Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Hukum & Kriminal

Fitnah dan Benturkan Sulinggih, Narasi JBS Terindikasi Langgar Pasal 28 UU ITE

CURI PERHATIAN: Jro Bauddha Suena (kiri) bersama seorang pria dengan kontum khas India.

 

DENPASAR, Balipolitika.com- Narasi akun Facebook ‘’Jro Bauddha Suena’’ (JBS) yang dimuat tanggal 16 Juli 2022 pukul 22.14 disebut berpotensi terjerat tindak pidana pelanggaran UU ITE.

Narasi tersebut diduga kuat mengandung unsur fitnah, kebohongan, memprovokasi benturan dan pelecehan terhadap Sulinggih Parisadha Hindu Darma Indonesia (PHDI).

JBS, menyebut Sulinggih PHDI dalam menyikapi eksistensi Sai Baba cenderung ‘’diam’’ seperti Rsi Drona dan Pangeran Bhisma dalam Mahabharata.

Disebutnya juga bahwa sikap diam Drona dan Bhisma itulah salah satu penyebab perang Bharata Yudha alias perang saudara.

Potensi pelanggaran hukum itu dilontarkan beberapa praktisi hukum, yakni Wayan Sukayasa, SH, Made Dewantara Endrawan, SH, Made Rai Wirata, SH, dan Ketut Artana, SH, MH.

Menanggapi ucapan JBS dalam akun facebooknya, para praktisi hukum ini menyebut adanya indikasi kuat pelanggaran Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE.

JBS menulis sebagai berikut.

Kenapa para sulinggih Hindu Dresta Bali/ Nusantara SABHA PANDITA PHDI MS XII “MENENG” (diam), TIDAK BERSIKAP TEGAS SECARA TERBUKA terhadap PENGIKUT AJARAN SAI BABA ?*
Sulinggih Hindu Dresta Bali/Nusantara sekarang ini tersebar (atau dibaca lain: terbelah?) Di 2-kubu: PHDI-P dan di PHDI MS XII. Kalo saja memang murni mau ngrajegang Dresta Kasulinggihan Bali/Nusantara, para sulinggih yang masing2 ada di ke-2 kubu bisa sangat menentukan sikap u/ menginstruksikan Pengurus Sabha Walaka dan Pengurus Harian di masing2 tingkatan melaksanakan Hindu Dresta Bali/Nusantara. Kenapa para sulinggih “meneng” (diam), TIDAK BERSIKAP TEGAS, menyikapi ini ? Khususnya para sulinggih Hindu Dresta Bali yang saat ini ada di kepengurusan Sabha Pandita PHDI Pusat MS XII.Jika para Sulinggih saja Meneng (diam) terhadap ajaran SAI BABA…itu namanya membiarkan atau PEMBIARAN.DALAM ITIHASA MAHABHARATA, SIKAP DIAM NYA RSI DRONA DAN PANGERAN BHISMA TERHADAP KONFLIK ANTARA PANDAWA DAN KURAWA ADALAH SALAH SATU PENYEBAB TERJADINYA PERANG BHARATA YUDHA
BALI NEGARA TEATER , seperti ditulis antropolog Cliford Geezt, kini kian nyata.

 

‘’JBS jelas menyebut Sulinggih dalam Sabha Pandita PHDI MS XII diam seperti Drona dan Bhisma; menyebut bahwa bisa terjadi perang Bharata Yudha. Bali Negara Teater itu ucapan apa kalau bukan hasutan? Sangat jelas adanya nada hasutan dan provokasi dalam narasi JBS tersebut,’’ kata Sukayasa.

JBS juga menulis sulinggih Sabha Pandita PHDI MS XII tersebar (terbelah) di dua “kubu’’. Lalu ada kata ‘’perang Bharata Yudha’’, konflik antara ‘’Kurawa dan Pandawa’’.

