TELISIK AKADEMISI: Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar, Prof. Dr. I Made Suwitra, S.H.,M.H.
KISRUH dalam pemilihan bendesa adat kian hari menjadi momok bagi desa adat yang akan melakukan pergantian dan atau pemilihan pucuk pimipinannya mulai dari pembentukan panitia pemilihan, penyusunan perarem, dan pencatatannya yang didesain dengan istilah “pengukuhan” dengan makna pengesahan melalui mekanisme Majelis Desa Adat (MDA) di tingkat kecamatan untuk sampai ke MDA Provinsi dan terakhir diregistrasi ke Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA).
Sementara itu awig-awig dan atau perarem secara tegas dan jelas menyatakan bahwa pemilihan bendesa sudah sah pada saat ditetapkan dalam paruman desa dan berlaku sejak disiarkan atau kasobyahang dalam paruman.
Sejak awal berlakunya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali timbul beberapa gejolak di beberapa desa adat terutama dalam pemilihan bendesa adat yang dikenal dengan “Ngadegang Bendesa”.
Gejolak ini antara lain terjadi di Desa Keramas, Mas Ubud Gianyar, Desa Selumbung, Liligundi, Muncan Karangasem, Desa Pengastulan, Banyuasri Buleleng, Desa Perancak, Kertha Jaya Pendem Jembrana, Desa Bedha Tabanan, Desa Selat Bangli, Tohpati Klungkung, dan yang terbaru di Desa Adat Serangan Denpasar.
Kondisi dan fenomena ini dianggap perlu untuk dijadikan objek dan subjek penelitian atau kajian dalam pengembangan ilmu hukum adat dengan tujuan “ilmu untuk ilmu dan ilmu untuk masyarakat”.
Jadi yang sangat relevan adalah ilmu untuk masyarakat. Artinya tujuan pembelajaran tidak hanya dalam kerangka pengembangan belaka juga dalam kerangka menjaga social order dalam interaski yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat di lingkungan persekutuan hukum adat (Adatrechtsgemeenschappen), yang kemudian disebut “desa adat”.
Selain itu untuk menemukan penyebab sengkarutnya dalam pelaksanaan pemilihan bendesa sejak adanya pengaturan oleh “hukum negara” secara rigid melalui Perda dan Surat Edaran MDA.
MDA yang dinyatakan dibentuk oleh “desa adat” sebagai persatuan (pasikian) desa adat dalam kerangka dapat memfasilitasi kepentingan desa adat dengan pemerintah daerah dalam konsep mitra, secara empiris justru seolah menjadi “atasan” desa adat, karena justru mengatur desa adat dengan pola-pola unifikasi yang menjadi karakter hukum negara melalui berbagai intervensi yang dirasakan sebagai “beban” bagi desa adat, sehingga sangat tidak relevan dengan sifat atau karakter desa adat sebagai masyarakat hukum adat yang otonom dan otohton. Oleh karena itu akan menjadi sangat relevan dikritisi dari legal sistem.
Salah satu ciri dari hukum adat dan desa adat sebagai masyarakat hukum adat adalah “perbedaan” yang dimiliki, sehingga Koesno sebagai peneliti hukum adat menemukan konsep “desa, kala, patra”.
Istilah “perarem” juga diungkap sebagai hasil temuannya untuk mengkatagorisasikan adat di Bali dalam “gama, sima, perarem”.
Semua ini dijadikan landasan tindak untuk mencapai kelestarian kehidupan di dunia dan di alam baka. Jadi untuk mencapai kelestarian kehidupan diperlukan dasar referensi asas kepatutan yang paling abstrak yang disebut gama untuk kemudian dikonkretkan melalui sima sampai perarem yang mampu memberikan jawaban terhadap masalah-masalah konkret yang berhubungan dengan alam kenyataan dan praktek, karena dalam pelaksanaannya sangat diperhatikan keadaan-keadaan dan suasana-suasana yang khusus sehingga adat di sini benar-benar aktual dan oprasional.
Pola konkritisasi dari gama sampai perarem ini mesti didesain secara koherensi dan koresponden sehingga fungsional dalam mencapai kelestarian dalam kehidupan krama desa.
Unifikasi yang dibawa oleh perda sebagai hukum negara jelas berlawanan dengan sifat otonom dan otohtannya desa adat sebagai masyarakat hukum adat yang dulu disebut Adatrechtsgemeenschappen yang mempunyai ciri perbedaan.
Juga berlawanan dengan tiga pondasi dasar kategori adat dan hukum adat di Bali.
Selain itu tidak relevan dengan ajaran adat yang menyatakan bahwa “dalam segala sesuatu selalu harus diperhatikan tempat, waktu dan keadaan (desa, kala, patra)”.
Hal lain yang perlu diperhatikan agar untuk menciptakan kelestarian dalam kehidupan di desa adat adalah corak dan sifat hukum adat yang selalu menghargai perbedaan, kondisi kekhususan sesuai dengan tempat, waktu dan situasinya, mampu mengadaptasi dengan perkembangan hukum negara (lentur dan luwes), magis religius, komunal, terang dan tunai, dan visual, sehingga diperlukan pengaturan yang koheren dan koresponden.
Jika substansi dari norma dalam Perda (4/2019) yang menyebabkan adanya kekisruhan, maka diperlukan perubahan sehingga ada harmonisasi norma perda sebagai hukum negara agar dalam fungsinya sebagai sarana social control dapat menegasi terhadap perilaku hukum dalam masyarakat hukum adat yang sudah dianggap mapan, sehingga berlakunya perda dapat menjaga ketertiban, tidak sebaliknya justru menimbulkan gejolak dan kegaduhan di beberapa desa adat di kabupaten/kota di Bali.
