NOVEL KEDUA: Artis Tiga Setia Gara kembali meluncurkan buku keduanya berupa Novel berjudul “Kasih Tubi”.
DENPASAR, Balipolitika.com- Seniman serba bisa, Tiga Setia Gara kembali menyita perhatian para pecinta buku. Perempuan 36 tahun itu kembali meluncurkan buku keduanya berupa Novel berjudul “Kasih Tubi”.
Novel ini sarat makna. Terutama tetang kekerasan seksual. Tiga sapaan akrabnya mencoba mendobrak dinding-dinding pakem sosial yang acuh terhadap korban kekerasan seksual.
Kata Tiga, sebelum “Kasih Tubi” dirinya juga sempat membuat buku puisi, yang diluncurkan beberapa waktu lalu.
Di novelnya kali ini, ia menceritakan tentang “Kasih Tubi” seorang gadis kecil, yang terterkam monster.
Bukan monster yang dianggap anak kecil berada di kolong tempat tidur. Melainkan monster dari kejahatan seksual keluarganya. Bapak dan pamannya, tepatnya.
Kekelaman itu ditambah, hilangnya kasih ibu, yang seharusnya merawat dan menghangatkannya. Dampaknya, “Kasih Tubi” harus hidup dengan menyalahkan dirinya sendiri, atas kesiapan dirinya yang baru seumur jagung, 2,5 tahun diperkosa oleh bapak dan pamannya.
“Di buku saya ini, saya ingin membebaskan pembaca saya. Apakah dia akan menafsirkan ini 50 persen true story atau sebagian lagi berpikir bahwa ini adalah cerita dari orang lain,” ucap Tiga, Sabtu 27 Juli 2024.
Kata Tiga lagi, bahwa persiapan dirinya menulis buku ini selama kurang lebih lima tahun. Hal itu menyangkut mental dirinya untuk menulis, dan baru serius menuliskannya delapan bulan.
Dia pun mengalami kesusahan karena persoalan bahasa. Alasannya, dirinya saat itu hidup di Amerika, di daerah Ohio, Kentucky dan Los Angels.
“Kalian tahu, saya menulis di Amerika, jadi membuat struktur bahasa ke Indonesia agak kesusahan,” ungkapnya.
Diakuinya, bahwa selama lima tahun itu ada kecamuk di dirinya. Apakah tulisannya ini bisa untuk diterbitkan. Tapi akhirnya semua bisa terwujud.
Dan itulah yang menjadi harapannya untuk membuka mata atau membuat melek masyarakat terkait dengan kekerasan seksual.
“Ya persiapan lima tahun itu karena pertanyaan apakah bisa diterbitkan. Karena memang sempat juga ada ketidakcocokan dengan salah satu penerbit. Tapi akhirnya Mata Kehidupan mau untuk menerbitkannya,” ungkapnya.
Menurut Tiga, buku ini adalah tangkap gejolak sosial yang ada di Amerika dan Indonesia. Sebagai seorang seniman dirinya merespon itu semua dari lingkungannya, kemudian dituliskannya.
Meskipun ada resiko, bahwa ketika masuk ke dalam tulisan, maka akan cukup susah untuk keluar.
“Saya ingin korban kekerasan itu yang tadinya bungkam maka berani untuk speak up. Dan masyarakat mau membantu dan menjaga korban. Karena Ada satu ayat dalam Bible mengatakan, ‘bicaralah dengan benar itu akan meriliskan kamu’,” katanya.
Tiga sendiri adalah seorang seniman yang tak hanya pandai menulis buku, dia juga berbakat di bidang musik dan jenis seni lainnya.
Perempuan kelahir 11 Februari 1988 di Bogor itu akan ada rencana untuk pergi ke kampus-kampus baik di Bali atau di Jawa dan berdiskusi menyangkut bukunya.
Akan ada puluhan kampus yang ditujunya. Jadi jangan sampai kelewatan.(bp/luc/ken)