Ilustrasi: Winar Ramelan
PERCAKAPAN DI JALAN BATU DI MASA KECILKU
Apakah jalan ke rumahmu masih seperti dulu
Jajaran batu kali dengan kerikil juga pasir
Tak ubahnya jajanan gula kacang
Yang dipajang di warung mbak Watirah
Yang kita beli ketika itu
Jalan yang mencatat masa kecilku
Ketika kaki-kakiku menitinya
Berlompatan memijak batu yang besar di tepian
Sekali waktu aku belajar berhitung dengannya
Setiap memijak batu selalu kuhitung
Saat itu aku tak pernah tahu bahwa isi kehidupan ini jalannya akan berliku
Karena langkahku tak pernah gundah ketika itu
Sesederhana itu kujalani masa kanakku
Sambil kupetik bunga yang berbulu seperti beludru
Aku pun belajar tentang warna dengannya
“ini hijau, ini merah, ini ungu”
Tak lupa tangan mungilku menyentuhnya
“apakah jalan menuju rumahmu masih remang?”
Dengan penerangan bohlam kuning lima watt, itu pun dari teras
Semua nampak seperti bayangan
Hingga kurungan ayam di halaman
Kusangka hantu hitam
Aku pun menjerit-jerit dan tunggang langgang
Seiring terompah kayuku yang menggema memecah kesunyian
“ha ha ha, konyol ketika kuingat itu”
Mungkin hari ini
Jalan itu sudah dihotmix
Batu-batunya tenggelam di bagian paling dasar
Bunga beludru berganti tabebuya atau akasia
Kamu pun entah di mana
Mungkin telah menjadi kelana mengembara
Dan, aku masih menyisakan secuil kenangan
Kisah kanak yang sahaja
Tanpa gadget apalagi kendaraan listrik
Untuk sejenak kembali ke masa silam yang menyenangkan
Denpasar, 2023
PADA WAJAH PANTAI
Katakan, bagaimana caraku bercerita tentang duka ini
Ketika kaki tak lagi boleh menginjak pantai sendiri
Ada garis kapitalisme yang menjadi pagar pembatas
Yang diperuntukkan aku, kalian dan anak-anak cucu
Lumut-lumut di laut pun telah tumbuh kerdil
Ketika beton-beton terpancang menjadi pilar kokoh
Garis peta pantai terancam diserang abrasi
Saat itu lokan dan ikan akan ke mana berdiam diri
Begitu pun kita, anak-anakku
Di laut mana kita akan dilarung kelak
Setelah pagar-pagar didirikan
Atau menunggu
Saat air pantai berlari menjauh menuju daratan
Dan kita terlarung di depan gerbang sendiri
Tanpa sesaji
Dengan duka yang menyala sebagai pengganti dupa
Denpasar, 2022
DONGENG UNTUK LATISHA
Sha, jika diri adalah hutan
Rimba bagi satwa
Yang hidup lewat kata
Tumbuh dan besar di pikiran
Menjelma menjadi prasangka
Maka, aku tuturkan tentang kelinci saja
Yang berlari kecil di antara rumpum bunga
Gadis kecilku
Dahulu kala, simbol angkara adalah raja Aiswaryadala
Ia berjaga dengan seluruh hasratnya
Namun, seperti halnya batu
Ia akan kalah oleh tetes air yang tak henti mengalir
Tutur lembut Ni Diah Tantri
Tentang kelinci, kijang, gajah, harimau dan sebangsanya
Raja pun terlelap dan melupakan segala hasrat
Tepat di malam ke seribu satu
Hasrat akan maksiat lesap
Fabel menyelipkan kisah
Yang benar selalu menang
Yang salah selalu kalah
Mengantar pada pintu penyadaran
Bahwa lahir membawa pesan keillahian
Sebelum kefanaan itu tiba tanpa tahu kapan waktunya
Sha, dongeng akan hidup sepanjang zaman
Mengisi sumur kebijaksanaan yang kadang kering oleh waktu
Tutur akan mengantar laku
Untuk menuju kebenaran bukan pembenaran
Besarlah dengan ilmu
Dengan etika
Dan pengabdian hidup yang semestinya
Denpasar, 2022
BIODATA
Winar Ramelan lahir di Malang, 5 Juni. Kini dia tinggal di Denpasar, Bali. Puisi-puisinya terangkum dalam antologi tunggalnya Narasi Sepasang Kaos Kaki (2017), Mengening (2020), Dongeng Latisha (2023). Puisi-puisinya juga dimuat di beberapa antologi bersama dan beberapa media cetak baik daerah maupun nasional. Selain menulis puisi, dia juga suka melukis.