Perda sebagai hukum negara juga dapat berfungsi sebagai sarana ”social engineering” seperti disampaikan Roscoe Pound dalam arti mengubah pola perilaku masyarakat, yaitu untuk kultur hukumnya dari pola administrasi tradisional menjadi pola administrasi modern dengan tetap menghormati dan mengakui sifat otonom dan otohtonnya desa adat, sehingga model pemberian SK yang dikeluarkan MDA terhadap bendesa terpilih sesuai dengan awig-awig yang dimiliki oleh masing-masing desa adat hanya bersifat administrasitif, tidak dimaksudkan dan dimanfaatkan untuk dijadikan alat ukur sah dan tidaknya bendesa yang sudah terpilih apalagi unutk menganulir bendesa yang sudah sah menurut awig-awig desanya dan telah dilakukan proses upacara yang sekarang disebut ”Mejaya-jaya”.
Kondisi ini perlu dipertegas dengan mengingat MDA dibentuk oleh ”desa adat” dan bukan menjadi atasan desa adat.
Selain itu Perda 4/2019 juga sudah menegaskan kembali bahwa mekanisme pemilihan bendesa dilakukan sesuai dengan awig-awig desa adat, sah dan tidaknya pemilihan bendesa ditentukan oleh paruman sebagai hukum tertinggi di desa adat.
Oleh karena itu SK MDA hanya bersifat administratif untuk mencatat hasil paruman desa adat terhadap bendesa yang terpilih sebagai konsekuensi bahwa MDA sebagai struktur hukum yang dibentuk oleh Desa Adat adalah merupakan mitra pemerintah untuk penguatan desa adat.
Istilah ”pengukuhan” yang selama ini disematkan dari SK yang akan diterbitkan MDA terhadap bendesa terpilih mempunyai bias interpretasi yang seolah sengaja diadvokasi dari struktur hukum yang ada dan seolah meligitimasi kedudukan MDA untuk diposisikan sebagai ”atasan” desa adat.
Kondisi ini juga diamati menjadi salah satu biang kerok kekisruhan dalam ”ngadegang bendesa”, karena dapat dimanfaatkan untuk menganulir keberadaan bendesa yang sudah terpilih sesuai dengan awig-awig desa adatnya.
Jadi perlu adanya pembenahan dalam perspektuf kultur dari struktur hukum yang ada seperti pengurus MDA untuk dapat dikembalikan dari jati diri desa adat dengan sifat otonom dan otohtonnya.
Kemudian hal lain yang perlu dijadikan pencermatan adalah keberadaan ”perarem” ngadegang bendesa yang membawa karakter ingin mengunifikasi perbedaan dan kehususan yang ada dimasing-masing desa adat melalui template yang rigid untuk dilakukan copy paste.
Celakanya ketika terjadi copy paste tanpa modifikasi untuk diadaptasi dengan kondisi desa yang dikenal dengan ”desa, kala, patra” jelas tidak sesuai dengan kepatutan yang selama ini menjadi dasar tindak di desa adat, karena masing-masing desa adat memiliki pencirinya yang tidak dapat disamakan dengan prosedur copy paste.
Pertanyaan mendasar yang perlu direnungkan adalah apakah ketika awig-awig sudah sangat jelas mengatur pemilihan bendesa kemudian juga harus membuat perarem lagi?
Tidakkah sudah cukup ketika pemilihan bendesa didasarkan pada awig dan kebiasaan yang sudah dianggap patut, sehingga tidak perlu lagi membuat perarem dengan model unifikan yang terkadang justru dimanfaatkan untuk melanggengkan status quo kekuasaan?
Model perarem ’ngadegang bendesa” justru di satu sisi dapat melemahkan otonomi desa adat karena masyarakat hukum adat dibuat sangat tergantung kepada kewenangan MDA yang nota bene dibentuk oleh desa adat.
Lebih-lebih istilah ”pengukuhan” yang disematkan dalam istilah SK betul-betul menjadikan desa adat tergantung pada SK, bukan lagi berdasarkan pada awig-awig dan hasil paruman sebagai hukum tertinggi desa adat.
Kehadiran pejabat MDA pada saat ”mejaya-jaya” dibuat mutlak ada karena didesain ada penyerahan SK sehingga dapat mengaburkan makna paruman dan awig-awig, sehingga tidak keliru jika terjadi ”demo” ke MDA untuk menuntut diberikan SK.
Mereka lupa bahwa sah dan tidaknya pemilihan bendesa adalah distandarisasi oleh awig-awig-nya dan paruman desa.
Oleh karena itu perlu ada perbaikan paradigma dan kultur masyarakat dan kultur para struktur di MDA, termasuk pada substansi Perda dalam konsep pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism).
Implikasi SK yang diberikan kedudukan lebih tinggi dari awig-awig dan paruman menyebabkan timbulnya perpecahan di desa adat, apalagi jika ada oknum di desa adat yang bermain dengan MDA untuk maksud melanggengkan kekuasaan sebagai ”bendesa”.
Oleh karena itu desa adat di Bali sebagai persekutuan hukum yang masih eksis sampai saat ini dan telah dikuatkan dengan UU 15 tahun 2023 tentang Provinsi Bali perlu dijaga bersama, tidak hanya melalui pernyataan tapi melalui pemikiran dan tindakan nyata, sehingga hukum adat dan hukum negara dapat berjalan bersama tanpa saling menafikan satu sama lain dalam konsep koeksistensi, artinya desa adat dapat melaksanakan otonominya dan hukum negara dapat melaksanakan fungsinya sebagai social control di satu sisi dan social engineering di sisi lain secara koheren untuk penguatan desa adat. (*/bp)