PESTA Kesenian Bali (PKB) 2025 diawali perdebatan panas. Memang setiap PKB tidak pernah luput dari perbincangan atau diskusi. Ada beberapa wacana setiap PKB. Pernah mencuat soal tempat pelaksanaan PKB mestinya digilir, seperti pelaksaan pekan olah raga pelajar. Tapi ini diimbangi dengan pelaksaan PKB di tingkat kabupaten. Pada waktu yang lain mengemuka pertentangan antara seni tradisi dan seni modern di PKB. PKB hanya menjadi panggung buat kesenian tradisional (Bali).
Namun demikian, PKB sudah menjadi salah satu agenda pembangunan yang sangat penting di Bali dan di Indonesia. Pembangunan kesenian. PKB memiliki kekuatan dan garansi bagaimana identitas pulau ini dibebankan pada keseniannya. PKB adalah pilihan ketika kesenian, bagian dari kehidupan atau sektor politik pemerintahan, yang dianggap tidak cukup bersentuhan dengan kehidupan manusia. Alias sektor tak penting.
Tapi di Bali hal itu justru menunjukkan bahwa pembangunan kesenian sama pentingnya dengan pembangunan sektor-sektor lain. Analoginya adalah hadiah Nobel. Sastra mendapat kedudukan setara dengan bidang ekonomi, fisika, kedokteran, kimia, dan lain-lain. Sastra penting bagi manusia.
Di sinilah harus merenung dan melihat kembali gagasan besar seorang budayawan Bali, budayawan Indonesia dan budayawan kelas dunia, Profesor Ida Bagus Mantra. Visionernya yang sangat jauh ke depan telah menunjukkan bahwa PKB selalu ajeg dilakukan. Semuanya bukan karena pemerintah, tetapi karena memang pemerintah (setiap pemimpin Bali, Gubernur dan para wali kota/bupati) telah meyakini bahwa Bali membutuhkan kesenian. Kesenian harga mati!
Kesenian bagi Bali tidak hanya sebatas pada pandangan sempit: kesenian untuk pariwisata, untuk hiburan, untuk industri. Tetapi kesenian di Bali adalah satu bidang kehidupan manusia. Sebagai bidang kehidupan manusia kesenian itu mengalami perkembangan dan pasang surut sebagaimana halnya dengan pertanian, arsitektur, upacara, lingkungan. Pertanian juga demikian. Suatu kali hama menyerang tanaman padi. Sektor perkebunan juga demikian, suatu kali komoditas perkebunan tertentu begitu favorit dan mahal. Demikian pula halnya sektor ekonomi lainnya, semuanya mengalami pasang surut.
Kesenian juga demikian! Namun di tengah pasang surut itu, di tengah dinamika itu, di tengah pencapaian-pencapaian itu, juga terjadi kemunduran dan kehilangan cabang-cabang kesenian; tumbuh cabang-cabang kesenian baru. Salah satu yang terpenting juga dalam PKB adalah menggali kembali kesenian yang sudah punah.
Walaupun kesenian tradisional sangat sulit untuk hidup setelah digali kembali namun bagaimanapun juga kesenian itu telah menjadi perhatian pemerintah dan PKB melakukan dokumentasi yang baik. Yang lain adalah bagaimana PKB merupakan arena tahunan bagi seluruh kesenian Bali. Memang PKB tidak satu-satunya arena tetapi Bali dan berbagai kejadian-kejadian adat di seluruh pulau adalah arena kesenian yang sejatinya.
Perbedaannya, PKB sebagai arena kesenian menunjukkan akumulasi pertunjukan dan tentu saja sebagai agenda pembangunan daerah. Karena itu, PKB bergengsi dan menjadi barometer perkembangan kesenian di Bali.
Mengawali PKB 2025 ini rasanya beda. Bukan soal Adi Merdangga, sendratari kolosal ”Sekuni Cakcak Bima”, Peed Aya. Tahun ini PKB dimulai dari diskusi terbuka (pemerintah, para kurator, seniman, masyarakat, anggota dewan, dan hampir semua masyarakat mengikutinya). Tidak pernah sebelumnya terjadi.
