Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

Puisi-Puisi Ngakan Made Kasub Sidan

Ilustrasi: Gede Gunada

 

MENYAPA SUNYI TANPA KATA
(Buat: Umbu Landu Paranggi)

Perburuan yang terbenam di tepian sabana
mencoba melukis bentangan busur
yang dilepas kuda sumba dari atas pelana
busur itu melesat sendiri menyapa sunyi tanpa kata
memburu dunianya dalam keabadian
bersemayam dalam rumah kata penuh rahasia

Di sini di bentangan tanah leluhur
sepanjang muara sungai berfigura aksara
kau alirkan roh kata-kata bermantra
pada sekawanan kembara pemburu makna

Kini setiap kali kocoba menyelinap di kesunyian
tanpa kata torehkan sisa pena tanpa noktah
sabanamu kian luas tanpa pematang
hingga alirkan kerinduan akan suara pedas
di balik ringkik kuda putih, kuda merah, kuda

Sumba
yang kini telah mengelana menyapa sepi
menuju rumah kata
menemani sunyinya sendiri.

(Semarapura_ 2021)

 

MENABUR BERIBU DIAM
(Catatan: Secangkir Kopi)

Secangkir kopi tanpa gula
#adalah aku
hapus penat bersama suntuk mengeja malam
goreskan cerita kembara berilustrasi pahit kehidupan
dalam memburu cahya di simpang jalan
menakar angin
menjaring sepotong lukisan pelangi
yang setia menjaga lengkung langit
untuk kujadikan penabur beribu diam
tanpa gula

Secangkir kopi tanpa gula
#adalah aku
yang mencoba menghentikan purnama di titik kulminasi
agar pahitnya bisa kureguk bersama secangkir arak
memabukkan
karena harap jelata hadirkan beribu rasa
seperti hangatnya seteguk kopi pahit
yang setia menjaga peradaban leluhur
untuk kujadikan penabur beribu diam
tetap tanpa gula
karena saatnya nanti,
kepahitan akan terurai dalam sketsa sajak diri
bahasa hati
tanpa kata
juga tanpa gula

(Klungkung, Bali, Oktober 2021)

 

PELANGI DI ATAS BUTIRAN DAUN
(Pesan: buat ketiga anakku)

Ning….
Aji telah menjelma menjadi pelangi
yang menetes di atas butiran daun
pada deretan pohon yang tertanam di hutan diri
merenda waktu dalam gerimis yang menerka senja
dalam pengembaraan fana titik horizon diri

Ning….
Ketika batang pohon mulai rapuh dimakan senja
tetaplah melukis wajahmu pada ujung daun yang warnanya kian pudar
agar kelak warna pelangi itu mewarnai tapak langkahmu
agar kelak bayang-bayang bulan tak luka di atas tempayan
dan kalian bisa berbagi senyum pelangi bersama

Ning….
Bertiga, jangan sediri melukis warna pelangi
karena keindahannya tak akan tergantikan
Ya ingat bertiga! menebar warna pada gerimis cahya
yang membasuh batang, dahan, dan ranting yang kini lusuh
jangan pernah lelah, episode akan selalu bertunas

Ning
Aji akan tetap menjadi pelangi menghias ujung dedaunan
tengoklah ke atas! mintalah langit menjaganya
karena pada saatnya:
kalian akan menjadi gerimis menangkap pagi
dari pelangi yang sudah pudar

(Klungkung, Bali, September 2021)

Catatan:
– Ning : panggilan penuh kasih sayang buat anak-anak
– Aji : panggilan kepada orang tua = bapak

 

RINDU PURBA DI CANDI GUNUNG KAWI

Izinkan aku melintasi masa
agar bisa merasakan getaran leluhur
menyepi pada lorong-lorong kesunyian
hingga dapat menyusuri lintasi batas hakiki
menapaki 315 anak tangga batu cadas
menatap persinggahan jiwa situs purbakala

Izinkan aku terus melintasi masa
agar bisa tancapkan pahat pada dinding cadas diri
seperti keabadian pahatan Candi Gunung Kawi
batu-batu cadas berpahatkan ornamen ukiran kuno
tertata atas sembilan candi berbingkai gelung
melintas kekar di antara jernih sungai Pakerisan
berbalut embun yang meneteskan tirta kemuliaan

