Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

Puisi-Puisi Lilin

Ilustrasi: Hendra Utay

 

BONEKA MATAHARI

Hari-hari mempermainkan aku lagi
Ia menjadikanku boneka matahari di langit-langit
Hanya angin musim kemarau menerbangkannya

Mantra-mantra di dahan pohon tua bergoyang tampakkan nasib baik
Dari pandangan mata besar kawan-kawan
Penimbang rejeki di panggung persahabatan

Adalah aku yang bergelantungan pada kata-kata
Menutup lukisan kemiskinan dengan goresan bibir senja yang patah

Terbang menjadi satu-satunya ingin yang Tuhan, aku, dan nasib baik harapkan
Meski ranting kering meninggalkan sobekan pada kain pembebat tubuh
Dan masa depan koyak-moyak

Hari-hari sudah mempermainkan aku
Mengirimkan musim dalam kasar cuaca
Sedingin tatapan hujan di tubuh batu-batuan keras
Sebelum aku menghabisi diri
Ingin kurayu hari-hari untuk mengentikan perputarannya di panas jiwa

Surabaya, 2022

 

PUDAR

Kala malam menjenggukmu
Pejamkan mata dan tempelkan telinga
Lalu dengarkan lagu kita
Kuakan mengecupmu dalam mimpi

Kala hening menyentuh tubuhmu
Sampaikan pada rindu dan kunang-kunang
Ingatlah, orang yang kaucintai lebih mencintaimu

Kala mentari pagi, aku memikirkanmu
Duduklah di samping ranjang
Saat dunia membuka mata dan melihatmu pertama kali
Ia ‘kan bahagia dan aku akan lebih bahagia lagi
Kukira kau akan sanggup, namun ternyata ku tak pernah sanggup

Surabaya, 5 Maret 2022

 

BETAPA INDAH DUNIA

Warna-warni pelangi begitu indah di langit,
Juga di wajah orang-orang yang kian kemari.
Kulihat semua teman berjabat tangan dan berkata, “bagaimana kabarmu?”
Mereka benar-benar saling menyayangi.

Kudengar bayi-bayi menangis, tampak bersiap-siap tumbuh. Sementara beberapa perempuan tertimbun tanah, dan aku masih bisa bertepuk tangan. Anak-anak lelaki menunggu perahu membawanya pulang, satu saja bisa mati.

Aku mengeja dan menuliskan bahasa-bahasa dengan getaran. Dada dijejali kemarahan, sekali lagi masih bisa tangan meraba-raba tawa. Seperti apa garis lengkung bibir yang pantas untuk dikenakan. Dan jika kematian datang dan berkabar, kepada anak lelaki yang mengendongku pulang. Akan kuhadiahkan sekeranjang kentang yang mengenyangkan.
“Semua akan lekas beranjak pulang, Sayang.”

Surabaya, Mei 2022

 

MENEMUKAN SESUATU YANG PANTAS DIHARGAI

Tak ada ucapan selamat pertama, tetapi aku tahu kaumelihatku dari kejauhan. Melebihi tiga menit dari yang kaujanjikan. Dengan mata itu kaubangunkan sebuah rumah dengan ribuan jendela. Dimana setiap tetesan hujan bisa menyentuh satu persatu kaca jendelanya. Sebanyak tiga puluh sembilan kali, kita dipersatukan kembali.
Aku merindukanmu lagi, sekali lagi.

Aku tak pernah tahu mengapa Tuhan membiarkanku melewati ini. Terus berusaha mencari-cari pertolongan kembali. Setiap orang yang melihatku, ‘kan menganggapku cengeng.
“Kau tak perlu peduli, jika saja semua membuahkan cinta.” Begitu katamu.

Lekas warnailah kukuku dengan buah tomat, yang melebihi manisnya stroberi. Ingatlah saat kau menjilatnya, kuakan merasakan harapan. Harapan kita hanya ingin menjadi dewasa dan memahami arti cinta meskipun dengan cara yang berbeda.

Surabaya, 5 Mei 2022

 

===============================

Biodata

Lilin adalah nama pena perempuan kelahiran Surabaya ini. Penyuka sepi dan sendiri ini menulis untuk meluahkan segala rasa. Jejaknya bisa dilacak di akun instagram @lilinmey, bisa juga kepoin akun facebooknya Lilin (Mey Farren).

Hendra Utay adalah aktor, penulis naskah, sutradara, pelukis, yang lahir di Cimahi, Jawa Barat, 14 Oktober 1976. Ia menetap di Bali. Pernah bergabung dengan Sanggar Posti (1992–1997). Pengalaman di dunia akting dimulai di tahun 1993 dengan bermain di TVRI Denpasar. Juga bermain dalam pementasan Aum (1994), Peti Mati (1997), Dalam Dunia Diam (2000), Sembahyang Kamar Mandi (2000), Monolog Karyo (2001), kolaborasi dengan Commedian de Altre (2002) dari Italia di ARMA Ubud, Oedipus Sang Raja (2005), Racun Tembakau (2005) untuk Pesta Monolog di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Kisah Cinta Dan Lain-Lain (2006), dan Eidipus Sang Raja (2006) kolaborasi kecak dan tari dengan sutradara William Maranda. Menjadi Sutradara dalam Tanah Air Mata (2003), sutradara dan penulis naskah film indie Hitam (2006), The Voice (2007), menyutradarai dan menulis naskah Lakon Di Layon (2008) dan Hong (2008), dan sebagainya. Aktif mengajar teater di beberapa sekolah di Bali.

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!