Ilustrasi: Handy Saputra
Kau Hanya Meninggalkan
Mata lebarmu hitam
Yang mampu mengisi
Sudut-sudutnya
Meski, rerumputan tak lagi kau pijak
Dan tembok tak kau raba
Kau hanya meninggalkan bau kenangannya
Menyapu hujan yang pahit
Yang melintas di pipi
Sampai menjadi bibit hati
Cirebon, 16 Mei 2022
Jangan Berhenti
Hendak pergi kemana dikau ini
Apa yang kau mau
Hanya sekedar singgahkah
Puing-puing itu sudah kau bangun
Dengan kokoh dan erat
Tanpa karat
Kau harus tahu, setiap jengkal adalah cerita
Yang hinggap dan bermakna
Meski nanti jalannya berhenti
Rekam jejaknya akan abadi
Percayalah barangkali kau hanya duduk-duku saja
Atau hanya berhenti sejenak
Cepatlah bangun, lalu berjalan
Ada buku yang masih kosong untuk kau isi
Dengan tinta hati
Cirebon, Mei 2022
Akan Cuaca
Atas cuaca yang didapat pada setiap dada. Menerima adalah jalan suci yang kian berkembang waktu demi waktu, yang tidak pupus akan tandus, dan tidak pecah atas retak.
Setiap kita adalah apa yang dipikirkan, rasakan, juga dengarkan. Kita adalah apa yang di bawah dengan segala adanya, dengan mengenal waktu yang kian berjalan perlahan berganti dari musim gugur bunga sampai kembangnya kembali.
Kaki-kaki itu berpijak atas apa yang ia tuju, melewati berbagai rintangan nan buas, tanah-tanah yang kering, dan gurun beralaskan pasir. Saat dedaunan menyetubuhi tanah itu pula bersama jiwa.
Perihal cerita adalah tinta yang terus tergores pada kertas-kertas kehidupan, setiap hurufnya bermakna akan juga berkata dimana, bagaimana, dan apa
Cirebon, 1 Agustus 2022
BIODATA
Hadad Fauzi Musthofa, lahir di Cirebon, 4 Maret 2001. Tulisannya dimuat dalam antologi Terbungkam Dalam Lafadz (2019), Jendela Aswaja, Negeri Kertas, Monologkita17, Bali Politika.