Bukan soal akses media yang memudahkan siapa pun terlibat dalam perdebatan. Tapi topik dari diskusi mengawali pelaksanaan PKB (dalam detik-detik yang sudah sangat dekat ini) adalah persinggungannya dengan kesenian rakyat dan rakyat Bali. Kesenian rakyat dicirikan oleh salah satu hal yaitu tokohnya adalah rakyat kebanyakan. Bahasa yang digunakan adalah bahasanya rakyat. Cenderung egaliter! Estetiknya juga estetika rakyat. Dalam panggung teater Bali (wayang kulit, wayang wong, gambuh, arja, sendratari, drama gong) rakyat memang selalu hadir di sisi raja. Di atas panggung teater itu raja memberi ruang kepada rakyat, yang entah ia bijaksana, jaruh, memisuh, buduh. Tapi raja menerima kehadiran rakyat secara kultural, sosiologis, dan humanistik; sebagai rakyat dengan standar norma, nilai rakyat.
Walaupun tim kurator mengatakan standar kesopanan yang dikembangkan di dalam PKB untuk menjaga agar kesenian Bali tetap adiluhung itu patut dipuji, tetapi ada yang dilupakan di situ bahwa PKB bukanlah satu item entitas kesenian Bali. PKB dibangun oleh kondisi dan keberadaan kesenian yang sangat heterogen. Karena itulah hari-hari ini diskusi atau kritik itu terasa menohok jantung kesenian Bali (kesenian rakyat dengan aktor rakyat): yaitu rakyat Bali. Apalagi yang terpojokan di sana adalah maestronya kesenian rakyat. Jangan kira rakyat Bali hanya memberi posisi di hati cuma para pemimpin elite.
Kritik ini menunjukkan bahwa rakyat Bali sedang dilukai oleh para kurator yang mungkin keliru memahami heterogenitas kesenian Bali dan sedikit jemawa dalam merumuskan sebuah satandar, nilai, atau norma. Karena merasa paling bertanggung jawab menjaga marwah! Ada kealpaan di sini, bahwa kesenian Bali itu berlapis-lapis dan karena itu ada banyak standar kesopanan dalam kesenian Bali, semestinya.
Karena itulah semua orang bersuara dan suara mereka yang sangat ramai dan riuh mengarah kepada polarisasi antara rakyat dan kesenian yang sopan. Jadi, ada kesan bahwa rakyat itu jaruh, buduh, memisuh. Para kurator sedikit lalai ketika melihat bahwa kesenian Bali dan PKB hendak dijadikan barometer tunggal. PKB harus menjadi barometer kemajemukan kesenian Bali yang berlapis-lapis dan di situ tentu harus disadari pula ada standar dari berbagai lapisan dan ”warna” kesenian.
Dan dari media sosial muncul: jika saran-saran kurator itu bersifat umum dan berlaku untuk semua kesenian; lantas kenapa drama gong mendapat sorotan? Mengapa hanya drama gong dan lebih jelas lagi, mengapa parekannya? Lebih jelas lagi mengapa Pekak Petruk, Pekak Perak, dan kawan-kawan? Hal ini sebuah kontradiksi PKB. PKB dikenal menghormati dan memuliakan seniman tua. Tapi kali ini sungguh tidak memuliakan rasanya dan sebaliknya memojokkan. Tapi dari tanggapan pemerintah tidak demikian. Mungkin generalisasi para kurator melihat kesenian Bali sebagai menara gading. Satu standar kebaikan, nilai, sopan santun dalam bahasa kesenian Bali. Para kurator dan pemerintah melihat seluruh rakyat Bali sedang pasang badan. Artinya ada standar yang tidak bisa diterima oleh rakyat. Para kurator lupa bahwa arena PKB bukan hanya untuk adi merdangga, bukan hanya untuk para ratu kesenian dan bukan pula arena untuk tokoh-tokoh elit. PKB adalah ruang kesenian untuk aktor-aktor seperti Pekak Petruk, Pekak Dolar, Pekak Perak, dan lain-lainnya. Lawakan atau komedi adalah satir kehidupan dan cabang kesenian yang jangan dikira mudah untuk ditekuni. Jangan lupa bahwa Pekak Petruk, Pekak Perak, dan sederetan maestro bebanyolan Bali lainnya, juga menerima wahyu Hyang Taksu. Menjadikan orang tertawa dan mengajak mereka menertawai hidup mereka itu tidak mudah.
Justru tantangan berat para seniman Bali adalah bukan jadi pelukis yang kadang-kadang sangat menguntungkan, atau penari, bukan jadi pematung atau jadi para undagi, tetapi menjadi pelawak yang dampaknya sangat luas, dalam menghibur. Dampak ekonomi mungkin tidak ada. Pekak Petruk tidak diundang manggung dengan bayaran fantastis. Jika pelukis menjual karya kepada para kolektor. Tapi Pekak Petruk dan kawan-kawan?