Ini dinilai sangat jelas mengandung provokasi, memanasi, dan mengipasi konflik.

Ucap Sukayasa indikasi provokasi makin jelas dan kuat karena JBS menafikan sejumlah keputusan dan langkah-langkah PHDI Bali maupun PHDI Pusat yang mengakomodasi banyak aspirasi organisasi Hindu di Bali yang semula menuntut pencabutan pengayoman Hare Krishna/ISKCON, lalu bertambah menuntutnya juga ke Sai Baba, dan berbagai tuntutan lainnya.

‘’Kalau JBS menyebut Sulinggih PHDI seperti Drona dan Bhisma di Korawa, lalu pengurus PHDI berarti satu gerbong ibarat Korawa dalam narasi JBS? Tidak mampukan JBS mencatat dan menilai, sudah ada pencabutan pengayoman sampradaya non-dresta Bali oleh Sabha Pandita, pencabutan pengayoman oleh Ketua Umum PHDI Pusat, pencabutan pengayoman sampradaya dalam AD/ART PHDI Mahasabha XII, ada SKB PHDI-MDA 16 Desember 2020 tentang pembatasan pengembanan sampradaya non dresta Bali, penolakan sampradaya asing non-dresta Bali oleh Paruman Pandita PHDI se-Bali 10 Juni 2021, dan semua itu ada peran Sulinggih PHDI di dalamnya. Anehnya, JBS tak menyinggung semua pelayanan para Sulinggih itu, lalu menuding Sulinggih PHDI diam seperti Drona dan Bhisma. Itu fitnah yang keji. Apalagi ditujukan kepada Sulinggih,’’ ujar Sukayasa.

Ujaran JBS memenuhi unsur Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), kata Sukayasa dan Rai Wirata sambil mengutip pasal UU ITE tersebut.

Pasal 28 (1) dimaksud berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.

Unsur bohong yang menyesatkan, kata Sukayasa berupa penyebutan Sulinggih PHDI diam seperti Drona dan Bhisma dan menuding Sulinggih PHDI melakukan pembiaran.

“Padahal fakta-faktanya sangat banyak keputusan lahir dari peran dan arahan Sulinggih. Tidak benar Sulinggih PHDI diam seperti tuduhan JBS,’’ kata Rai Wirata.

Pasal 28 (2) dimaksud berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Rai Wirata menambahkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat berdasarkan SARA.

“Karena JBS menyebut Sulinggih PHDI seperti Drona dan Bhisma, mengaitkannya dengan perang Bharata Yudha, dan JBS patut mengerti bahwa menyebut seorang atau beberapa Sulinggih sebagai Drona dan Bhisma itu sama saja menstigma, memberi cap buruk, karena dalam lakon Mahabharata, Drona dan Bhisma adalah dua Pandita yang memihak seratus Korawa yang jahat. Betapa kejahatan Drona dan Bhisma yang diam di arena judi Hastinapura ketika Dursasana menelanjangi Drupadi, ketika Sangkuni bermain licik, dan belanjut ke pengasingan Pandawa di hutan selama 12 tahun dan masa penyamaran selama setahun. Menuding Sulinggih PHDI seperti diamnya Drona dan Bhisma sama saja menyebut Sulinggih PHDI berkhianat pada dresta Bali, karena jargon itulah yang diusung oleh mereka yang memusuhi PHDI hasil Mahasabha XII,’’ imbuh Ketut Artana.

Lebih jauh, JBS diminta memahami konsekuensi dari narasinya yang dinilai memfitnah dan merendahkan Sulinggih PHDI MS XII seperti ditulis dalam statusnya. Dan ancaman hukuman bagi pelanggaran pasal 28 ayat (1) atau ayat (2), tertera dalam Pasal 45A dan 45B,

Pasal 45A berbunyi (1) setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 45B berbunyi (2) setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Sementara itu, Pasal 45B berbunyi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukkan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). (tim/bp)

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!