Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Seni & Budaya

Diminati Pasar Ekspor, Kerajinan Batok Kelapa Justru Sepi Peminat

MONOTON: Lomba kerajinan beruk atau batok kelapa di Kalangan Ayodya Taman Budaya Provinsi Bali dinilai monoton dan sepi peminat.

 

DENPASAR, Balipolitika.com- Pesta Kesenian Bali ke-44 Tahun 2022 tak sekadar pentas seni. Dalam event tahunan ini juga digelar sejumlah lomba. Salah satunya membuat kerajinan beruk atau batok kelapa di Kalangan Ayodya Taman Budaya Provinsi Bali.

Menggunakan mesin foredem, setiap peserta tampak fokus mendesain batok kelapa sebagai material dasar pembuatan beruk. Lomba ini dinilai langsung oleh tiga tim juri yakni, I Wayan Suardana, I Nyoman Labda, dan I Komang Abda Wirawan.

Menurut salah satu tim juri, I Wayan Suardana mengatakan, ada 4 kriteria yang dinilai dalam lomba kerajinan beruk antara lain ide dan gagasan, bentuk dan hiasan, teknik pengerjaan, dan penampilan.

“Kreativitas, keterampilan, serta tampilan sangat penting di sini. Termasuk finishing-nya. Kadang ada yang bentuknya sudah bagus, tapi finishing-nya kurang. Bisa mempengaruhi penampilan beruk itu sendiri,” ungkap Suardana.

Kata Suardana sebagian besar peserta tampak sudah biasa mengerjakan kerajinan beruk. Akan tetapi dari sembilan peserta yang berlomba, menurutnya masih belum muncul ide dan gagasan baru. Para peserta membuat beruk sesuai dengan apa yang dikerjakannya sehari-hari.

“Yang saya harapkan ide dan gagasan baru bisa muncul. Tapi, yang saya lihat, masih banyak yang menekankan ornamen dan orientasinya lebih banyak untuk kebutuhan sarana upacara. Mudah-mudahan nanti bisa muncul fungsi-fungsi lain, seperti beruk sebagai kap lampu, ikat pinggang, dan lain-lain,” jelasnya.

Dosen Kriya ISI Denpasar itu juga mengungkapkan animo masyarakat terhadap penggunaan beruk masih dominan untuk kegiatan keagamaan. Namun sejatinya, karya beruk ini tak hanya sebatas itu fungsinya. Jika mau mau menggali lebih jauh, kerajinan beruk bisa saja bernilai ekonomi lebih tinggi bahkan diekspor ke luar negeri.

“Pengerajin beruk selama ini melihat penggunaan beruk untuk kegiatan keagamaan sebagai sebuah peluang. Sehingga mereka menciptakan sarana-sarana upacara yang terbuat dari beruk. Tapi lebih dari itu, beruk bisa dijadikan berbagai jenis karya kerajinan yang mungkin bisa diekspor ke mancanegara,” ucapnya.

Akan tetapi Suardana juga membeberkan, permasalahan secara umum pada pada seni kriya adalah soal minimnya desain-desain baru. Sehingga kerajinan yang dikerjakan terkesan monoton dengan model yang itu-itu saja.

“Seandainya ada pengembangan-pengembangan desain baru, kemudian dikolaborasi dengan material yang lain, saya yakin akan memiliki nilai seni yang tinggi dan potensi ekonomi yang luar biasa,” kata Suardana.

Juri lainnya I Nyoman Laba juga menyoroti minimnya minat generasi muda dalam mendalami kerajinan beruk. Tak hanya beruk, hampir semua kerajinan minim regenerasi, bahkan jadi fenomena.

“Anak-anak muda juga minatnya berkurang. Mungkin karena pengembangan kreativitasnya yang kurang. Modelnya hanya itu-itu saja. Sedangkan generasi muda saat ini kan perlu sesuatu yang baru,” terang Laba.

“Kami mengharapkan sekali pengerajin beruk ini ada regenerasinya, walaupun sudah sudah ada basisnya seperti di Tampaksiring dan Karangasem. Anak muda mau terjun melanjutkan pekerjaan ini karena ini adalah salah satu jenis kerajinan yang potensial. Apalagi untuk materialnya di Bali tidak kekurangan,” terangnya. (bp)

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!