Karena itulah sekarang harus lebih menghargai rakyat, bukan hanya rakyat dalam relasi bansos para politisi, tetapi konstelasi rakyat Bali dan keseniannya; menghargai kehadiran mereka di atas panggung karena PKB adalah panggung untuk kesenian Bali yang berlapis dan aneka warna. Kalau berbicara soal cabul sebagai bahasa kesenian yang patut dihindari, coba lihat kata-kata yang digunakan dalam beberapa novel. Novel adalah bacaan berkelas tinggi. Novel bukan bacaan rakyat. Misalnya novel Eka Kurniawan (Cantik itu Luka). Kemudian pada Trilogi Ronggeng Dukuh. Juga pada Dampati Lelangon, adegan penyiksaan di neraka dalam lukisan di Kerta Gosa, alihwahana Bimaswarga. Karya-karya yang disebutkan tadi adalah karya-karya agung, tetapi di situ dijumpai kata-kata yang cabul. Atau baca lagi puisi ”Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta” atau ”Nyanyian Angsa” karya W.S. Rendra. Maka akan bertemu dengan kata-kata yang jorok. Juga kalau membaca Pengakuan Paryiem karya Linus Suryadi A.G. Di sini terjadi kejutan imajinasi oleh kata-katanya erotis.
Lantas apakah lagu-lagu pop Bali juga bebas dari penggunaan kata-kata jaruh, seperti ”Tragedi Kamar Mandi” (DJ Mahesa), ”Dapetang ditu nyai/Nungging ngajak muani”. Bukankah lagu ini menghadirkan adegan birahi? Pada kanal YouTube Tut Bradut, digunakan kata bungut (dalam video Satwa harus tegeh, bungut harus gebuh #short). Kesopanan itu tentu bukan hanya soal ungkapan-ungkapan ”buduh”, ”jaruh”, ”memisuh”. Berbicara kesopanan tidak hanya verbal (bahasa atau ungkapan) tetapi juga visual. Apakah berbagai jenis topeng yang menggambarkan karekter rakyat dengan wajah buruk (bengor, tonggos, bujuh, cungih) tidak dikaji ulang? Saat itu ditarikan, dan yang menonton saudara kita yang mengalami, bagaimana kira-kira perasaan mereka? Artinya, standar kesopanan itu sangat terbuka dalam kesenian Bali (bukan untuk menghina, tetapi penerimaan atas realitas yang tidak diharapkan namun tidak bisa dihindari: rwa bhineda). Walaupun kesenian dan kehidupan itu dua panggung yang berbeda tetapi secara mental adalah proses ulang-alik sehingga masyarakat Bali dididik dan tumbuh sangat cerdas dalam menonton kesenian. Ketika industri modern menampilkan transgender, kesenian Bali memiliki model transgender lain, perempuan memerankan karakter laki-laki, seperti pada arja.
Tahun ini rakyat terlanjur luka hatinya dan menjadi refleksi untuk tahun-tahun berikutnya. PKB tidak boleh dengan standar tunggal dan membangun logosentrisme kesenian pemda atau pemprov. Para kurator harus mewakili suara berbagai lapisan, genre, kesenian. Para kurator juga harus datang dari rakyat, dari desa-desa di gunung dan laut seberang, dari seka-seka, sehingga kesenian hasil kurasi tidak hanya elit dan akademik. Para kurator adalah pintu masuk kesenian ke atas panggung PKB. Karena itu, kurator harus mewakili berbagai standar kesenian Bali. Inilah satu kekeliruan dalam pelaksanaan PKB bahwa PKB menjadi elit. (*)
BIODATA
Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum. lahir di Batungsel, Tabanan, Bali. Minatnya pada tulis-menulis tumbuh sejak SMP, kemudian semakin berkembang sejak masa mahasiswa di FKIP Unud-Singaraja.Tulisan-tulisannya berupa esai, artikel, opini, cerpen, novel, dan kajian sastra. Esai-esainya banyak dimuat di Bali Post, Kompas, Sinar Harapan. Dia sering memenangkan lomba penulisan, seperti lomba opini Pesta Kesenian Bali, lomba cerpen dan novel Bali Post, resensi buku, dan sebagainya. Buku-bukunya yang telah terbit, antara lain Incest (novel; 2005), Dukacerita Jayaprana-Layonsari (2005), Kembali ke Bali (esai, 2008), Buku Praktis Sosiologi Sastra (2019). Kini ia menjadi dosen di Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali.