Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Pendidikan

Parah, Sehat Walafiat, Sutardji Calzoum Bachri Ditulis Wafat

Buku Proyek Kemendikbudristek

IRONI: Sosok sastrawan Sutardji Calzoum Bachri yang sehat walafiat ditulis meninggal dunia 17 Juli 2020 di buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra (2024) yang diterbitkan Kemendikbudristek RI dan dilaunching, Senin, 20 Mei 2024.

 

DENPASAR, Balipolitika.com Bukannya membawa kabar bahagia, program sastra masuk kurikulum yang digagas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia justru menghadirkan duka saat diluncurkan langsung oleh Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim di Jakarta, Senin, 20 Mei 2024.

Saat sang menteri mengklaim program sastra masuk kurikulum menandai keseriusan Kemendikbudristek meningkatkan minat baca dan kemampuan literasi peserta didik, di sisi lain buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra (2024) yang diterbitkan Kemendikbudristek RI justru membunuh literasi siswa se-Indonesia. 

“Pembunuhan” ini terpampang jelas saat menjabarkan bahwa penulis buku antologi puisi O, Amuk Kapak, Sutardji Calzoum Bachri meninggal dunia pada 17 Juli 2020 sementara faktanya sang penulis masih sehat walafiat hingga hari di mana buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra (2024) diluncurkan. 

Penjelasan Sutardji Calzoum Bachri meninggal dunia terdapat di halaman 436 Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra yang dikuratori oleh Eka Kurniawan, dkk., tepatnya di bagian latar belakang penulis. 

Sutardji Calzoum Bachri menjadi salah satu ikon penting dalam perpuisian Indonesia, beliau merupakan penyair satu-satunya yang mendapat Hadiah Sastra Chairil Anwar dari Dewan Kesenian Jakarta. Sajak-sajaknya telah dikutip dan diambil untuk berbagai kepentingan mulai dari tulisan ilmiah hingga demonstrasi politik. 

Lahir di Rengat, Ria, pada tanggal 24 Juni 1941, beliau dianggap sebagai salah satu pelpor (salah ketik, red) Angkatan 66 dan Presiden Penyair Indonesia. Beliau terkenal dengan puisinya yang eksperimental, imajinatif, dan penuh metafora, dan seringkali memecah struktur dan aturan tata bahasa tradisional. 

Beliau meninggal dunia pada tanggal 17 Juli 2020, meninggalkan warisan yang kaya dalam dunia sastra Indonesia. Karyanya terus dibaca dan dipelajari oleh generasi baru penyair dan pecinta sastra dan akan selalu dikenang sebagai salah satu maestro puisi Indonesia. 

Kesalahan super fatal ini dikomentari oleh sejumlah sastrawan dan penikmat sastra tanah air. 

“RIP, Bang Tardji, Pelopor Angkatan 66!” tulis Saut Situmorang di laman media sosialnya, Minggu, 26 Mei 2024 sembari menulis tagar #SastraMasukKurikulum. 

“Berdasar hal ini kita bisa asumsikan jika Kemendikbud adalah departemen yang tidak mendidik dan tidak berbudaya,” tulis Phalayasa Sukmakarsa merespons status Saut Situmorang. 

“Miris, dan benar apa yang disampaikan Kang Maman S Mahayana. Ternyata begini cara kerja Tim Kurator Sastra Masuk Kurikulum Sekolah. Bang Sutardji Calzoum Bachri lahir tanggal 24 Juni 1941, meninggal dunia tanggal 17 Juli 2020. Masya Allah. Semoga Bang SCB senantiasa dalam keadaan sehat. Amin,” tulis Nanang Ribut Supriyatin. 

Merespons lahirnya Buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra (2024), sastrawan Nirwan Dewanto juga diketahui melayangkan protes keras yang dilayangkan kepada para kurator atau penyusun dengan tembusan kepada pelindung, pengarah, dan penanggung jawab serta tim penyusun dan editor di pusat perbukuan. 

Nirwan Dewanto menilai Buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra (2024) sama sekali tidak memenuhi standar perbukuan mana pun: sajiannya buruk, penyuntingannya buruk, bahasanya buruk, isinya buruk, dan seterusnya. 

“Saya katakan satu hal saja, sebagai contoh: “buku” itu menyebarkan disinformasi, jika bukan kebohongan; mengandung bukan hanya kesalahan-keteledoran, tetapi kesalahan yang bersifat “sistematis” akibat cara kerja yang bobrok. Susah dipercaya, bagaimana mungkin hasil kerja yang seceroboh dan seburuk ini (akan) digunakan untuk memajukan pendidikan dan persekolahan. Sungguh cara kerja yang berbanding terbalik dengan prinsip merdeka mengajar dan merdeka belajar,” demikian sepenggal pandangan Nirwan Dewanto dalam surat terbukanya. (bp/ken)

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!