Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

Puisi-Puisi Faustina Hanna

Ilustrasi: Wayan Jengki Sunarta

 

Jophiel
— Beauty of God

Ketaatan dan kesetiaanmu pada perintah Tuhan Allah
Dalam menjaga kemurnian jalan menuju Pohon Kehidupan
Dengan pedang yang bernyala dan menyambar-nyambar;
Setelah Tuhan Allah murka mengusir Adam dan Hawa
Yang mencicipi sedap buah dari Pohon Terlarang
Di Taman Eden,
Menasbihkanmu sebagai malaikat kerub pertama
Yang disebutkan dalam Kitab Suci

; Kereta berkuda milik Tuhan Allah
Mendukung kendaraan takhta kemuliaan

Suara nan merdu sekaligus jernih
Dari salah satu pemimpin paduan suara
Dari Cherub,
Telah mengalirkan kepada umat manusia
: karunia kecantikan
Yang diembuskan perlahan oleh Tuhan Allah

Penglihatan dan pencerahan surgawi semakin ditajamkan;
Pikiran iblis yang sempit rantai ketamakan dipatahkan

Pelindung sejati kaum seniman;
Engkau sepasang mata penjaga yang segera menyembul
Pada kunci pintu gerbang Museum Louvre,
Berkelebat cepat ketika Venus de Milo terisak sedih
Bergegas pergi mencari bagian kedua lengannya
Juga busur, bejana, cermin, perisai, apel serta mahkota
Di reruntuhan kota kuno tempat ia ditemukan
Hampir dua ratus tahun lalu

Engkau perlintasan imaji yang seterusnya memanjang
Meredam guncangan gempa dalam Paradiso,
Sewaktu gema “all’alta fantasia qui manco possa”*
Dipersembahkan dengan teramat indah dan tulus
Oleh penyair termasyhur Dante

Manusia lama dan baru bangkit mencari
Kebijaksanaan waktu Tuhan Allah;
Melalui jalinan doa, dosa, alam, dan malapetaka bencana
− kelopak mata mereka terkatup tertusuk kilau sinar,
sesunyi bunyi sangkakala −
Sementara engkau menetap bersiap di jantung iman
Memerangi firasat-firasat buruk yang terjun turun
Bagai hujan anak panah yang disusul lautan darah

Saat turunnya salju bagai benih kristal dari sungai kasih
Yang ranum dan bercahaya
Di sudut aroma perapian, seraya sabar menanti
Pawai Sinterklas, anak-anak dibimbing orang tua
— merangkai replika Pohon Terang
Yang sepenuhnya dinaungi oleh aura putih sayapmu
Mencegah kembalinya akar dosa
Di tengah kesucian firdaus

Sebelum pesawat-pesawat kertas berkilap itu tergantung
Pada setiap kemuskilan dahan yang bercabang,
Mereka terlebih dahulu menuliskan doa, impian, dan harapan
Di dalamnya bagi kesejahteraan dunia

* “all’alta fantasia qui manco possa”: “fantasiku yang tinggi tak berdaya di sini” − ketika Dante memandang wajah Allah, dalam mahakaryanya ‘Divina Commedia’ (Komedi Ilahi).

Silentium

“hamba kini tengah menggenapi takdir
sebagai ruh dosa yang kerdil,
kerasan bermukim di antara lekuk senyum
dan pengadilan tuhan.”

hangat, sungguh~
bikin hamba melupa; perihal hidup, perihal kematian
— candu semu
pada masa lalu

tanpa terkecuali. mereka yang berceloteh ringan
pada sepanjang lorong api penyucian,
akan rupa hingga riwayat mimpi hamba yang
telanjur jenaka.
hmm.
demikian pula kepada penjaga gerbang
surga dan neraka nan setia

─ akankah kian bersilih ganti serupa cambuk
dan pucuk mabuk
yang setara

kain putih beraroma kembang kamboja
penutup pusara hamba dahulu
kiranya masih tertinggal tersipu. dikunjungi
khidmat anggur yang terlampau santun.

seraya ketaatan para peziarah yang hibuk
berhimpun di sudut terpencil
di bawah langit muda sana,

telah turun temurun mereka giat merapalkan
sebelum alpa
: sepenggal percakapan mesra antara adam dan hawa
yang pernah begitu berburuk sangka. perihal
desis ular penyimpan karma.

— semestinya;
hampir mencapai simbol akhir
pada semesta hening

hamba bertafakur
demi menuju semesta hening yang lama dijanjikan itu;
ruang tempat hamba coba menjangkau
sisa ingatan tentang merah darah
hingga putih sejati tulang manusia.
yang konon diperkirakan tampil meronta-ronta
(ketika denyut-alur sungai pertama kali tercipta)

hingga yang dicerabut paksa
bagai setitik debu liar
dari suatu pangkal diri.

sekejap saja, gerak sunyi napas tengah terbaca
di sekeliling patung batu,
(patung sesosok ibu yang sepenuh berduka
bersama sang putra dalam pangkuan.
memoar para penginjil suci yang kian bergema,
memenuhi sudut temaram sebuah gereja tua)

dapat mewujud nyata kenang bayang
sesosok pendoa
bagi takdir keruh hamba
bersama tarian limbung para arwah,

pendoa perempuan yang lengkap, iman yang
paling sabar,
teguh
pun tekun
; meranumkan berlimpah kidung puji-pujian
teruntuk tuhan
maha penyayang.

