MUNDUR: I Nyoman Parta, anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PDI Perjuangan menyayangkan aksi intimidasi dan pembubaran forum intelektual The Peoples Water Forum di Hotel Oranje, Jalan Hayam Wuruk Denpasar, Bali, Senin dan Selasa, 20-21 Mei 2024.
DENPASAR, Balipolitika.com- I Nyoman Parta, anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PDI Perjuangan menyayangkan aksi intimidasi dan pembubaran oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) intoleran pada diskusi The Peoples Water Forum di Hotel Oranje, Jalan Hayam Wuruk Denpasar, Bali, Senin dan Selasa, 20-21 Mei 2024.
Lebih-lebih kegagalan forum untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, dengan tujuan mencari solusi baru bagi masa depan pembangunan terkait air yang adil, setara dan berkelanjutan ini baru pertama kali gagal sejak gelaran pertama di tahun 2003.
Pada gelaran The Peoples Water Forum sebelumnya, yakni di Kyoto pada 2003, Meksiko 2006, Istanbul 2009, Marseille 2012, Daegu 2015, Brasilia 2018, dan Dakar 2022, konferensi World Water Forum dan People Water Forum berjalan beriringan tanpa intimidasi berlebihan.
Sejak 2003, wadah ini telah menggalang solidaritas dan meningkatkan kapasitas jaringan regional dan global melalui pertemuan-pertemuan yang dihormati di negara-negara tuan rumah WWF, kecuali Provinsi Bali, Indonesia.
“Diskusi tentang air kok dibubarin? Takut dengan orang berdiskusi, mundur ke zaman Orba (Orde Baru, red). Saluran komunikasi tidak boleh mampet agar tidak terjadi banjir. Bijak mengelola perbedaan agar tesa, antitesa mendapatkan sintesa bermutu. Saya menyayangkan atas alasan apapun pembubaran terhadap forum intelektual karena bansa ini didirikan dari tradisi intelektual pergulatan pemikiran para pendiri bangsa, bukan dari kekerasan. Masyarakat sipil jangan mau diadu,” ucap I Nyoman Parta sembari menulis tagar #airuntukrakyat.
Diberitakan sebelumnya, para akademisi dan kaum intelektual lintas negara yang terdiri atas Suraya Afiff (Universitas Indonesia); Prathiwi Putri, Marie Skłodowska-Curie (Postdoctoral Fellow, Universität Kassel, Germany); Iqra Anugrah (Leiden University, Belanda); Siti Maimunah (Sajogyo Institute, Bogor); Meera Karunananthan (Carleton University, Canada); Wijanto Hadipuro (peneliti independen, Semarang); Amalinda Savirani (Universitas Gadjah Mada); Bosman Batubara (Utrecht University, Belanda); Irwansyah (Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia); I. Sandyawan Soemardi (pekerja kemanusiaan, Leiden, Belanda); Harry Wibowo (Jurnal Prisma); Henry Thomas Simarmata (Associated Program for International Law, Yogyakarta); Ar. John Muhammad (Ikatan Arsitek Indonesia, Jakarta); Dewa Ayu Putu Eva Wishanti (University of Leeds); Dianto Bachriadi (Agrarian Resource Center); Frans Ari Prasetyo (peneliti independen, Bandung); Vandy Yoga Swara (Utrecht University, Belanda); Agung Wardana (Humboldt Fellow, Max Planck Institute for Public Law, Germany); Usman Hamid (Amnesty International Indonesia); Herlily (Universitas Indonesia); Wigke Capri (Leiden University and KITLV, Belanda); John Petrus Talan (IRGSC Kupang dan Universty College London); Dhia Al Uyun (Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya); Professor David McDonald (Queen’s University, Canada); Farabi Fakih (Universitas Gadjah Mada); Herlambang P. Wiratraman (Universitas Gadjah Mada); Inaya Rakhmani (Universitas Indonesia); Profesor Hariadi Kartodihardjo (Institute Pertanian Bogor); dan Dolorosa Sinaga, pematung internasional, Jakarta mengecam upaya menghalangi pelaksanaan the People’s Water Forum (PWF) atau Forum Air milik Rakyat Sedunia di Bali, Indonesia.
“Kami yang bertandatangan di bawah ini mengecam upaya yang baru-baru ini terjadi untuk menghalangi pelaksanaan the People’s Water Forum (PWF) atau Forum Air milik Rakyat Sedunia di Bali, Indonesia, melalui pembatalan tempat pelaksanaan kegiatan tersebut di Institut Seni Indonesia (ISI) yang disertai interogasi/intimidasi terhadap panitia lokal oleh aparat intel setempat. Pembatalan acara yang diselenggarakan bersama institusi akademis melalui koersi dan pelarangan oleh penegak hukum merupakan pelanggaran terhadap Prinsip PBB untuk Penerapan Hak Kebebasan Akademik,” tandas para akademisi dan kaum intelektual ini sesuai rilis yang diterima redaksi.
Prinsip PBB dimaksud adalah prinsip yang secara khusu berbunyi menghormati otonomi lembaga pendidikan dan penelitian untuk beroperasi tanpa pengawasan atau intervensi militer, tanpa ketakutan akan sanksi atau ancaman terhadap keamanan dan integritas pimpinan lembaga (prinsip 3, red).
Dijabarkan bahwa hak atas kebebasan akademik juga mencakup kebebasan berserikat (prinsip 6), yang mengharuskan negara menghormati, mendorong dan mengembangkan hubungan dan kerja sama internasional antara staf akademik, peneliti dan pengajar serta mahasiswa, termasuk melalui pertemuan internasional dan proyek kolaboratif.
“The People’s Water Forum adalah wadah bagi gerakan keadilan air di seluruh dunia. Secara kolektif wadah ini memungkinkan pemikiran kritis atas Forum Air Dunia atau the World Water Forum (WWF) yang mempromosikan agenda pembangunan yang disetir kepentingan pemodal. PWF berbasis pada pengalaman dan aspirasi jaringan gerakan sosial, organisasi akar rumput, kelompok lingkungan, dan serikat pekerja serta akademisi, dan mewakili mereka yang kehidupannya dirugikan oleh proses privatisasi dan komersialisasi air,” demikian disampaikan para akademisi dan peneliti tersebut.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa jaringan yang tergabung dalam PWF di mana sebelumnya dikenal sebagai Alternative World Water Forum, telah selama 20 tahun menawarkan forum terbuka yang dapat dijangkau secara inklusif baik oleh warga, komunitas, serikat, dan aktivis lingkungan. (bp/ken)