Izinkan aku selalu melintasi masa
agar bisa mengawal kesetiaan berbait-bait puisi
karena setiap kali menatap deretan candi dalam lengkung bingkai
jiwaku seketika mengelana
menerawang melintasi lintasan purba
untuk menggoreskan perjalananan sejarah leluhur
dalam tautan gelora asmara
keagungan Raja Udayana dari Dinasti Warmadewa
berpadu kesetiaan permaisuri jelita
Gunapriya Dharma Patni dari Jawa Dwipa
simbol keterjalinan Bali-Jawa berabad silam

Aku senantiasa rindu itu,
rindu yang terus saja tersisa di atas candi berbatu padas
menerbangkan pikiranku dalam kerinduan purba

(Klungkung, Bali, Januari 2022)

 

WAYAN-WAYANG MELUKIS JIWA
(Catatan di Museum Nyoman Gunarsa)

Cat di atas kanvas merenda nafas perjalanan imajiner
beralur perpaduan abstrak ekspresionis dalam penyatuan
melebur diri dalam senyawa penuhi alur gerak tangan
dalam goresan penyemai jiwa bertabur ilusi
; penuh misteri

Setiap momen mesti hadirkan diri
dalam percakapan wayang dan barong tanpa kata
karena curahan nafas di atas kanvas adalah penyatuan warna nurani
melukis potret dalam bayang-bayang menembus batas angan
tak terbayangkan
adalah tetes nadi melebur pada dimensi perjalanan waktu
keabadian akan tapak langkah, tak tergantikan
; menempa kesetiaan

Museum di simpang tiga menyimpan sejuta cerita
penebus jiwa buat anak cucu kelak
sekalipun sang maestro kini telah melukis keabadian
di atas kanvas diri.

Semarapura, Bali, Februari 2022

 

PENGLIPURAN SELA RINTIK HUJAN
Buat: Mas Bambang Widiatmoko

Ketika kegelisahan akan hilangnya mimpi purba ditelan masa
rintik hujan menghantar jejak kembara
menyapa cerita tentang desa penjaga tradisi moyang
menapaki jalan bebatuan bersisikan hijau rumput
sementara puluhan bahkan mungkin ratusan senyum perempuan berkebaya
setia menyapa pada ruang angkul-angkul klasik yang berjajar
menawarkan persingahan penjaja makanan ringan
sambil menjaga rumah, balai-balai, dan perapian zaman silam
sebagai sebuah kesetiaan akan tradisi moyang beratus silam

Saat melepas pandang di sela angin dari hutan bambu batas desa
beberapa perempuan asing mengeja balutan perempuan Bali
merona senyum dibalut kebaya sewaan untuk berswafoto
sebagai rangkaian cerita pada sisi perjalanan
hingga saatnya nanti akan kembali menelisik cerita tetua
yang belum terceritakan

~ Klungkung, Bali, Januari 2022~

 

================================

Biodata

Ngakan Made Kasub Sidan, S.Pd.M.Pd., lahir di Klungkung tahun 1959. Karya yang telah terbit: Daha Ayu Ring Tengai Tepet (Antologi Cerpen Bahasa Bali), dan Leak Siwa Klakah (Antologi Puisi Bahasa Bali), Pelarian Terakhir (Antologi Puisi), Mentari Belum Tumbang (Antologi Cerpen). Juga ikut dalam beberapa antologi bersama seperti: Antologi 114 Penyair Indonesia, Seribu Tahun Lagi, Bung Hatta dalam Antologi Bersama, Puisi, Cerpen Essai, Plengkung,Yogyakarta dalam Sajak, Mata Air, Air Mata, antologi puisi dwibahasa Bahasa Ibu, Bahasa Darahku, Dunia: Suara Penyair Mencatat Ingatan, Lima Titik Nol, Masyarakat Cerdas dalam Puisi, Lampion Merah dadu, dan lain-lain. Atas berbagai aktivitas di dunia pendidikan dan bidang sastra, selain memperoleh Kepala Sekolah Berprestasi Nasional tahun 2009, tahun 2011 Gubernur Bali memberi Anugerah “Widya Kusuma” (Tokoh Pendidikan Bali).

Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama, antara lain: Pameran Kelompok Komunitas Lempuyang di Hilton Hotel, Surabaya (1999), Pameran “Sensitive” Komunitas Lempuyang di Danes Art Veranda, Denpasar (2006). Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!