REVOLUSI PENEGAKAN HUKUM: Founder The Somya International (S’INT) Law Office, I Made Somya Putra, S.H., M.H.
I NYOMAN SUKENA, yang didakwa karena memelihara landak jawa tanpa izin dituntut bebas oleh Jaksa Penuntut Umum yang sebelumnya mengaku mengajukan penangguhan penahanan.
Langkah hukum JPU disambut cepat oleh penasihat hukum Sukena dengan mengajukan penangguhan penahanan bersama desa dan pledoinya meminta bebas.
Sepertinya hakim akan kompak dengan JPU dan penasihat hukum akan membebaskan I Nyoman Sukena setelah memberikan penangguhan penahanan .
Perlu diketahui bahwasanya proses hukum sebelumnya dari penyelidikan, penyidikan, pra penuntutan, dan dilimpahkan hingga didakwa dan diadili hakim, baik KSDA, kepolisian, dan kejaksaan, serta hakim jelas-jelas memposisikan dan mempersepsikan I Nyoman Sukena sebagai orang bersalah karena adanya tindakan penahanan.
Pahlawan keadilan yang pertama dan harus kita ucapkan terima kasih bagi I Nyoman Sukena adalah media mainstream atau pers yang mempublikasikan perkara kasus ini hingga menjadi atensi publik.
Gayung bersambut, kasus “landak” I Nyoman Sukena membuat para advokat, wakil rakyat, pejabat, penggiat media, dan pihak-pihak lainnya bersuara hingga akhirnya mengganggu keyakinan JPU yang mendakwa.
Setelah kekuatan rakyat hampir membunuh kepercayaan publik terhadap penegakan hukum, barulah JPU terlihat khawatir dan terlihat merasa bersalah.
Semula yakin 100 persen I Nyoman Sukena benar-bernar bersalah hingga menjadi pesakitan di Pengadilan Negeri Denpasar, JPU berbalik 180 derajat dan mengambil langkah mengajukan penangguhan penahanan serta menuntut agar terdakwa yang awalnya bersalah menjadi bebas.
Tuntutan bebas memang pernah ada, tapi tidak lazim. Apalagi alasannya karena tidak ada niat jahat (mens rea), yaitu sebuah unsur dalam teori kesalahan pidana, sebab unsur tersebut sebelum dibawa ke pengadilan haruslah sudah terbukti dengan kuat, dalam bukti permulaan yang cukup.
Artinya hancur sudah hasil penyelidikan, penyidikan, dan dakwaan di tangan Jaksa Penuntut Umum sendiri melalui sebuah tuntutan hasil atensi publik yang ternyata lebih membawa keadilan bagi perasaan hukum masyarakat.
Atau bisa dikatakan bahwa proses penyelidikan, penyidikan, dan dakwaan serta penahanan I Nyoman Sukena telah diakui sebagai sebuah kesalahan dalam penegakan hukum.
Mari kita berpikir, bagaimana jika pers tidak memberitakan dan tidak ada atensi publik? Apakah yakin jaksa dan hakim bersikap sama?
Di sinilah anggapan No Viral No Justice menjadi penentu alur hukum akhirnya mempermalukan sikap-sikap pemilik diskresi aparat penegak hukum yang selama ini terasa jagoan dalam menentukan nasib manusia tanpa kebijaksanaan.
Kini, keangkuhan pemegang diskresi runtuh dan hampir meluluhlantakkan bangsa dan negara karena hancurnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia yang tidak mengukur fungsi keadilan dan kemanfaatan.
Perlu disadari, salah satu tolok ukur hancurnya sebuah bangsa adalah menumpuknya rasa kekesalan masyarakat karena hukum dinilai tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Kasus lain yang ketika melibatkan pejabat tidak diproses, tapi dengan masyarakat kecil diproses dan ditahan bahkan dipenjara.
Ternyata ada sate landak juga yang dagingnya diperjualbelikan bahkan dikonsumsi dengan terang benderang.
Landak jawa liar dibiarkan merusak tanaman warga dan tidak pernah ada aparat KSDA, polisi, atau jaksa datang menangkap si landak.
Di sisi lain, rakyat dibiarkan sendiri menghadapi masalahnya dan ketika landak dipelihara malah diperkarakan padahal landak yang dicap langka justru berhasil dikembangbiakkan.
Perasaan-perasaan demikian sama sekali tidak diukur oleh aparat penegak hukum yang hanya merasa bertugas; unsur-unsur pidananya terpenuhi maka ia diproses pidana.
Cara-cara penerapan hukum demikian hampir meruntuhkan bangsa ini.
Syukurlah sejumlah pejabat mengambil posisi sebagai masyarakat jelata dan berteriak lantang hingga membuat Kejaksaan Tinggi Bali mengambil langkah balik badan dan membebaskan terdakwa dari dakwaan.
Saya pikir, apakah sikap kejaksaan itu perlu apresiasi? Sepertinya tidak, bahkan lebih baik mundur saja dari posisi pimpinan kejaksaan sebab kasus ini sudah meluluhlantakkan kepercayaan masyarakat kepada penegakan hukum di Indonesia, walaupun endingnya ada rasa bersalah dari pihak kejaksaan melalui tuntutan bebasnya.
Hancurnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum karena kasus landak jawa ini harus menjadi pembenahan besar-besaran di semua komponen penegakan hukum, baik di kepolisian, advokat, kejaksaan, kehakiman, KPK, dan pejabat-pejabatnya di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Arus bawah sudah terang-benderang menilai penegakan hukum di Indonesia saat ini luar biasa bobrok.
Bukan sebatas renungan, gerakan pembenahan total alias revolusi penegakan hukum harus terwujud dalam rangka menjaga trush atau keyakinan rakyat terhadap negaranya sendiri. (*)