BULELENG, Balipolitika.com– Berlarut-larut nyaris 2 tahun lamanya, Kejaksaan Negeri Singaraja mengaku menyiapkan panggilan paksa bagi dua terhukum dalam penodaan hari suci Nyepi tahun 2023.
Langkah hukum itu diupayakan lewat koordinasi dengan Kasipidum dan Kejari serta aparat keamanan dari TNI-Polri.
Adanya baliho penolakan eksekusi atas dua terhukum penodaan hari suci Nyepi, dipastikan tidak memengaruhi Kejaksaan Negeri Singaraja dan tetap berkomitmen melaksanakan putusan kasasi.
Sebab, dua terhukum, yakni Acmat Saini (51 tahun) dan Mokhamad Rasad (57 tahun) dihukum 4 bulan penjara sebagaimana Putusan Mahkamah Agung: 1664 K/Pid/2024 junto Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor 55/PID/2024/PT DPS junto Putusan Pengadilan Negeri Singaraja Nomor 2/Pid.B/2024/PN Sgr, yang telah berkekuatan hukum tetap berani mengabaikan panggilan pertama, kedua, dan ketiga dari Kejari Singaraja.
Kedua terhukum tetap tidak memenuhi panggilan ketiga Kejari Singaraja pada 27 Februari 2025, dan Kejari ternyata tidak melakukan panggilan paksa.
Padahal, dalam pertemuan delegasi dengan Kasi Intel Kejari Singaraja beberapa hari sebelumnya, Kasi Intel Dewa Bhaskara menyatakan bahwa bilamana terhukum tidak memenuhi panggilan kedua, pada panggilan ketiga dipastikan akan dilakukan panggilan paksa.
Namun, nyatanya atas panggilan ketiga tersebut, Kejaksaan belum belum melakukan upaya paksa.
Upaya untuk melakukan panggilan paksa, dinyatakan Komang Adi, SH, Pelaksana Tugas Kasiintel Kejari Singaraja, saat menerima delegasi berbagai tokoh masyarakat yang mendukung dan mendesak putusan yang telah inkracht tersebut dieksekusi, walaupun misalnya terhukum melakukan peninjauan kembali.
Delegasi dipimpin Putu Wirata Dwikora, SH, MH (Ketua Tim Hukum PHDI Bali) dan beberapa anggota (Made Bandem Dananjaya, SH, MH, Wayan Sukayasa, ST, SH, M.IKom, Made Suka Artha, SH,), delegasi dari Prajaniti (Dewa Made Agus Januartha-Ketua Prajaniti Buleleng, I Gede Diyana Putra-Sekretaris Prajaniti Buleleng, I Made Mudita), Wayan Sukayasa yang juga dari Gercin Bali, Tri Budi Santoso (KMHDI Buleleng), Nyoman Mertha dari Yayasan Sradha, Gede Dimas Bayu H.R,SH. di Kejari Singaraja, Jumat, 14 Maret 2025.
Para delegasi mengaku heran mengapa dalam panggilan ketiga, belum juga dilakukan upaya paksa, tapi masih menunggu kerelaan terhukum untuk memenuhi panggilan.
‘’Kesannya kejaksaan kalah di depan dua terhukum. Perilaku terhukum sudah melecehkan kejaksaan merupakan contempt of court dan bisa menjadi contoh bagi terpidana lain, yang menolak putusannya dieksekusi, berkaca pada putusan penodaan Nyepi Sumberkelampok. Kalau sampai tak dilakukan eksekusi, terhukum lain akan mencontoh, menolak eksekkusi-eksekusi dengan alasan meminta keadilan seperti penodaan Nyepi di Desa Sumberkelampok,’ kata Putu Wirata Dwikora.
‘’Kami mendukung kejaksaan untuk mengeksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap atas kedua terhukum, tapi sekaligus kami kritik, mengapa lembaga kejaksaan terkesan lembek di hadapan kedua terhukum. Apalagi kami membaca berita, ada Perbekel Desa Sumberkelampok datang ke Kejari untuk menolak eksekusi. Belakangan, ada baliho-baliho penolakan yang beredar di ruang publik yang ternyata bahwa isi baliho itu adalah surat Perbekel Sumberkelampok ke Kejari Singaraja,’’ kata Bandem.
Made Suka Artha menambahkan, perbuatan itu bisa dibidik sebagai perintangan penegakan hukum dan pidananya diatur dalam pasal 211 dan pasal 214 KUHP. (bp/ken)