Ilustrasi: Gede Gunada
PAKET WISATA
Di jalan sempit dua arah
Iring-iringan ritual
bergerak lamban
Kemacetan mengular
Turis sumringah
menonton di trotoar
Setelah membayar lunas
paket perjalanan wisata
Pergerakan tak mudah
Konvoi adalah
jepitan besi dingin
memacetkan pergerakan hidup
Aspal bergerigi
Terlihat mulus
dari jarak pandang jauh
Wajah-wajah dibalur debu
Tergesa menuntun keinginan
merangsek ke dalam
gedung berpendingin
Ingin secepatnya terbebas
dari siksa matahari
Di gedung berpendingin
Matahari ditaklukkan AC
Kesejukan buatan
Menyihir
Menyindir
Orang-orang bergerak lamban
di akuarium raksasa
berlampu ribuan watt
Gundah hati terhibur
cahaya buatan
Manusia serupa manekin
Kaku
Berdiri saja di titik tertentu
Terhipnotis aneka pajangan
Terpaku. Nalar terganggu
Tarikan kuat konsumerisme
Hedonisme memenjara
mengejek kemiskinan
Narsisme mengendalikan
pergaulan sosialita
Berwajah ganda
Merangkul
Membelit sekaligus
lewat loyalitas buta
Memompa ambisi narsis
hingga mati rasa
Jalanan licin kehilangan tanah
Tanah kehilangan nujum
Angin, udara, matahari terkikis
dari mitos upacara turun tanah
penguat pijakan hidup
Pendoa merapal kenangan
Di trotoar bersenggolan dengan bule
Mantra berceceran di atas paping
Jadi ludah berbau anyir
Debu kemanusiaan
Memacetkan empati
Kawanan narsis bicara keprihatinan
sebatas pencitraan
Selebihnya terbenam
dalam keasyikan bergosip
yang tak jelas dipahami
2024
LAIN
Hedonisme kian gemulai
Serupa penari erotis
Telanjang nerabas alam pikir
Bebas hambatan keluar masuk
Bangunkan syahwat
Sekadar nikmati nikmat
atau menjeratkan diri
Kebebasan adalah panggung terbuka
Imaji lari dari pikiran ke hasrat
Dikendalikan pukau
Orang-orang menggelinding
menelanjangi keinginan
Rontoklah serpih rasa lalu
yang pernah jadi
demarkasi keprihatinan
Reruntuhan jiwa serapuh daun kering
Luruh di guncangan semilir
Pengelana bermata rabun
melangkahi pintu pukau
dan tak pernah kembali
Bertaut mimpi
di antara keriangan
Gegap gempita
Terseret jauh
Gentar pada realitas berwajah murung
Teramat murung
Melambai tanpa terpahami
Memanggil atau
Mengucap selamat tinggal
Pukau semu mengganggu
Belum selesai dengan diri
2024
URBAN
Yang melanglang jauh
ke sisi lain hati nurani
Kepenatan demi kepenatan
jadi warna keseharian
Padat gerah. Sepi seperti mimpi
Mimpi datang hanya saat terkapar
Insomnia mengganggu
Merampas mimpi dan waktu tidur
Dan subuh
tak berarti apa pun
untuk jeda mengeja suara langit
Hari membuntuti waktu
Waktu melangkah cepat
enggan menoleh ke belakang
Meninggalkan atau memaksa
terseret durasi
Telah digariskan perpisahan
dituntun peta garis tangan
Pukau terasing
Sunyi, terlalu sunyi
Seluas pandang, ilusi
Seluas pikir, fantasi
Bertanya. Bercakap. Menghardik
Kebisuan terpampang telanjang
Hati selalu petang
Tak sekali pun fajar
Bahkan sesudah berkali-kali
berdamai dengan perasaan
Tanpa prasangka
Memeriksa tiap ceruk
jangan-jangan tersisa limbah
yang luput dari pembersihan
Sebegitunya kau citrakan ceria
Tetap tertangkap cahaya
yang melintasi sukma
Paradoks
Anomali kelahiran
Langkah
Sebegitu beratkah
menghambat hasrat
Menuju nurani
Kembali
menuju hening
Nujum apa
Sebegitu memikat
sesudah sekian tikungan
2024
JEJAK
Pikiran-pikiran tua
Dikuliti waktu
Menjadi:
Borok keyakinan
Dogma
Berbiak menyuburkan mitos
jadi mistis
Dilumat doktrin
Berhentilah menjual ketakutan
Udara berhampar dogma
Kecuali di sepetak kesangsian
yang mengganggu nalar
Angin tak mengirim anyir
dari jiwa lembab berbatu, dan
serpihan belulang tanpa
penyucian api pencerahan
Persekutuan menutup jejak busuk
Tak terkirim aroma memabukkan
Tumpukan tulang belulang bercerita
dari pemakaman telanjang
tanpa pagar
Lalu lintas angin beraroma wangi
Sembunyikan busuk
Terlindung di lingkar demarkasi
Berabad terjaga
dengan kekuatan keyakinan
jadi pasak bumi
Dinding tinggi rambu-rambu
mengeraskan rasa takut
membalut kehidupan
Kesepakatan ini tak bermusim
Sangat purba jejaknya
Melingkari perasaan sepi
hingga sampai
Di hari penuh huru hara
Persekutuan busuk
Seberapa pun tak terlacak
Dalam pergerakan udara
Pikiran hanya melenguh
diganggu pergantian atmosfir
Perjanjian membeku di keyakinan
Ketakpahaman
sewaktu-waktu bisa
menimbulkan guncangan psikis
Ketika abai mengendalikan naluri
membaca cakrawala terbuka
Kesangsian seperti perahu pengintai
Lalu lalang hilang muncul
di luar atmosfir
menyeberangkan banyak keinginan
rasa sangsi dan tanda tanya
Pertarungan batin jadi terbiasa
Korban-korban jatuh
dari pucuk keangkuhan
Kekalahan diterima
untuk diharumkan
Dan terkuburlah aroma busuk luka
2024
BIODATA
Alit S. Rini lahir di Denpasar, 22 November 1960. Buku puisi tunggalnya: Karena Aku Perempuan Bali (2003), Cerita Perempuan (2022). Buku puisinya Arunika (2023) meraih penghargaan “Buku Puisi Terbaik Pilihan Tempo 2023”. Tahun 2024 terbit buku puisi terbarunya berjudul Asmaraloka.
Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama. Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.