemklatur pemerintah ada di Kementerian Hukum dan HAM. Akan tetapi Kemenkumhan tidak bisa berjalan sendiri dalam melayani kekayaan intelektual, harus bekerja sama, bersinergi dengan pihak-pihak terkait lainnya, salah satunya adalah BEM Universitas Udayana.

“Saya tentunya mengapresiasi apa yang telah diprogramkan oleh Departemen Kebudayaan BEM Universitas Udayana sebagai suatu hal yang mulia dan patut dijadikan contoh serta pemantik bagi masyarakat luas. Dengan itu diharapkan kesadaran kita, khususnya pada KI komunal antara lain Indikasi Geografis, Ekspresi Budaya Tradisional, Pengetahuan Tradisional, untuk kita sama-sama menggali potensi KI komunal yang ada di Bali yang kemarin baru diberikan 14 KI komunal dimana pasti ada lebih dari itu yang dapat ditemukan. Tentunya diharapkan tidak hanya dilaksanakan oleh Kanwil Kemenkumham Bali  tetapi juga oleh sentra-sentra KI dengan dukungan dari teman-teman mahasiswa pemerhati KI,” ucap Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kanwil Bali dalam Audiensi bersama Ketua BEM Universitas Udayana, I Putu Bagus Padmanegara dan Kepala Departemen Kebudayaan, I Gusti Ngurah Prabhaswara guna melakukan kolaborasi yang lebih masif lagi dengan Kemenkumham Kanwil Bali. (bp/Unud.ac.id)

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!