Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Pendidikan

Prof. Nitya: Biopori Solusi Atasi Banjir dan Kekeringan di Denpasar

KEMBALIKAN AIR TANAH: Pemanfaatan lubang biopori skala rumahan sebagai sumber resapan di musim hujan. (bp/gk)

 

DENPASAR, balipolitika.com- Akademisi Universitas Udayana (Unud) Prof. Dr. Ir. I Gusti Ngurah Nitya Santhiansa menyebut teknologi biopori atau sumur resapan merupakan sebuah solusi untuk mengatasi permasalahan banjir yang semakin “membudaya” di Kota Denpasar di musim penghujan, Kamis, 4 April 2024.

Selain diyakini sebagai solusi atasi masalah klasik Kota Denpasar, teknologi biopori juga dapat berfungsi sebagai bank air guna mengatasi kekeringan di musim kemarau, dapat diimplementasikan dari skala kecil atau rumahan hingga skala besar berupa sumur resapan yang ditempatkan di titik-titik wilayah rawan banjir.

“Saya melihat pemerintah selama ini justru kurang peka, setelah ada kejadian (banjir, red) baru berusaha mencari jalan keluarnya, klasik sekali. Saya menilai teknologi ini (biopori, red) sudah sepatutnya bisa diterapkan di kota-kota besar seperti Denpasar. Sudah terbukti, bahkan bisa menjadi sumber air alternatif saat musim kering,” ujar Prof. Nitya, begitu sapaan akrabnya.

Lebih lanjut, Prof. Nitya menjelaskan pada prinsipnya biopori merupakan lubang-lubang kecil pada tanah yang terbentuk akibat aktivitas organisme dalam tanah.

Lubang ini akan berisi udara dan menjadi jalur mengalirnya air saat musim hujan tiba, sehingga air hujan tidak langsung terbuang ke saluran pembuangan air, melainkan meresap ke dalam tanah melalui lubang tersebut.

Prinsip tersebut diaplikasikan menjadi teknologi dalam pembuatan plasteran atau paving blok berupa lubang berdiameter 10-30 cm dengan kedalaman 80-100 cm untuk skala rumahan dimaksudkan sebagai lubang resapan air hujan dan meresapkannya kembali ke tanah.

Bahkan, ia meyakini metode bisa dibuat dengan skala lebih besar lagi dengan kedalaman mencapai 2-3 meter, menjadi sumur resapan yang bisa ditempatkan di titik-titik adanya genangan air untuk mengantisipasi terjadinya banjir.

“Jangan lagi ke depan masalah-masalah klasik seperti ini terjadi dan akhirnya merugikan masyarakat. Pemerintah itu haru bisa membuat sistem drainase yang bagus (ecodrain, red), teknologi ini bisa dibuat dengan skala yang lebih besar lagi. Pertanyaannya sekarang pemerintah mau atau tidak? Jika ada keinginan itu, mari kita duduk bersama. Saya ada bukunya lengkap teknik dengan hitung-hitungannya. Jangan hanya sekedar ingin saja menyelesaikan tapi tidak ada pergerakan,” sentilnya.

Prof. Nitya menegaskan, kedepannya biopori bisa dijadikan salah satu progam ekologis yang bertujuan menyelamatkan sumber daya air, terutama air bawah tanah, sehingga bisa mengurangi ancaman banjir di musim hujan, kekeringan dan meluasnya lahan kritis di musim kemarau.

“Selama ini gerakan kami masih berupa gerakan gotong-royong, membuat sebanyak-banyaknya lubang biopori di lingkungan terdekat khususnya Kota Denpasar. Ini bentuk kepedulian kita menjaga kesuburan tanah dan ketersediaan air bawah tanah,” imbuhnya.

Mengakhiri sesi diskusi dengan wartawan, Prof. Nitya melihat pembangunan yang sangat masif dan maraknya pelanggaran jalur hijau yang terjadi di Kota Denpasar secara tidak langsung telah menimbulkan dampak negatif seperti banjir.

Prof. Nitya menilai pemerintah perlu melakukan penataan ulang wilayah, melalui pembangunan yang memanfaatkan bahan-bahan yang bersifat alami, dengan kata lain teknologi biopori perlu disinergikan sebagai sebuah gerakan untuk masa depan yang lebih baik. (bp/gk)

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!