Ilustrasi: Handy Saputra
SEBUAH KURSI
sebuah kursi meninggalkanmu sendiri di beranda itu
hujan mengukir genangan di halaman rumahmu
– sayang, jika dingin masuklah
akan aku buatkan teh hangat
tapi di mana suara itu tersirat
matahari yang kau seru sebelum menjauh
memanggil laut yang mengejarnya ke awan-awan
menunggu angin mengumpulkan bayang-bayang
kau masih termangu di beranda itu seperti pantai
di mana percik ombak yang tumpah sebagai hujan
membuat perasaanmu sedih sedalam lautan
adakah yang telah meninggalkanmu di situ?
sebuah kursi diam membisu
dan hujan mengukir genangan
airmata terus berjalan
mencari sudut-sudut di sekitar hatimu
2020
MUSIM LAYANGAN
alangkah sederhana kebahagiaan
di pesawahan bekas dipanen itu
kau naikkan layang-layang tinggi
membawa harapan menyentuh waktu
angin yang tak bernama itu
menggiring anak-anak berkumpul
mengulur impian ke matahari
mengukir bayang-bayang masa dewasa
dan dalam perkelahian nasib
mereka menunggu
putusnya benang dan
layangan itu pun terbang
bebas dalam hingar bingar
yang seperti sorak dunia
mengiring larian mereka
mengejar takdir
ah, alangkah sederhana kekecewaan
layang-layang yang dikejar itu rusak
tergantung di pohon kering
oleh seruncing ranting dan hantaman angin
2019
SEBUAH MIMPI
aku telah bermimpi menjadi penyair
dan ke mana saja suara itu pergi
aku mengikuti isyaratnya
tapi nyanyian malam yang menidurkan
bayang-bayang ingatan
selalu tersemai sebagai benih di bawah mimpi
yang mengulur jauh tangan-tanganku
meraih sisa nyawaku di kebun puisi
di dalam kuburan kenangan
2019
KALI MATI
di balik rimbun pohon-pohon yang mati
terpanggil aku menuju kali
batu-batu dimainkan panas matahari
angin yang lepaskan guguran daun
mencuci musim kering di genangan kecil
bayangan langit tertutup pada muka air
yang kurus seperti kulit kerang mengelupas
aku menangis pada senja yang menjadi petang
dan kulemparkan wajahku pada bintang
yang perlahan-lahan membungkus dingin
membisikkan rintihan menuju lautan
2019
SENANDUNG SAWAH-SAWAH
langkah-langkah para petani itu
memunculkan musik di tubuhku
cangkul yang memukul dan
membalik tanah
kayu yang menghunjam
mencipta lubang dan
benih yang bersemayam
sebagai lagu keabadian
aku bersujud di sajadahnya
kucium kaki-kaki mereka
yang tungkaknya retak
kucium tangan-tangan mereka
yang pangkal jarinya kapalan
ketika hujan turun
di tubuhku membadang
aku bersenandung pada tuhan
doa-doaku lepaskan
mengusap tujuh penjuru
merahasia dalam waktu
yang kelak menyingkap
teka-teki-Mu
2019
ELEGI BURUNG-BURUNG
aku telah berkelana ke segala penjuru udara
tapi sarang yang dulu juga
mengumpulkan ranting-ranting kerinduan
di hatiku
tanah-tanah dan pohon-pohon
yang menjadi asalku
angin yang mengajakku mencari matahari dan lautan
melewati tujuh lembah yang Attar syairkan
aku hanya seekor burung yang ingin pulang
melayang-layang
menoleh ke arah yang jauh
sampaikanlah aku kepada-Mu
2019
SULUK CINTA
/1/
seperti pengembaraan para sufi dari timur
aku pun mencari dan menempuh matahari
hatiku yang telah bersarang nyanyian burung
kini kicaukan nama-nama keindahan-Mu
/2/
ke mana aku harus pergi
melepaskan jarum jam menuju hutan
di mana pohon-pohon bersujud pada waktu
aku telah mengarungi arus sungai puisi
hingga sampai lautan misteri
kemudian mendaki puncak hayati
/3/
aku telah bertemu angin hakikat
yang sabdakan rindu pada nabi
yang gugurkan airmata daun-daun
tersebab terlalu cinta dan berharap
tapi aku tetap berjalan di jalur ini
bersama Rabiāah dan Rumi hingga
aku kelak pingsan dan setelah siuman
aku telah berada dalam peluk-Mu
2019
============
Biodata
Khanafi, lahir di Banyumas, Jawa Tengah. Tulisan-tulisannya berupa puisi dan cerpen tersiar di beberapa media massa baik daring maupun cetak, seperti: Detik.com, Koran Tempo, Beritabaru.co, Langgar.co, Ceritanet.com, Sastramedia.com, Litera.co.id, Maghrib.id, Linikini_id, Kompas.id, Tembi Rumah Budaya, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Radar Banyuwangi, Radar Banyumas, dll, serta terikut dalam berbagai buku antologi bersama. Penulis berkhidmat di Forum Penulis Solitude (FPS). Sehari-harinya bekerja sebagai editor lepas dan penjual buku lawas. Buku kumpulan puisi pertamanya bertajuk Akar Hening Di Kota Kering (SIP Publishing: 2021). Sekarang bolak-balik Purwokerto-Yogyakarta sembari merampungkan novelnya dan sebuah buku kumpulan cerpen.
Handy Saputra lahir di Denpasar, 21 Februari 1963. Pameran tunggal pertamanya bertajuk The Audacity of Silent Brushes di Rumah Sanur, Denpasar (2020). Pameran bersama yang pernah diikutinya, antara lain Di Bawah Langit Kita Bersaudara, Wuhan Jiayou! di Sudakara Artspace, Sanur (2020), Move On di Bidadari Artspace, Ubud (2020), pameran di Devto Studio (2021), pameran Argya Citra di Gourmet Garage (2021). Instagram: @handybali.