EDUKASI: KPA Bali dan Yakeba menyoroti fenomena ‘Sing Beling Sing Nganten’ jadi budaya anak muda di Bali. (Ilustrasi: Gung Kris)
DENPASAR, Balipolitika.com- Menyoroti adanya fenomena “Sing Beling Sing Nganten” (Tidak Hamil Tidak Menikah) yang dijadikan tren oleh sebagian besar muda-mudi di Bali, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali dan Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) berharap hal itu tidak dijadikan budaya oleh para remaja.
Adanya tren “Sing Beling Sing Nganten” dikalangan anak muda Bali, sangat rentan akan penularan virus HIV/AIDS, secara tidak langsung memberikan arti bahwa hamil diluar nikah itu hal yang biasa bagi kalangan muda-mudi Bali, juga berpotensi menjadi pemicu melahirkan anak stunting.
KPA Provinsi Bali mencatat, berdasarkan data komulatif penemuan kasus baru HIV/AIDS di Provinsi Bali, per 25 November 2024, angka tertinggi didominasi oleh kalangan remaja rentang umur 20-29 tahun, dengan temuan sebanyak 11401 kasus, 6071 diantaranya merupakan para remaja di Kota Denpasar dinyatakan positif.
Berdasarkan faktor resiko, prilaku hetorosexual atau orientasi seksual yang mengacu pada ketertarikan terhadap lawan jenis (laki-laki dan perempuan), menjadi penyebab utama tingginya penularan HIV/AIDS di Bali dengan total temuan sebanyak 22875 kasus, 93,8% merupakan perempuan dan 61,2% sisanya laki-laki.
Saat disinggung terkait fenomena “Sing Beling Sing Nganten”, Komisioner KPA Provinsi Bali, Gus Yuni Ambara mengatakan hal tersebut dapat menjadi salah satu pemicunya, mengingat hubungan seksual tanpa menggunakan pengaman (kondom) dengan bergonta-ganti pasangan, merupakan penyebab utama menyebarnya virus HIV/AIDS dan istilah tersebut sangat dekat korelasinya dengan budaya prilaku seks bebas.
“Sebisa mungkin (Sing Beling Sing Nganten, red) jangan dijadikan budaya. Tetapi kami sangat memahami bahwa diusia remaja hubungan seksual lawan jenis bisa kapan saja terjadi. Untuk itu, kami mengingatkan anak-anak muda di Bali ini harus menghindari prilaku bergonta-ganti pasangan, jangan lupa gunakan kondom jika memang hasrat kalian sudah tak lagi terbendung,” ungkap Gus Yuni, dikutip Sabtu, 22 Februari 2025.
Senada dengan KPA Bali, Ketua Yakeba, I Made Adi Mantara menambahkan, pihaknya tidak memungkiri bahwa fenomena tersebut memang terjadi di Bali, sehingga tanpa disadari Bali mengalami lonjakan temuan kasus HIV/AIDS, khususnya usia-usia remaja yang mengalami peningkatan sangat signifikan.
Sebagai upaya untuk menekan tingginya angka temuan kasus tersebut, Adi berharap upaya edukasi kali ini yang ditujukan kepada muda-mudi di Bali bisa memberikan pandangan, memberikan pemahaman bagi mereka bahwa sesungguhnya prilaku tersebut sangat rawan akan penularan virus berbahaya, terlebih juga memungkinkan resiko lain seperti stunting.
“Kita tidak bisa melepaskan itu dari mereka. Seperti kita dulu sebelum berumah tangga, mereka juga akan mengalami masa-masa itu. Tetapi, ada hal-hal yang perlu kita edukasi secara lebih dalam, selalu gunakan pengaman saat ingin berhubungan, karena hanya ini langkah yang paling efektif untuk mencegah,” imbuhnya, disela-sela kegiatan media gathering, bersama Komunitas Jurnalis Peduli AIDS (KJPA) Bali, Kamis, 20 Februari 2025.
Upaya penanggulangan HIV di Indonesia termasuk di Bali, sampai saat ini masih menghadapi tantangan. Dua tantangan terbesar, yaitu adanya diskriminasi serta ada rasa takut atau malu untuk menjangkau layanan kesehatan.
Kondisi ini tentu menjadi ganjalan yang harus dicarikan jalan keluar guna mencapai target “Ending AIDS 2030”. (bp/GK)