Foto Ilustrasi: Wayan Jengki Sunarta
Negeri Alang
Negeri alang namanya Sumba
Semua mahkluk taat pada semesta
Belahan bambu dipakai di sana
Membuat gubuk tempat diamnya
Negeri alang namanya Sumba
Rumah menara mahkota manusia
Di atasnya alang di bawahnya bambu
Itulah rumah umbu dan rambu
Negeri alang namanya Sumba
Kain tenunan adalah kehidupan
Tinta-tinta alam dipakai di sana
Sirih pinang simbol keakraban
Umabara
Rumahku bukan rumah penuh ruah
Kenangan dan derita banyak bertumpah
Rumahku bukan rumah sang gajah
Girangku sangat sederhana, cukup tidak berlebih
Alam bersahabat seolah menjanjikan kemenangan
Langit berdentang seolah menjanjikan kekuatan
Angin gemar berbisik seolah menjanjikan kebahagiaan
Apa daya itu hanya bayang-bayangku saja, semua hilang
Suka duka jiwaku dapati
Kerap pikiranku berontak
Hingga, sewaktu-waktu alam memanggil diri
Harusku tinggalkan dinding balok
Nyaris 60-an tahun aku berlayar sendiri
Meninggalkan rumah juga keluargaku
Beribu hari telah berlalu
Alam kembali berbisik, Umbu sudah waktunya kau kembali
Rindu pada dinding balok perlahan menarik jiwaku
Haru hatiku sesaat mendapati kembali keluargaku: UMABARA.
Tiga Karet Gelang
Anak sulung itu gambaran air dan hening
Kadang tenang kadang juga diam tak berkata
Anak sulung itu gambaran sedih dan karang
Kadang menangis kadang keras bagai baja
Anak tengah itu gambaran batu dan api
Kadang keras kepala kadang menyala
Anak tengah itu gambaran tegas dan energi
Tangguh bagai ibu seorang jiwa
Anak bungsu itu gambaran tanah dan padang
Kadang basah kadang melukis keindahan
Anak bungsu itu gambaran air dan kehidupan
Kadang diam tenang kadang menyirami padang gersang
Tiga karet gelang lahir dari satu rahim gembala
Dibesarkan dengan kasih, sayang dan cinta
Tiga karet gelang diperankan dari satu kepala gembala
Dibesarkan dengan sabar, kuat dan sederhana
Pinta Bertemu Boku
Sesekali rindu menyapa di manakah kuda putih itu
Bagaikan rindu yang selalu mengikat nadiku
Mendengar gemuruh kuda putih itulah mimpi dari jiwaku
Mengingat kisah cerita hidupmu bagaikan bambu lukai dagingku
Pelukan hangat di ambang rindu selalu menjadi wacana dalam hidupku
Rindu dari jiwaku pada jiwamu bagaikan alang tajam mengikat tubuhku
Tangis rasa di atas derita sesekali membuatku lelah merindukan bayangmu
Kini kusadari panggilan rinduku hanyalah impian
yang menjadi bola kaca dalam mataku
Oh, kuda putihku, kembalilah engkau menyatakan rindumu,
tanganmu memeluk erat hangat tubuhku
Rinjung Kabeli
Pulang
Jiwaku ingin pulang
Kembali
Ragaku ingin kembali
Tanah kering berumput alang
Memupuk rindu pada sukma yang kukuh
Angin bertiup menyerbu padang
Haus rindu jiwaku letih
Alam memanggilku kembali
Haruskah kuminta restu pencipta
Alam memanggilku kembali
Haruskah kuminta restu penjaga
Jiwa leluhur melekat pada jiwaku
Ragaku adalah pecahan raga leluhur
Darahku mengalir darah leluhur
Ari-ari menanti kepulanganku
Heningnya Salatiga
Jiwa menahan rindu pada keluarga
Berani diri merantau ke kota
Lantaran cerita banyak suara
Sudah mantap pilihanku Salatiga
Menyusuri banyak metropolitan
Tetap juga Salatiga kota beriman
Pikirku Salatiga besar adanya
Ramai tumpah-tumpah suara
Salatiga tidaklah kota berlimpah
Tidaklah juga kota mati
Salatiga benar kota jernih
Hening dan tenang dapat di sini
Natal di Kampung
Kalau aku pergi jauh lalu datang bulan desember
Bunyi-bunyi meriam, nyala obor bambu mulai merakit rasa rindu
Hanya kampung, kampungku saja yang penuh dengan angin segar
Setiap matahari terbit burung pun ikut bernyanyi
Setiap matahari terbenam semua sudut mulai menyala
Kopi dan kue natal ramai menghiasi meja besi
Semua manusia mulai saling sapa menyapa
Bunyi musik rohani dan bunyi puisi
Suasana natal yang sederhana
Kalau aku ditanya apa yang paling kurindu
Maka kampung, tempatku tumbuh
adalah jawaban yang paling istimewa
Kalau aku ditanya apa yang paling kurindu
Maka kampung tempatku tumbuh
adalah jawaban yang paling mulia
Kopi
Pertemuan yang tak sengaja
Pelan-pelan melahirkan pecahan-pecahan cinta
Teras rumah dan sealiran buku janji
Adalah saksi bahwa aku mulai berpuisi
Rasa yang sederhana
Gambaran cinta yang tak kurang-kurang
Cinta yang sederhana
Gambaran kopi yang dinikmati sang ratu
BIODATA
Ia bernama lengkap Rambu Raina Wangi Pawulung Wulang Paranggi, lahir di Lewa, Sumba Timur, NTT, 19 Juli 2002 dari pasangan Umbu Domu Wulang Maramba Andang dan Ermilda Ester Peda. Setelah menamatkan sekolah di Kananggar, Sumba Timur, ia melanjutkan kuliah “Sistem Informasi” di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah. Ia menggemari puisi sejak tahun 2017 dan baru belajar menulis puisi secara otodidak sejak tahun 2021. Ia adalah cucu penyair dan mahaguru puisi Umbu Landu Paranggi.