Ilustrasi: Handy Saputra
Sajak Gelisah (I)
Gerimis
Ini kota dalam kepala
Gaduh
Tumpah segala sampah
Sangkur digenggam
Memotong lidah
Meredam gelisah
Riak tawa membahana
Sajak berkeliaran
Langit berubah warna
Merah darah
Ini cinta, bukan takdir
Mataku sebuah makam
Setan dan para iblis
Menari-nari di sana
Mengeja aroma rindu
Menjilati dosa-dosa
Aku pulang!
Rumahku telanjang
Ada gerimis
Menumpahkan sisa mimpi
Memeluk pekat tanah
Bunga mekar dan lepas
Laut bergemuruh
Ombak mengaduh
Tubuhku basah
Tawamu tak teredam
2023
Sajak Gelisah (II)
Rahasia menghidupi dunia
Tubuhku panggung
Lidahku menyesap air mata
Arus waktu menarik tubuh
Angin gemetar
Di ambang surup
Mimpi hilang lebur
Bulan tinggal setengah
Senyum merona
Burung-burung pulang ke sarang
Rumahku tersimpan di matanya
Dingin dan sepi
Secangkir kopi memberinya hangat
Dosa baju paling indah
Puisi adalah perhiasan
Mendaki tubuhku yang pilu
Ingatanku beradu
Hatiku yang langit
Memungut tiap gelisah
Menitipkan pada embun
Pada pucuk sunyi bola matamu
2023
Sajak Gelisah (III)
Luka kehilangan jejak
Perempuan duduk di pojok taman
Menggenggam air mata
Lampu-lampu padam
Hatinya jelaga
Tubuhnya rimbunan sajak
Mekar kemudian layu
Jatuh seperti daun gugur
Gelisah memeluk langit senja
O, rindu seperti apa
Yang kaupunya?
Burung-burung mati
Rantingmu menusuk rindu
Hujan adalah irama lagu
Memulangkan ingatan
Sebelum kita menjadi asing
Rebah di tubuh gelisah
Tabebuya mekar di matamu
Senduku menjauh
Murai rebah di pucuk rindu
Menyesap gelisah
Kemudian pulang tanpa suara
Sebilah jiwa redup lagi
Kunang-kunang lenyap
Enggan berbagi cahaya
2023
Elegi April
Hujan seharusnya telah usai
Langit memintaku menahan mendung
Yang asyik bersenandung di rongga jiwa
Tapi wajahku tak berhenti basah
Seharusnya bunga-bunga telah mekar
Dan para katak masuk ke dalam sarang
Berhenti memainkan lagu rindu
Tubuhku mengulum sunyi
Hatiku berkelana mencari tuannya
Entah di pelabuhan mana ia singgah
Aku hanya bisa bertengkar dengan malam
Menarik ulur waktu yang dirampasnya
April mengunyah habis rindu
Puisi-puisi menyusuri relung hatiku
Bersama musim yang belum berganti
Kau akan melihat senyumku
Terpasang di layar langit
Saat hatimu kembali mengenali wajahku
2023
Cerita di Suatu Malam
Malam sedang meminjam dukaku
Ia sembunyikan kerlip bintang
Di balik jubah kelammya
Para binatang malam enggan keluar sarang
Pikiran berkelana sendiri
Di bawah pohon beringin
Aku menanti dongeng yang hendak kauceritakan
Kendaraan lalu lalang melewati bayanganku
Bulan tampak gemetar keluar dari sarangnya
Tapi sinarnya sedikit mengintip
Sang malam membentangkan selimut jelaga
Nampak sedang tidak baik-baik saja
Seperti jelata yang gemar meneguk sunyi
Lihatlah mimpi yang menggantung
Di akar beringin tua
Ia mereguk segala keriangan kanak
Dan enggan untuk pulang
Sebab kenyataan selalu memberinya sembilu
Malam kemudian menggandeng tanganku
“Mari kita berjalan bersama”
Aku memang teman kegelapan
Sebab tak melihat apa-apa
Hatiku sedikit tenang
Biarkan kehidupan menerka-nerka
Sampai kami menemukan diri sejati
2023
Sebuah Nama
Aroma pagi di pinggir pantai
Aku menjumpai seekor tupai
Ia mulai bermain
Dengan gemuruh dalam dadaku
Tegur sapa yang salah alamat
Bukan sekali
Dua kali
Tiga kali
Aku tak mampu menghitungnya
Bahkan setelah satu dasawarsa
Deru ombak dalam darahku
Menghunjam jiwa dahaga
Sebuah nama yang kerap kudengar
Disematkan padaku!
Seringkali kaukeliru
Kalian keliru!
Itu bukan namaku
Ini sudah satu dasawarsa lebih sehari
Sebelum aku mengoyak isi kepalamu
Pagi ini sebuah nama singgah
Di antara pasir pantai yang dingin
Dinginnya kurasakan sampai ceruk hati
Telah lama aku melumatnya dalam pikiran
Kemudian kulempar ampasnya ke tengah laut
Sekarang apakah kau sudah benar-benar lenyap?
Aku hanya ingin menyematkan namaku
Di atas tubuh laut yang biru
Seperti lebam-lebam
Yang bercampur dalam darahku
Kemudian kau akan mengingat
Namaku dengan lebih mudah
Kemudian kau akan menyebut
Namaku dengan sangat fasih
Matamu mengawasi kaki lincak yang mulai rapuh
Ia menjelma jiwa yang terkoyak rayap
Setia bersarang di dalam mulutmu
Senyum begundal dari wajah iblis
Seperti sengaja menusukkan jarum
Lewat sebuah nama ke dalam hatiku
Di bawah langit yang mulai menangis
Aroma garam di sepanjang pantai
Menelusup ke dalam pori-pori
Menikmati perih yang kian hambar
Riak air laut membasahi ingatan
Biarkan aku terlena
Oleh gemuruh yang kauciptakan
2023
BIODATA
April Artison adalah nama pena dari Ni Putu Apriani, lahir di Tuban, Badung, Bali, 12 April 1991. Dia lulusan Ilmu Komunikasi – Penerangan Agama Hindu, Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) yang sekarang berganti nama menjadi Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa. Puisi-puisinya dimuat dalam buku antologi Klungkung, Tanah Tua Tanah Cinta (2016), Saron (2018), Di Altar Catus Pata (2022). Puisinya juga dimuat di media online Bali Politika. Pada akhir Maret– awal April 2023, dia terlibat dalam pementasan “The Cry of Sita” garapan Prof. Dr. I Wayan Dibia di beberapa tempat di India.
Handy Saputra lahir di Denpasar, 21 Februari 1963. Pameran tunggal pertamanya bertajuk The Audacity of Silent Brushes di Rumah Sanur, Denpasar (2020). Pameran bersama yang pernah diikutinya, antara lain Di Bawah Langit Kita Bersaudara, Wuhan Jiayou! di Sudakara Artspace, Sanur (2020), Move On di Bidadari Artspace, Ubud (2020), pameran di Devto Studio (2021), pameran Argya Citra di Gourmet Garage (2021). Instagram: @handybali.