Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

Puisi-Puisi Tri Astoto Kodarie

Ilustrasi: Gede Gunada

 

MERINTIH

/1/
Seperti seribu anak panah mengusap pucuk jantungmu
saat setengah dari ruang matamu memandang kosong
menelusuri jejak-jejaknya menyeret kekalahan senja
dengan merintih amat menyayat, serupa pesta kematian
menggiring kerbau di tanah lapang berbukit toraja

Sebab kesetianlah yang membuat matamu tabah
sambil mencari pintu menuju kamar mandi, membasuh muka
airnya terasa garam dan yang mengalir gelombang dari laut
semakin pedih menyerikan kulit tak kuat selalu ingin merintih
di kamar mandi banyak bayang berkelebat yang juga merintih
entah dari mana asalanya, hanya di sudut cahaya lampu temaram
memperlihatkan perubahan warna menjadi merah tajam
mungkin matanya yang menyala terus berkelebat memandangi
kadang bercermin sambil merintih terlihat gigi-giginya hitam
bahwa kamar mandi ada di ruang matamu juga

Dulu ibu pernah bilang kamar mandi harus bersih
karena di situ tempat setan sering mendorong tiba-tiba
licin berlumut lalu terpeleset merintih kesakitan
bahkan kepalamu akan bertanya pada benturan di dinding

/2/
Suara rintih itu masih menggaung di luar rumah
melihat rombongan kelelawar berebut tempat di pelukan bulan
cahayanya menjelaskan siapa yang sedang merintih kesedihan
pohon-pohon diam seperti ikut merasakan sakitnya

kini tinggal suaramu yang makin parau
menamparkan kepalan tangannya ke langit

Rintihmu mencari tempat untuk membersihkan tubuh
tapi sumur tua di belakang rumah telah ditutup
sejak kejadian percobaan bunuh diri dengan melompat
hanya tertahan tali dan ember yang kau pegangi sendiri
orang-orang hanya mampu berbisik wajahnya curiga
mulutmu merintih lemah merasa diri tak punya makna

/3/
Entah dengan alasan apa kau terlantarkan kesedihan
merintih di ujung tali kecapi sambil menanyakan
apa maksud pohon kemboja suka tumbuh di kuburan
semilir angin mungkin akan melepas wangi sebelum mati

Maka kau pahat puing kisah di sebongkah batu granit
diambil dari kikisan pada bukit meranggas di payudaramu
meski ada tanda kerapuhan tapi runtuhannya pergi sendiri
menemui suaramu yang masih merintih bersama kapak
yang punya kuasa untuk menatah prasasti kesedihan

Sesudahnya ditanyakan dalam bahasa curiga
perih dari luka mana yang diperjualbelikan
begitu menyakitkan dan terus mendoakan
agar masa lalu segera kembali membalut rintih
hingga tak menganga berlubang serupa kloset
tempatmu duduk berjam-jam menangisi waktu
mengunyah ingatan dengan separuh mulutmu
lalu dimuntahkan ke dalam kloset berair kelabu

/4/
Sesungguhnya telah lama perih dadamu membaca kabar
diam-diam melipatnya memasukan ke dalam kantong plastik
mungkin sudah kadaluarsa akan segera dibuang
ke tempat sampah bercampur serpihan tulang-tulang ayam
berulat merayap di antara kaleng bekas susu bayi
serupa janinmu keguguran sebelum cukup bulan

Langit di luar masih bersimpati menghadiahi mendung untukmu
berhentilah merintih meski nyerinya masih sehitam pantat panci
lebam membiru di pangkal lehermu muncul bersama urat nadi
bibir di mulutmu segera olesi lipstik merah jambu agar bahagia
bergegaslah mencari malam tanpa harus memikul pijar lampu
duduklah di taman seakan menyaksikan pemberontak tertembak
sebelum musim di dadamu ranggas membawa kembali rintihnya.

Parepare, 2023

 

MERAUNG

/1/
Masih diingat sekawan burung pancaroba melintas di keningku
langit berawan kelabu mendengarkan dengan setia kau meraung
ditinggal kisah yang kandas serupa jatuh ke dasar lembah
dalam dan berkabut sebelum menerima ribuan cahaya
dijatuhkan dari punggung tebing tempat melambaikan tangan
di gugus firdaus

Apakah harus kudengar dengan setia suara meraung kesakitan
seperti para perawat dengan sabar menemani pasiennya
hingga tangan-tanganku terasa amat berat menjinjing suara
suara itu mencari obat dan jarum suntik, tapi kini cairannya
tak tinggal lagi di tabung bersama jarum suntik
mereka pergi mengembara di bibir-bibir perawat
mencari tempat di mana jarum harus menemui lubangnya
mungkin di halaman pantat yang tak jelas lagi warnanya
dibalut celana yang basah oleh kencingnya sendiri

/2/
Meraunglah seperti suara sirine ambulan di padatnya jalanan
jika itu menyelesaikan masalah di antar menuju suatu tempat
untuk meredam kepul dari didih air yang kau jerang di benakmu
juga saat kau selesai meraungkan segala kekesalan
semacam rasa lapar di sisa-sisa makanan kenduri
ada ceceran sambal terasi bersama remah-remah gorengan

