DENPASAR (Balipolitika.Com)- Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Provinsi Bali kembali membawa kabar duka. Sabtu (18/7), pasien meninggal dunia bertambah 1 orang. Secara keseluruhan total pasien yang meninggal karena Covid-19 menjadi 36 jiwa. Terdiri atas 34 WNI dan 2 WNA. Sementara itu, pasien yang dirawat intensif sebanyak 781 orang, 777 WNI dan 4 WNA.
Total jumlah kumulatif pasien positif 2.690, bertambah 71 orang. Pasien sembuh hingga Sabtu (18.7) sebanyak 1.873. Pasien positif dalam perawatan (kasus aktif, red) ini berada di 17 rumah sakit, dan dikarantina di Bapelkesmas, UPT Nyitdah, Wisma Bima, Hotel Ibis, Hotel Grand Mega dan BPK Pering).
Menyikapi melonjaknya angka kematian dan kurva kasus yang terus menanjak dalam kondisi penerapan tatanan kehidupan Bali era baru, Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Wilayah Bali memberikan usulan dalam rapat dengan Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Jumat (17/7). ARSSI meminta Pemprov Bali menyiapkan skenario terburuk untuk mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19.
“Koordinasi Tatanan Kehidupan Bali Era Baru, siapkan untuk kondisi terburuk. Kalau kondisi jadi lebih baik, anggap hadiah. Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang,” ucap Ketua ARSSI Bali, Dr. dr. I.B.G. Fajar Manuaba, Sp.OG, MARS, Sabtu (18/7) malam.
Seperti apa rencana perang Covid-19 yang ditawarkan ARSSI Bali, dr. Fajar menjawab ada 7 hal yang harus diperhatikan secara seksama. Pertama, komunikasi radio dua arah fasilitas kesehatan. Siapkan jaringan radio dua arah VHF/UHF di tiap rumah sakit di Bali dengan meminjam frekuensi BPBD. Sehingga rumah sakit hanya beli handytalky saja. Host boleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali atau BPBD.
Kedua, komunikasi masyarakat harus digalakkan lagi dan diperbaiki mutunya. “Saat ini terkesan masyarakat lalai dengan protokol kesehatan. Ditambah lagi informasi yang benar berbenturan dengan informasi yang menyesatkan,” tandasnya. Ketiga, jaminan biaya perang melawan Covid-19. Sistem klaim pelayanan dan insentif bagi tenaga kesehatan (nakes) kepada pemerintah pusat harus terus menerus diawasi dan diperbaiki sehingga arus kas rumah sakit yang melayani Covid-19 tidak terganggu. Apalagi rumah sakit non rujukan Covid-19 terpaksa ikut melayani akibat tidak bisa merujuk.
Keempat, nakes adalah tentara yang harus mendapat jaminan istimewa. Pada era pandemi Covid-19, sudah tidak ada tempatnya untuk membedakan antara nakes pemerintah atau swasta. Bila kasus meningkat, maka risiko nakes tertular akan semakin besar. Yang terpenting, pastikan jaminan terhadap deteksi infeksi dan pelayanan lanjutan untuk nakes beserta keluarganya. Bila perlu gratis. Kondisi ini akan meningkatkan moril nakes bila perang melawan Covid-19 berkepanjangan.
Kelima, operasi pasar harus terus menerus dilakukan untuk kendalikan harga dan mutu semua material keperluan perang melawan Covid-19. Keenam, prosedur rujukan, transportasi pasien, termasuk pemakaman pasien harus terus diperbaiki. Ketujuh, peningkatan kapasitas tempat tidur wajib dicapai 1.000 di rumah sakit dan 1.000 di fasilitas karantina. Hal ini penting dilakukan guna menjaga kemungkinan peningkatan kasus akibat euforia masyarakat karena era baru.
“Seiring dengan bertambahnya fasilitas laboratorium PCR di Provinsi Bali, alur rujukan dari faskes dan biaya harus diperbaiki. Sehingga sampel tidak menumpuk ke RSUP Sanglah dan RS PTN Unud yang bisa berdampak terlambatnya pemulangan pasien,” tandas dr. Fajar. Lebih lanjut, terkait Surat Edaran Nomor: YM.02.02/VI/3099/2020 tertanggal 16 Juli 2020 tentang Penundaan Kegiatan Akreditasi Rumah Sakit dari Kemenkes, ARSSI menilai sangat membantu rumah sakit. Keberadaan surat tersebut membuat RS bisa fokus mengurus SDM dan biaya untuk penanganan Covid-19.
“Dinas Kesehatan Provinsi Bali tetap diharapkan melakukan sosialisasi kepada seluruh stakeholder seperti Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, Perizinan Terpadu, dan BPJS Kesehatan agar mendapat pemahaman yang sama untuk pelaksanaannya,” tekannya. (bp)