Katedral, 2012-2020

 

Kau dan Perempuan Imajinermu

kini, cobalah renungkan hati-hati mengenai perempuan;

• yang piawai mengantarmu menuju mabuk, tanpa perlu setetes pun anggur dituangkannya ke tengah gelasmu

• yang sepuluh ditambah tujuh kali, menguji tuntas panas asmara di dasar gelasmu, melalui perjanjian yang dikendalikan oleh bara api perapian

• yang berikrar, bahwa ruang tengah dengan nuansa kayu jati ini, sebagai sebuah kegilaan permanen yang paling waras dalam mengikat ciuman liar serta pelukan kalian

• yang berbisik mesra dan tersipu, bahwa kharismamu merupakan surga kecil yang terbentuk tidak wajar di antara degup jantungnya

• yang lantas menjadikanmu separuh murka, kala membayangkan kelak mesti berbagi ranjang pernikahan, bersama setumpuk tebal buku bacaannya

maka, aku berani bertaruh kehidupan kalian akan menjadi semakin seru, ketika pada pertengahan malam tiba-tiba kau mendapatinya tengah berada di hadapan monitor komputer. ya, rasanya sekejap saja ia lepas menghilang dari pelukanmu?
kupastikan, kala itu ia tidak akan memilihmu dibanding nikmatnya keriuhan dari sebuah dunia yang ia ciptakan, di dalam kepalanya sendiri.

bagaimana…?
ini pangkal hari yang suci dan masih teramat belia. ketika pertama kau dapat membuka sepasang mata beserta mata hatimu, kupikir kau tidak bakal mencobai segenap kewarasanmu, dengan bersikukuh jatuh cinta kepada seorang perempuan penyair, bukan?

08 April 2020
(05.07)

 

Victim

di antara kata ‘aku’ dan ‘kamu’: terdapat semerbak mawar merah
yang tergelar sepanjang pembaringan, jarum jam yang mendamba

ditahbiskan oleh malam, gadis pemintal dalam cermin yang berjuang
memasang kaki kayu bagi kaki serangga yang dipatahkan angin,

tatkala mereka mengakrabi yang pernah terjadi dan bersembunyi,
di balik perjumpaan bibir kita. terdapat kembara mimpi yang pandir

berselimut cinta berpasir, keranjang sampah, gema keakuan yang
menjadi raja penguasa atas diri kita, dan yang terakhir ditemukan

adalah puisi. (maka aku berikrar; hanya dia satu-satunya yang mesti
terselamatkan)

2019-2020

 

Sebelum Pecah

Tentu saya sedemikian sunyi ketika tengah berlarut
dalam sepenggal memorabilia, dan saat itu merasa
tidak membutuhkan sebuah kesadaran terpencil akan
luka-luka saya.

Yang kemudian saya (sengaja) melupa, bahwa sebuah
gelas kaca di sudut meja
bisa saja retak ketika harus menerima air
yang terlalu panas.

Yang dituangkan dari masa silamnya

2022

 

BIODATA

Faustina Hanna, lahir di Jakarta, 5 April 1987. Penikmat seni-budaya dan kearifan lokal. Sehari-hari bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta di Jakarta, aktif menulis puisi, freelance Graphic Design, dan menekuni dunia kuliner Nusantara. Sajak-sajaknya terbit di Republika, Media Indonesia, Jurnal Nasional, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Banjarmasin Post, Rakyat Sultra, Lombok Post, Bali Post, Tribun Bali, Nusa Bali, Pos Bali, Pos Kupang, Radar Cirebon, Radar Lampung, Radar Mojokerto, borobudurwriters.id (Borobudur Writers & Cultural Festival), magrib.id, berandanegeri.com, beritabaru.co, Cerita Net, PustakaEkspresi.

Beberapa sajaknya tergabung dalam antologi komunal Kutukan Negeri Rantau (Forum Sastra Bumi Pertiwi, 2011), Jembatan Sajadah, Kabar dari Negeri Seberang (UmaHaju Publisher, 2012), Kursi Tanpa Takhta (Writing Revolution, 2012), Berbagi Kasih (Penerbit Sahabat Kata, 2012), Antologi Bersama Lomba Cipta Puisi Nasional Komunitas Kopi Andalas (2012), Nostalgia Filantropi Tiada Terbalaskan (Penerbit Jendela Sastra Indonesia, 2020).

Menjuarai lomba penulisan puisi, di antaranya: Juara 3 Sajak TKI (UmaHaju Publisher, 2012), Juara Harapan 1 “Ekspresikan Dirimu dengan Puisi” (Writing Revolution, 2012). Pernah menempuh pendidikan Desain Komunikasi Visual di Bina Nusantara Center, Jakarta dan berencana melanjutkan studi ke Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Wayan Jengki Sunarta, lahir di Denpasar, Bali, 22 Juni 1975. Ia menamatkan kuliah Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Bali. Kemudian ia kuliah Seni Lukis di ISI Denpasar (tidak tamat). Selain dikenal sebagai sastrawan, belakangan ia gemar melukis yang merupakan hobinya sejak kanak-kanak. Pameran seni rupa yang pernah diikutinya, antara lain Pameran Bersama SahabART di Rumah Seni Paros, Sukawati, Gianyar, Bali (2020), pameran Silang Sengkarut di Dalam Rumah Art Station, Denpasar (2022). Tahun 2020, tiga karyanya masuk Semi Final Lomba Lukis “Titian Art Prize”, Yayasan Titian, Bali. IG: @jengki_sunarta.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!