Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

Puisi-Puisi Jang Sukmanbrata

Ilustrasi: Ignatius Darmawan

 

AKU INI POHON DALAM POHON BESAR

aku punya rumah pohon besar,
daunnya lebat pergantiannya cepat
yang tua gugur yang muda lekas berkembang,
satu dua yang tua dipertahankan
tak boleh guguran;
mereka daun pemangku adat kesuburan dan pemangku adat kedamaian.
Bergerak saling menggapai
Angin sepoi di musim kering istirah
bercanda, bernyanyi menghibur
pada yang mau gugur,
pacu harapan pada daun yang tumbuh.
Bulan juga mentari adalah kawan abadi
memberinya sinar, mengajar senyuman dan mengizajahkan mantera tahan lapar
Sepi hening selimut hangatnya.

aku punya rumah pohon namun aku ini pohon terlahir dari ibu bambu bapak jati
sering dipanggil; “hai makhluk puisi!”
mendapat nama itu aku tahu diri,
cintaku menghunjam pada akar
bersabar saat air terlambat hadir
saat sunyi itulah sajak deras mengalir
gemersik si daun tua selimut mewahku
selalu, selalu sigap membagikan api biru
Riuh rendah angin ribut jaketku.

aku ini pohon berdaun hijau rimbun
sayangnya air hujan gegas turun berlalu
di ujung tahun dahan dan ranting bisu;
menyelimuti aku yang tergantung waktu.
Liuk angin laut adalah kudaku.

aku pohon berumah dalam pohon
semua yang tumbuh di asyura memohon
agar lalai terhapus safaat penghulu doa
Badai itu teman pawang hujan

MERINDU RUMPUN BAMBU 

sepasang tangan yang hilang dalam tanah mengulur semua luka,
jembatan merah sejarah kolonial haru di atas sukacita,
biar segala hinaan menjadi sarapan pagi, siangnya jadi caping daun nyiur,
senjanya ribuan sepatu tua di beranda tukang loak urban

Sepasang tangan lembut sampai membentuk jadi sepasang tangan lemas
Tak kutanyakan kepada Tuhan  ketetapan adalah sarang manyar
yang dulu banyak di pinggiran desa,
kota kini jauh di dalam rimba atas sungai
hidup bersama elang hitam.

Sepasang tangan setia menulis sajak saatnya akan tamat bergerak,
penuh kapur barus dan wangi mawar
Sebongkah cinta dan pancuran rindu  punya makna tatkala digubah kidung
Namun tak bisa menyalakan bara
tak kuasa mendinginkan cemas
tak ada nyali bertanya
Tak, tak kubilang esa hilang ribuan lenyap dalam peradaban agama benda
Rantau lebih bijaksana dari purnama
Tiap malam melati mekar
Harumnya membakar hati rendah
Jiwa terserak di cambuk erangan zaman kala dunia diliput neraka semusim
Bencana adalah ha ha hi hi
Lalu belajar pada kilatan batu granit
Digosok keluar hitam, beningnya itu sepi.

Untuk semua nama anak teraman
Bukalah maktal karbala,
debu-debu pun cinta mulia,
telapak kudanya agung si Dzuljannah
hilang dalam akhir perang
Kembali diambil pemilikNya
merumput di sabana Surga Penghulu Pahlawan
Siapa yang bertanya keimanan itu bara
Langkah termegahnya bulan atas gunung

Bukit kapur senyatanya diamMu
Meski lantunan itu pendoa lampu Aladin
Batu dalam hatiku pendosa patuh
Takut mati tanpa jejak puisi,
Hapuslah ucapan burukku bak debu
Selamat bagimu hai perantau tanpa hari minggu

Aku di sini kelu seluruh tubuh
merindu bambu

 

BULAN DITAWAN HUJAN

1_
dalam bayangan bulan aku teringat masa kanak di pangkuan bunda
berjalan sambil tembang dangdanggula :
Anaking jimat awaking, semoga engkau jadi laki-laki kuat menempuh musim sekalipun terbanting, hatimu nyaring ”
sehabis luka dikuburkan,
seusai kegagalan ditulis menjadi peta masuk permulaan hidup liat
meninggalkan kebisingan,
perjuangan mendaki – menuruni gunung, melintasi lembah bambu rundungan senyap
(menurut mimpi saudara, jumpa ibuku menghuni rumah mewah, duduk di kursi sofa, senyumnya ramah)
Di kaki gunung itu bau rumputnya nikmat
Saudaraku petani dan peternak
tak punya hasrat berontak pun kudeta
meski udara kampung yang dibangunnya direnggut keperawanannya.

2_
Ya di derasnya hujan
muncul kenangan bulan purnama
di malam taburan bintang
bayangan masa kanak datang
membawa sepiring sayur rebung hangat; bumbunya kelezatan duka
pun kemanisan senyuman,
dipenjara kabut
sinarnya giliran tidur lelap
di tawanan cinta hujan deras awal tahun, ricik gerimisnya jadi takbir
menyela alunan musik tanpa akhir
Adapun banjir sebab kebodohan orang
Lihatlah air mencari jalan pulang
dan ruang tukar pengalaman
merasa terhina, marah pada keadaan
Pejabat kota curang itu tidak menyesal menjawab rakyat bengal dengan pesta.
“Minta maaf kalian tak perlu ke Tuhan, mintalah maaf ke tanah lalu menangis sejujurnya di hadapan sungai!”
kata pelukis tua panorama,
suaranya lembut, hanya angin yang setia menyampaikannya sekarang,
hai kawan! ia tak berubah saat ubanku bagai hutan larangan Suku Naga.*
Kilauan rambutnya adalah ribuan pohon gaharu surga hasil pembelian
di pasar pengkhidmatan ke orang papa teraniaya.

3_
Baik, apa bulan masih nyenyak tiduran
malam serasa taman bunga
tanpa gonggongan anjing tetangga menghilang, mungkin sudah dijual
ke rumah makan orang seberang
Jarak kemiskinan ke lorong kekayaan dibatas luapan airmata juga hardikan para penggembala sapi di kaki-kaki pebukitan
Setelah uang habis baru kau berkata, “Bencana dan tipuan pengusaha pemusnah hutan ulayat
jadi cermin diri kami yang retak”
Penaku usang menuliskan itu peristiwa, berulang seperti kanak belajar jalan.

4_
Mata berkaca-kaca ini pada waktunya jadi kepakan doa,
aku sendiri menerbangkan kata-katanya di hujan malam, dititipkan ke angin siang
tapi bulan tetap kenangan di dingin tebal
Mata bunda tiada jaring-jaring gelisah, menunggu anak-anaknya hidup bahagia, saat kembali ke rengkuhan lengannya, berputar di liputan cahaya.
Entah berapa bulan lahirnya pembawa pesan damai,
bahwa aku akan selesai lalu lalang
di dunia maya
Bulan, sebenarnya dikau diharapkan
bisa berteman di kegelapan perjalanan.

“Sekian dulu, bulan kepasrahan”
bisikmu dalam kabut berduyun
yang terbelah sinar lampu kendaraan.

 

BIODATA

Jang Sukmanbrata lahir di Bandung, 17 Agustus 1964. Puisi-puisinya tersebar di media cetak dan online serta antologi bersama, antara lain Negeri Pesisiran (2019), Negeri Rantau (2020).

 

Ignatius Darmawan adalah lulusan Antropologi, Fakultas Sastra (kini FIB), Universitas Udayana, Bali. Sejak mahasiswa ia rajin menulis artikel dan mengadakan riset kecil-kecilan. Selain itu, ia gemar melukis dengan medium cat air. FB: Darmo Aja.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!