Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

ADAT DAN BUDAYA

Nyepi Dilanggar, Niluh Djelantik: Mohon Hormati Kami 1 Hari Saja

TOLERANSI: Nyepi 1946 Saka, Ni Luh Putu Ary Pertami Djelantik mengajak umat Hindu, khususnya prajuru adat tetap berpegang teguh kepada pararem yang dimiliki sekaligus mengedepan tindakan tegas dan humanis merespons pelanggaran yang dilakukan saat Nyepi, Senin, 11 Maret 2024.

 

DENPASAR, Balipolitika.com- Hari suci Nyepi yang dirayakan setahun sekali sangat istimewa bagi umat Hindu, khususnya di Bali. 

Catur Brata Penyepian yang dijalankan oleh umat Hindu saat Nyepi membuat Pulau Dewata seolah tanpa penghuni selama 24 jam; segala aktivitas berhenti, jaringan internet diputus, lampu penerangan padam, masyarakat menyepi di rumah masing-masing. 

Tahun 2024, Nyepi yang dirayakan secara turun-temurun sejak zaman Raja Kaniska I dari Dinasti Kushana di Asia Selatan yang naik tahta tahun 78 Masehi dirayakan pada Senin, 11 Maret 2024. 

Keistimewaan Nyepi ini membuat masyarakat internasional terpukau karena ritual ini berdampak positif dalam mengendalikan diri dan penyadaran lingkungan sebagai upaya mengurangi tingkat pencemaran di jagat raya ini.

Nyepi 24 jam nonstop terbukti mengembalikan keseimbangan alam semesta, baik dunia rohani maupun jasmani sekaligus memberikan kesempatan kepada alam menjadi paru-paru dunia.

Sayangnya, meski diakui dunia, Nyepi Tahun Baru Saka 1946 tahun ini kembali diwarnai serangkaian peristiwa yang kurang sedap. 

Mulai dari insiden Ratna Sarumpaet yang bermobil ria mencari ATM BCA hingga pengendara sepeda knalpot brong di Kabupaten Jembrana.

Merespons pelanggaran pada saat Nyepi ini, Ni Luh Putu Ary Pertami Djelantik mengajak umat Hindu, khususnya prajuru adat tetap berpegang teguh kepada pararem yang dimiliki sekaligus mengedepan tindakan tegas dan humanis. 

“Selain hukum adat ada juga hukum yang berlaku secara nasional. Karena ini hari raya nasional, kalau melawan ya serahkan kepada pihak kepolisian karena hal tersebut tergolong mengganggu ketertiban umum agar tidak terjadi benturan antar masyarakat atau dibenturkan. Karena sekali lagi ini bukan urusan agama; ini bukan tentang dua agama yang berbeda. Ini adalah tentang bagaimana masyarakat Bali yang sudah turun-temurun menjaga tradisi, adat, dan budayanya. Dan yang kami minta sangat sederhana, yaitu mohon pahami dan hormati sehari karena kami melakukannya di tanah kami sendiri, di tanah kelahiran kami. Jadi tidak lagi tentang perbedaan, tetapi justru keberagaman itulah yang harus kita rekatkan,” ucap Niluh Djelantik yang merupakan warga Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali. (bp/ken)

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!