Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Seni & Budaya

Bhatara Kala Stop Makan Manusia Kelahiran Tumpek Wayang, Ini Syaratnya

REKONSTRUKSI: Pementasan Dramatari Parwa khas Sukawati direkonstruksi oleh Sanggar Seni Gita Mahardika, Banjar Babakan, Desa Sukawati, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV Tahun 2022.

 

DENPASAR, Balipolitika.com- Alami pasang surut, kesenian Dramatari Parwa khas Sukawati direkonstruksi oleh Sanggar Seni Gita Mahardika, Banjar Babakan, Desa Sukawati, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV Tahun 2022.

Mengambil lakon Sang Kalya, hasil rekonstruksi itu dipertontonkan di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali, Minggu, 26 Juni 2022.

Koordinator garapan, I Wayan Mardika Buana menuturkan, dramatari parwa khas Sukawati ada sejak tahun 1950-an. Diciptakan oleh para dalang di daerah tersebut.

Sempat redup, di tahun 1980-an dibangitkan kembali. Karena memang tidak ada pernah pentas akhirnya mandeg lagi.

“Tahun 2000-an juga pernah kita bangkitkan kembali. Sempat pentas sekali, akan tetapi karena penarinya ada yang meninggal, kemudian juga yang wanita sudah yang kawin keluar, sehingga tidak dilanjutkan. Akhirnya sekarang dibangkitkan kembali dengan generasi berikutnya biar masih diingat,” ungkap Mardika.

Proses rekonstruksi kata Mardika tidak menemui kendala signifikan. Sebab saat merekonstruksi, masih ada narasumber-narasumber yang bisa dimintai keterangan.

Generasi masa kini yang merekonstruksi memang berbakat dan mendapat dukungan dari pada seniman pedalangan, tari, dan karawitan.

“Proses kreatif rekonstruksi memang ada kendala, tapi tidak begitu sulit. Karena masih ada narasumber dan penari-penari lama yang masih bisa kita gali dan mintakan informasi-informasi terkait struktur, pembabakan, dan yang lainnya dari dramatari parwa ini,” terang Mardika.

 

Dramatari parwa khas Sukawati memiliki ciri unik. Salah satunya menampilkan tari dayang-dayang atau kakang-kakang yang sering ditemui dalam kesenian gambuh. Selain itu, penokohan juga diambil dari para dalang itu sendiri.

“Struktur pembabakan dramatari ini, tari kakang-kakang itu sebagai tari pembuka. Yang membedakan juga, tokoh Delem dan Sangut masing-masing memiliki pengelembar. Jadi ada kebyar Delem dan kebyar Sangut,” imbuhnya sembari menyebut ada beberapa piranti pementasan zaman dulu yang masih dirawat atau disungsung seperti alat musik, gelungan, dan tapel.

Rekonstruksi Dramatari Parwa Sang Kalya mengisahkan seorang raksasa bernama Kala memporakporandakan Sapta Loka (surga) dan istana para dewa. Kekacauan yang dibuat raksasa Kala ini membangunkan tapa Dewa Siwa yang membuatnya harus turun tangan. Hingga terjadilah pertarungan sengit antara bapak dan anak itu. Kemudian, Dewa Brahma dan Wisnu turun dan menjelaskan jika mereka berdua memiliki hubungan darah.

Namun, sebelum Dewa Siwa mengakui raksasa tersebut sebagai putranya, ia harus memotong taringnya yang panjang agar dapat melihat wujud orang tuanya secara utuh. Akhirnya syarat tersebut dipenuhi. Sang raksasa dapat melihat wujud orang tuanya.

Sang raksasa diberkati oleh Dewa Siwa dan diberi gelar Bhatara Kala. Untuk menghormati hari kelahirannya, Dewa Siwa memberi anugerah bahwa Bhatara Kala boleh memakan orang yang lahir pada hari Tumpek Wayang dan memakan orang yang jalan-jalan di tengah hari pada hari Tumpek Wayang. Hal itu karena Bhatara Kala lahir di saat Tumpek Wayang.

Kebetulan adiknya, Dewa Kumara, juga lahir pada hari Tumpek Wayang. Sesuai anugerah Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakannya. Namun atas permohonan Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakan adiknya kalau adiknya sudah besar. Kesempatan itu digunakan oleh Dewa Siwa untuk menganugerahi Dewa Kumara agar selamanya menjadi anak-anak. Akal-akalan itu diketahui Bhatara Kala. Akhirnya ia tidak sabar lagi, Dewa Kumara dikejar.

Dalam pengejarannya, ia bertemu Dewa Siwa dan Dewi Uma. Mereka pun ingin dimakan oleh Bhatara Kala sesuai janji Dewa Siwa. Namun, mereka memberinya teka-teki terlebih dahulu yang harus dipecahkan jika Bhatara Kala ingin memakan mereka.

Batas waktu menjawabnya hanya sampai matahari condong ke barat. Akhirnya Bhatara Kala tidak bisa menjawab teka-teki hingga batas waktu habis. Kandaslah kesempatannya memakan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Karena tidak bisa memakan mereka, Bhatara Kala melanjutkan pengejarannya mencari Dewa Kumara.

Lama mengejar, ia pun kelelahan dan menemukan sesajen yang dihaturkan Sang Amangku Dalang yang sedang main wayang. Karena haus dan lapar, sesajen itu dilahapnya habis. Akhirnya terjadilah dialog antara Sang Amangku Dalang dengan Bhatara Kala yang meminta agar segala sesajen yang dimakan dimuntahkan kembali.

Bhatara Kala tidak bisa memenuhi permohonan tersebut. Sebagai gantinya, ia berjanji tidak akan memakan orang yang lahir pada hari Tumpek Wayang. Jika ingin selamat dari amukannya, maka yang lahir saat Wuku Wayang harus menghaturkan sesajen menggelar wayang atau yang disebut Sapuh Leger. (bp)

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!