Di rumahku, masih ada bisik pintu dan jendela setengah terbuka
kuhitung masih tersisa beberapa tangismu gugur dari langit-langit
seakan menyiratkan raungan dari arah kamar akan segera reda

jadi harapan laron-laron yang masih berterbangan
sebagian mati menabrak kaca-kaca jendela

/3/
Tiba-tiba suara raungmu terseret kereta yang lewat di belakang rumah
tubuhnya menggarit bilur terkena kerikil-kerikil di sepanjang rel
itu tangan, punggung, dan kaki suaramu terbawa di gerbong terakhir
kereta malam tujuan kota yang telah lama hilang di peta
sesengguk suaramu memandangi gelap dari balik jendela berembun

Malam kau bawa pergi dengan masih meraung tertahan
serupa kesedihan panjang, aku melihat suaramu dihinggapi kunang-kunang
membawa terbang rumbai embun mengikuti temaram cahaya lampu
lalu kau ikut bersama kunang-kunang meninggalkan gerbong kereta
aku sendiri tak mampu menjawab kenapa kau ikut pergi
padahal malam tak pernah menjanjikan menemani sampai fajar

Masih kutunggu sejauh mana cahaya setia pada gelap
bulir-bulir embun mulai mengaduh dilepaskan dari kaca jendela
masih terdengar sayup-sayup raungan dari peron stasiun persinggahan
berharap bukan suaramu lagi yang telah mati beberapa tahun lalu.

Parepare, 2023

 

MENDESAU

/1/
Di tangan-tangan angin biji randu ditebarkan di seluasan padang
menitipkan guguran daun di musim kemarau
batu-batu hanya diam berjaga
bersorak mendapat serpihan kapas di keningnya
angin terus mendesau memanggil belalang dan kupu-kupu
sambil memperkenalkan kecut jeruk purut
yang pohonnya ditanam dari kesabaran ibu

Sebenarnya tak ada yang benar-benar tertiup menuju lembah
sebagian terbenam di rawa-rawa dekat sungai
hingga tenggelam sepinggang di lumpur paling keruh
angin masih mendesau di tepian bumi raya menyapa dedaunan
menghitung tiap ranting yang patah

/2/
Desau itu pengembara menggiring awan melintasi alis langit
menyisihkan gerimis lalu memberi sarung badik pada petir
mendesaukan suaranya sendiri yang akan fana

Menjalin angin pada tubuh kemarau dan rekah tanah
selalu saja merasakan semilir menepuk punggung waktu
sambil duduk di tangga rumah panggung, rambut terurai
menyulam pandangan semesta serupa burung-burung
berhinggapan di ranting-ranting lembah nurani
siapa lagi yang mau mengusir selain desau angin dari timur

Di lorong kampung anak-anak telanjang dada berlarian
menarik benang layang-layang agar bertemu angin

terus ditarik hingga melayang kemudian menukik lagi
tersangkut di tiang listrik yang penuh bangkai laron

/3/
Senja masih membiarkan desau angin menyingkap gelisah
dari daun-daun yang berguguran menebar di seluasan taman
ada terselip tubuh masa lalu seperti gadis belia berwajah pucat
di antara daun mengering dengan tangannya lemah menggapai
ingin memeluk bayang-bayang kaki yang menginjaknya
berbulu lebat dan berkuku panjang, entah kaki siapa menjemput angin

Serakan daun-daun melambai pada desau
yang suaranya terdengar juga dari jauh
memukul bangku-bangku di taman hingga berderit
tak mudah menjelaskan ke mana peta perjalanan angin
mungkin terbang sampai ke sorga

Desau itu membuka mulutnya dengan gigi-gigi bertaring
bibirnya yang tebal tersenyum entah untuk siapa
tapi suaranya bisa direkam sedang memukul-mukul gelombang laut
semua pun bergegas melihat pohon-pohon ditabuh serupa gendang
angin membadai membuat pusaran di mana-mana
sambil menyusuri musim berangkat ke hulu sebelum hilir

/4/
Sebenarnya desau itu hanya untuk pergi dan kembali
jauh dari kecemasan sebab yang gusar hanya pikiran musim
mengikuti waktu mendaki jalan ke lembah
atau pergi jauh sekali membawa lari wajahnya sendiri.

Parepare, 2023

 

BIODATA

Tri Astoto Kodarie, lahir di Jakarta, 29 Maret, besar di Purbalingga, sekolah di Yogya dan menetap di Parepare, Sulawesi Selatan. Ada 11 buku puisi tunggal yang telah terbit. Buku puisinya berjudul “Hujan Meminang Badai” mendapatkan Penghargaan dari Kemdikbud Tahun 2012, serta berbagai penghargaan lainnya. Beberapa kali memenangkan lomba penulisan. Puisinya termuat di puluhan antologi puisi bersama di berbagai kota. Berbagi keindahan puisi melalui kanal Youtube: @TriAsKodarie Channel. Kini tinggal di Parepare, Sulawesi Selatan.

Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama. Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!