BADUNG, Balipolitika.com– Niat tulus Bupati Badung, I Wayan Adi Arnawa dan Wakil Bupati Badung, Bagus Alit Sucipta terkait Program Bantuan Penanggulangan Dampak Inflasi sebesar Rp2.000.000 untuk setiap KK sesuai Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) masing-masing tanpa syarat sesuai janji di Pilkada Badung 2024 patut diapresiasi.
Sayangnya, niat tulus ini terbentur dengan aturan yang membuat I Wayan Adi Arnawa dan Wakil Bupati Badung, Bagus Alit Sucipta saat ini harus mewujudkan salah satu janji politik tersebut berpedoman pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Provinsi Bali yang telah diverifikasi oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia.
Mengacu DTKS Provinsi Bali tahun 2023, tertera sebanyak 124.237 orang warga Kabupaten Badung yang berpeluang menerima bantuan ini.
Meski demikian, Adicipta dinilai tetap harus ekstra hati-hati untuk mencairkan bantuan berbekal niat tulus ini karena belum jelasnya payung hukum yang mendasarinya.
Lebih-lebih jika sebanyak 124.237 orang warga Badung yang berpeluang menerima bantuan ini mengacu DTKS ternyata sudah menerima bantuan sosial jenis lainnya.
Kondisi ini semakin rumit mengingat jika bantuan Rp2 juta per KK dipaksakan cair, pejabat pemegang kebijakan di Bumi Keris Badung berpeluang masuk jerat hukum.
Analisa tersebut diutarakan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) dan Pemerhati Pembangunan Bali, I Gusti Putu Artha.
Ia mengkhawatirkan pejabat di Badung akan terjerat kasus hukum apabila memaksakan pelaksanaan program bantuan uang hari raya keagamaan sebesar Rp2 juta per KK.
“Saya mengkhawatirkan pejabat di Badung akan terkena kasus hukum apabila memaksakan pelaksanaan program bantuan uang hari raya Rp 2 juta kepada KK di Badung,” kata I Gusti Putu Artha.
Meskipun dilapisi sejumlah kriteria, I Gusti Putu Artha mengaku belum menemukan landasan hukum konkrit yang mengizinkan bupati mengeluarkan bantuan keuangan daerah untuk program tersebut.
“Adi Arnawa pasca pulang dari Kejari Badung menyebut Permendagri 77 Tahun 2020. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah. Permendagri ini adalah panduan umum tata kelola kelola keuangan daerah. Malah Bab II Huruf A angka 10 Permendagri ini jelas menyebutkan bahwa setiap pengeluaran daerah harus memiliki dasar hukum yang melandasinya. Pertanyaannya apa landasan hukumnya? Saya tak menemukan,” ungkap I Gusti Putu Artha.
Flashback ke belakang, tahun 2022 pasca Covid-19, keluar Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34 Tahun 2022 yang memberi wewenang kepala daerah melakukan intervensi atas kenaikan inflasi di masyarakat dengan penyesuaian anggaran Tahun 2022.
“Saya mau mengatakan bahwa karena program ini mengatasi dampak kenaikan harga akibat hari raya pada KK miskin, maka regulasi yang paling tepat adalah ada perintah Menteri Keuangan melalui PMK-nya kepada kepala daerah untuk melakukan intervensi melalui keuangan daerah pada APBD Tahun Anggaran 2025,” bebernya.
Pada kesempatan itu, I Gusti Putu Artha juga menegaskan bahwa program itu tidak pantas dikategorikan bansos, BLT, hibah, atau sejenisnya yang kriterianya amat berbeda dengan “dampak inflasi”.
Poin berikutnya, ada regulasi yang melarang kepala daerah memberikan lebih dari satu pos bantuan kepada satu objek penerima bantuan.
Apabila KK miskin di Badung sudah mendapat BLT dari desa atau bansos dari dinas sosial misalnya, maka KK itu tidak boleh double menerima bantuan dari program “dampak inflasi” ini.
“Jika pos bantuan ini diambilkan dari pos Belanja Tak Terduga (BTT), maka ia tidak memenuhi syarat karena Belanja Tidak Terduga (BTT) merupakan pengeluaran anggaran atas beban APBD untuk keperluan darurat termasuk keperluan mendesak yang tidak dapat diprediksi sebelumnya. Lha, program bantuan hari raya ini bukan darurat, bukan tak bisa diprediksi, malah direncanakan dan jadi program kampanye,” imbuh I Gusti Putu Artha.
“Belanja Tak Terduga (BTT) atas kebutuhan darurat misalnya mendadak ada gempa bumi sehingga perlu intervensi keuangan daerah, persis seperti Pemkab Karangasem merespons bantuan pengungsi erupsi Gunung Agung dengan Belanja Tak Terduga (BTT),” terangnya.
Lebih lanjut, apabila diambilkan dari pos bantuan sosial, maka juga tidak tepat karena bantuan sosial kepada individu atau KK diberikan apabila yang bersangkutan terkena dampak krisis sosial, krisis ekonomi, bencana alam, dan lain-lain.
Dampak inflasi– itu pun harus dibuktikan dengan tingkat inflasi bulan berjalan– bukanlah kategori krisis ekonomi.
“Jika ternyata inflasi bulan berjalan saat hari raya masih terkendali di sekitar 2.5 persen misalnya, apa layak memenuhi syarat menerima bantuan?” tanya I Gusti Putu Artha.
Diberitakan sebelumnya, mantan Anggota Komisi II dan IV DPR RI dari Fraksi Golongan Karya (Golkar), Anak Agung Bagus Adhi Mahendra Putra mengapresiasi niat baik dan tulus Adicipta tersebut, namun mengingatkan agar program tersebut ditinjau ulang.
Selain mempertanyakan asas kepatutan, Gus Adhi juga menyoroti landasan hukum program tersebut.
Gus Adhi mengaku sudah berusaha mempelajari aturan hukum terkait program dimaksud, akan tetapi sampai saat ini belum menemukan dasar hukum yang jelas serta bisa dipertanggungjawabkan.
“Saya sebagai masyarakat Badung menyarankan agar ditinjau kembali. Jangan tergesa-gesa mencairkan pada hari raya ini (Galungan-Kuningan dan Idul Fitri, red). Kalau memang belum ditemukan suatu cantelan, aturan yang jelas terkait pemberian bantuan ini kepada masyarakat Badung,” kata Gus Adhi, Kamis, 13 Maret 2025.
Gus Adhi berharap Bupati Badung telah mempertimbangkan aspek hukum dengan matang sebelum merealisasikan program ini.
Ia berpesan bahwa meskipun program ini merupakan janji kampanye, bukan berarti harus dijalankan jika berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kepemimpinan keduanya.
“Meskipun program ini sudah menjadi janji kampanye, tidak berarti harus dijalankan jika berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kepemimpinan Beliau (Adicipta, red). Ini hanya saran saya,” pesan “Bapak Undang-Undang Provinsi Bali” itu. (bp/ken)