Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

ADAT DAN BUDAYA

Ari Dwipayana: Tak Berhenti di Ritual, Bali Butuh Aksi Nyata

NAPAK PERTIWI: Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud sekaligus Koordinator Staf Khusus Presiden Joko Widodo, Anak Agung Gede Ngurah (AAGN) Ari Dwipayana menyapa salah seorang Sulinggih yang dalam prosesi Nuwur Kukuwung Ranu diberikan kehormatan menanam pohon di Pura Segara Danu Batur, Kabupaten Bangli, Bali, Sabtu Kliwon Wariga (Tumpek Uduh), 14 Mei 2022 malam (tim dokumentasi Nuwur Kukuwung Ranu)

 

KINTAMANI, Balipolitika.com- Nuwur Kukuwung Ranu menjadi persembahan agung Yayasan Puri Kauhan Ubud bekerja sama dengan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar di Pura Segara Danu Batur, Kabupaten Bangli, Bali, Sabtu Kliwon Wariga (Tumpek Uduh), 14 Mei 2022 malam. Mengangkat filosofi Ida Bhatari Ayu Mas Membah yang suecan atau anugerahnya membah atau mengaliri 330 subak dan memberikan kemakmuran bagi masyarakat, Yayasan Puri Kauhan Ubud yang menjadi pemrakarsa pentas seni serangkaian Sastra Saraswati Sewana 2022 mengetuk hati nurani masyarakat Bali, Indonesia, dan dunia untuk menjaga lingkungan hidup, khususnya danau.

“Persepsi ini kami angkat lewat pertunjukkan seni supaya masyarakat memiliki perhatian terhadap danau. Tidak sekadar apresiasi tentang konsep dan filosofi estetika pertunjukannya saja, melainkan napak pertiwi ikut menjaga danau, khususnya Danau Batur,” ucap Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud sekaligus Koordinator Staf Khusus Presiden Joko Widodo, Anak Agung Gede Ngurah (AAGN) Ari Dwipayana.

Ungkapnya filosofi Ida Bhatari Ayu Mas Membah adalah sesuatu yang sangat sakral dan harus dijaga. Menjaganya pun harus konkrit. Dari nilai ke aksi. “Tidak berhenti pada nilai dan ritual, tapi juga aksi nyata. Hal ini mengingat kontribusi Danau Batur untuk menjaga budaya agraris di Bali yang berarti juga menjaga adat istiadat dan budaya Pulau Dewata,” ungkap pria yang juga akademisi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu.

Ari Dwipayana menegaskan peran Danau Batur sangat besar sebagai penopang sumber mata air. Sama halnya dengan peran vital Danau Beratan, Danau Buyan, dan Tamblingan di Bali. Yang terbesar dari keempat danau ini adalah Danau Batur; mengaliri 330 subak di Bali bagian utara, selatan, dan timur.

“Makanya ada Upacara Suwinih setiap Purnama Kadasa. Semua subak di Bali ngaturang Suwinih ke Pura Ulun Danu Batur karena merasa berutang atas aliran kasih dari Dewi Danu. Ini merupakan ikatan spiritualnya. Tapi, tentu tidak boleh berhenti pada aktivitas spiritual semata, melainkan harus menjadi gerakan kesadaran tentang hulu,” urai ayah 4 anak itu.

Sederhananya imbuh Ari Dwipayana orang pinggiran atau yang bermukim di pantai berhutang pada masyarakat di hulu. Masyarakat hulu menjaga alam dengan baik sehingga air mengalir ke hilir dengan jernih.

“Karena berhutang, maka harus naur (membayar, red) utang ke hulu. Cara membayarnya dengan Suwinih. Dalam cakupan yang lebih luas, masyarakat di pinggiran wajib hukumnya juga menjaga alam di hulu. Hilir harus menjaga hulu demi kesejahteraan bersama. Harus saling membantu. Hulu dibantu hilir karena hilir dibantu hulu,” ungkapnya.

Perjuangan membangun kesadaran bersama menjaga hulu demi hilir dan sebaliknya hilir demi hulu ini harus melibatkan banyak pihak. Pertama, masyarakat adat, termasuk Pengemong Pura Ulun Danu Batur, Jero Gede, Jero Gede Songan, Jero Kubayan, dan tokoh-tokoh lainnya.

“Mereka adalah tokoh sentral yang harus menjaga tradisi. Kedua, masyarakat 15 desa di sekeliling Danau Batur. Ketiga, perguruan tinggi. Kampus itu harus juga konkret, harus napak pertiwi. Kampus tidak boleh abstrak di awang-awang, melainkan harus konkret membantu pemberdayaan masyarakat dalam menjaga lingkungan. TNI, Polri, pemerintah daerah, pemerintah pusat, pihak swasta, PHRI harus bersinergi,” tegas Doktor Ilmu Politik UGM yang menulis disertasi berjudul “Runtuhnya Pembiayaan Gotong-Royong, Studi tentang Pembiayaan PDIP 1993-2009”.

“Kami punya program tahunan bernama Sastra Saraswati Sewana. Kami meyakini memuja Ida Sang Hyang Aji Saraswati bisa dengan cara bermacam-macam. Salah satunya memuja lewat aksi konkret di Danau Batur. Dasar kami menyelenggarakan aksi ini juga sastra. Ilmu pengetahuan kami gunakan untuk aksi-aksi pemberdayaan. Konsolidasi pengetahuan yang terpenting,” sambungnya.

Sebelumnya, Yayasan Puri Kauhan Ubud juga memprakarsai seminar bertemu Toya Uriping Bhuana. Konsolidasi pengetahuan ini digunakan untuk menyamakan persepsi tentang nilai antar kampus di Bali. Seminar ini dikonkretkan lagi lewat aksi bersama menyikapi danau-danau di Bali, khususnya Danau Batur.

Ari Dwipayana menggarisbawahi tidak cukup hanya paradigma yang sama, tetapi aksinya tidak sama. Saat seminar digelar, seluruh peserta perwakilan kampus membuat kertas kerja yang konkret untuk Balii terkait penyelamatan air ke depan.

Khusus Danau Batur, Ari Dwipayana menegaskan kondisi danau terbesar di Bali itu dalam kondisi kritis. Hal tersebut mengacu sejumlah riset atau penelitian ilmiah. Kondisi riil itu diharapkan menjadi konsen bersama.

“Ini persoalan Bali, persoalan Indonesia, persoalan dunia. Kalau kita bisa menyelamatkan Danau Batur konkret dengan pendekatan budaya, ini akan menjadi showcase untuk G-20. Bahwa Bali bisa melakukan aksi nyata menyelamatkan Danau Batur sebagai sumber air dengan pendekatan budaya,” terangnya.

Pria yang sejak 2011 mengemban amanat sebagai Ketua Yayasan Tat Twam Asi Yogyakarta itu menegaskan pesan di dalam ritual dan seni ditambah aksi nyata pasti efektif.

“Dalam seni kami selipkan pesan. Kalau semua turun melakukan gerakan penyelamatan lingkungan, seperti menanam pohon dan merawatnya tentu akan membuahkan hasil nyata. Kami bergerak melakukan sesuatu langsung dengan contoh. Harus dilakukan. Tidak hanya didasarkan pada sebatas ritual semata,” tegasnya. (bp)

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!